Awan menghitam dan jalan terlihat menggelap. Genta dan Bhatari sedari tadi duduk termenung di atas gedung setelah sebelumnya berpamitan dengan ibu dan Anggi. Genta berpesan jika terjadi sesuatu dengan Anggi dan ibu tidak punya dana yang cukup. Genta rela jika ibu harus menjual beberapa barang milik Genta seperti hp dan laptop dari hasilnya memenangkan perlombaan. Genta juga berpesan pada Anggi untuk selalu semangat dan jangan putus asa menghadapi masalah yang sedang mereka hadapi saat ini, karenaia percaya bahwa selalu ada pelangi setelah hujan. Dengan pandangan sayu dan mata yang berkaca-kaca, Genta mengangguk pelan dan keduanya melompat dari atas gedung bersamaan.
Deru angin menembus jaringan kulit yang menyebabkan efek dingin disekujur tubuh Genta. Kini dirinya telah kembali pada dunianya yang lain. Satu-satunya dunia yang membuat dirinya merasa berharga dan berguna bagi makhluk bumi lainnya. Genta segera menuju laboratorium meninggalkan Bhatari, Ajeng yang melihat kedatangan kedua sahabatnya pun mencoba mendekat.
"Syukurlah kalian kembali, keaadaan Max semakin memburuk. Sekarang Aldo dan Dodi mencari kalian." Jelas Ajeng.
"Lalu di mana mereka sekarang?" tanya Bhatari cemas.
"Mereka di..".