Perjalanan mencari Genta tidak lah mudah, banyak hal yang telah dilalui. Hanya bermodalkan penglihatan Ajeng dalam mimpi ternyata tak bisa sepenuhnya berhasil. Ajeng dan Bhatari telah menyusuri dunia, portal ke dunia lain pun telah mereka jelajahi. Tetapi mereka tak menemukan apa pun, yang mereka temukan hanyalah kekosongan semata. Dunia yang mereka tempati benar-benar kosong, apa kah bener negerinya ini telah hancur? Bahkan populasi manusia juga tak tau entah masih ada atau tidak.
"Kak Ajeng, kita harus kemana lagi?" Tanya Bhatari frustasi.
"Entah lah, Tari. Kak Ajeng hanya mengingat bahwa pria itu akan bunuh diri di sebuah gedung tinggi, dan di tempat itu masih banyak manusia." Ajeng mulai lesu. Ia bingung harus kemana lagi mencari pria yang muncul dalam mimpinya.
"Apa Kak Ajeng tidak punya clue lain?" Bhatari menatap Ajeng dengan penuh harap, tetapi Ajeng hanya menggeleng.
"Kita tidak bisa seperti ini terus, kak. Ini akan membuang waktu kita. Bagaimana jika kita mencari tempat terlebih dahulu? Bukan kah Kak Ajeng bilang bahwa pria itu memerlukan laboratorium? Kita bisa mencari tempat yang cocok untuk dijadikan laboratorium." Usul Bhatari.
"Ide bagus, Tar. Kita bisa mencari tempat. Selagi menunggu potongan puzzle dari mimpi tentang pria itu." Ajeng mengiyakan usul dari Bhatari dengan sumringah.
Bhatari tersenyum.
"Baiklah, sekarang kita akan kemana?" Tanya Bhatari
"Bagaimana jika ke Lawrence Berkeley National Laboratory?" Jawab Ajeng dengan senyum tipisnya, Bhatari menaikkan alisnya.
"Dulu Kak Ajeng pernah baca buku tentang laboratorium terbesar di dunia, dan Lawrence Berkeley National Laboratory adalah salah satu dari laboratorium itu. Kita membutuhkan laboratorium, dan sepertinya itu adalah tempat yang cocok untuk kita gunakan." Ajeng menjawab dengan yakin.
"Baiklah, apa Kak Ajeng tau tempatnya?" Ucap Bhatari memastikan. Ajeng tersenyum seraya mengangguk.
Bhatari membuat portal sesuai dengan instruksi yang Ajeng berikan. Portal telah terbuat, mereka memasuki portal tersebut, tubuhnya seakan di tarik paksa dari gravitasi yang ada. Hingga akhirnya mereka sampai pada bangunan megah yang sudah tampak using.
"Apakah ini bangunannya, Kak?" Tanya Bhatari memastikan. Lagi-lagi Ajeng mengangguk.
"Ayo masuk, ada hal yang perlu Kak Ajeng pastikan." Ajeng menarik tangan Bhatari.
Mereka telah sampai pada pintu masuk laboratorium tersebut. Ajeng menatap pintu tersebut dengan kebingungan.
"Bagaimana cara kita masuk?" Tanya Ajeng
Bhatari mendekatkan diri pada sensor yang berada di sekitar pintu laboratorium itu. Tangannya begitu lihai menari di atas sensor tersebut.
"Click" bunyi tanda pintu terbuka mulai terdengar, mereka saling berpandangan dan terheran-heran.
"Berhasil!" ucap Bhatari
"Apa yang kamu lakukan dengan pintu itu, Tar?" Ajeng heran.
"Kak Ajeng ga boleh tau, rahasia." Ucap Bhatari dengan senyum jailnya.
"Heh katakan dulu, kenapa laboratorium ini bisa terbuka?" Ajeng masih penasaran.
"Hanya sedikit mengeluarkan kekuatan lewat jariku, aku hanya membuat portal pada sensor tersebut, eh malah terbuka. Kak Ajeng mau memastikan apa?" Ucap Bhatari
"Memastikan bentuk laboratoriumnya, apakah benar laboratorium ini yang akan digunakan pria itu atau bukan." Ajeng mengelilingi laboratorium tersebut, matanya begitu jeli.
"Jadi, bener tempat ini atau bukan, Kak?" Tanya Bhatari penasaran.
"Melihat tiap sudut yang ada di laboratorium ini sepertinya benar." Ajeng tersenyum cerah, laboratorium ini cukup mirip seperti yang ada di mimpinya. Hanya saja, laboratorium ini masih belum terawat.
"Syukurlah. Tari seneng dengernya. Tapi sepertinya laboratorium ini kotor banget yah, kak." Bhatari bergedik ngeri melihat penampakan laboratorium tersebut.
"Iya, wajar saja. Laboratorium ini sudah sangat lama tak terpakai. Kita perlu ekstra untuk membersihkannya dan memperbaiki. Bagaimana pun tempat ini akan menjadi tempat kita sekarang." Jawab Ajeng menimpali.
"Baiklah, jadi kapan kita mulai membersihkannya?" Tanya Bhatari.
"Sekarang" jawab Ajeng yakin.
"APAAAA?" Bhatari yang mendengarnya pun melotot.
"Yakkkk Kak Ajeng, kita baru sampai. Kekuatan yang aku keluarkan juga sudah banyak. Bukan kah kita perlu memulihkan energi dulu sebelum membersihkannya?" Nego Bhatari tetapi hanya dapat dengusan dan bantahan dari Ajeng.
"Baiklah, ayo kita bersihkan." Bhatari pun menurut dan mulai membersihkannya.
Malam telah tiba namun bintang masih enggan menemani sang bulan. Bhatari dan Ajeng telah selesai membersihkan laboratorium, meski hanya bisa membersihkan sebagian dan akan dilanjutkan keesokan paginya.
Pagi telah datang, matahari nampak malu menampakkan dirinya. Ajeng terbangun dengan lesu, ia tak memimpikan apa pun. Ia tak bermimpi pria itu lagi, padahal ia sangat berharap bisa bermimpi dan dapat memecahkan teka-teki mimpinya itu.
"Pagi Kak Ajeng, kok tumben lesu banget?" Bhatari menyapa.
"Kak Ajeng gak mimpiin pria itu lagi, Tar. Kak Ajeng takut dia bunuh diri karena kita telat menolongnya." Ungkap kekhawatiran Ajeng.
"Kak Ajeng tenang aja, kita pasti bisa nemuin kok" Bhatari optimis.
"Eum, Kak Ajeng harap begitu. Baiklah, mari kita membersihkan diri dan membersihkan laboratorium ini lagi." Ucap Ajeng yang membuat semangat Bhatari meredup.
"Membersihkannya lagi?" Bhatari tak membayangkan akan secapek apa dirinya, laboratorium ini begitu besar. Tubuhnya sudah lelah.
"Ayo, Tar" ajeng berdiri dan bersiap memulai aktivitasnya.
Bhatari dan Ajeng saling bekerjasama satu sama lain, laboratorium tersebut sudah mulai terlihat lebih baik dan sudah cukup layak untuk ditempati, barang-barang yang awalnya berdebu sudah bersih.
"Hah... Akhirnya ini tempat udah bersih juga." Bhatari menarik nafas, kaki dan tangannya sudah lelah membersihkan laboratorium.
"Iya, Tar. Kita sudah menemukan tempat untuk pria itu. Besok kita harus mulai mencari pria itu lagi." Ucap Ajeng.
Bhatari mengangguk.
Keesokan harinya, mereka memulai misinya.
"Kemarin kita sudah ke sini, bagaimana jika sekarang kita ke sini?" Bhatari menujuk sebuah tempat dari peta kecil itu. Beberapa daerah yang sudah didatangi dan tidak menemukan apa yang mereka cari pun sudah diberikan tanda.
"Baiklah, ayo kita kesana." Ajeng menyetujui saran dari Bhatari.
Bhatari membuat portal menuju daerah yang ada dalam peta tersebut, tubuh mereka lagi-lagi tertarik.
Mereka sampai di sebuah tempat asing, matanya saling menyisir sekitar. Sebuah tempat layaknya desa mati tersaji di depan mata. Pos ronda dari bilik bambu masih berdiri meski sudah termakan usia.
"Kita mau kemana, Kak?" Tanya Bhatari.
"Coba ke sana" jawab Ajeng menunjuk ke arah jalan setapak yang sepertinya menuju ke hutan.
Bhatari dan Ajeng berjalan, mereka menyusuri jalan setapak. Rumah-rumah penduduk di sini masih saling berjauhan, tanah pun masih luas.
"Seandainya virus tak menghancurkan semuanya, mungkin saat ini banyak penduduk desa yang ramah menyapa kita," ucap Bhatari sedih
"Iya, Tar." Apa yang di katakan Bhatari adalah benar, seandainya tidak ada virus dan semuanya bisa hidup dengan normal kembali sepertinya akan sangat membahagiakan.
"Krettt."
"Bunyi apa itu, Kak?" Bhatari memandang waspada.
"Jangan-jangan binatang buas, kak." Ucap Bhatari ketakutan.
"Kamu saja sudah buas, Tar. Kenapa harus takut dengan binatang buas?" Ajeng meledek Bhatari.
"Ini aku serius, Kak." Jawabnya sembari cemberut.
"Sudah lah, mari kita lihat." dengan beraninya Ajeng melangkah ke arah bunyi itu berasal. Bhatari mau tidak mau mengikuti langkah Ajeng dengan berat hati.
"Kak Ajeng yakin mau kesana?" Ajeng hanya mengangguk mantap.
Langkahnya terus berjalan, ilalang yang begitu tinggi sedikit menutupi penglihatan mereka.
"Kak..." Bhatari mulai takut, ia takut menemukan sesuatu yang buruk.
"Akhhh!!!"
"Suara apa itu?" Bhatari dan Ajeng dilanda kepanikan sekarang. Mereka berjalan tergesa-gesa.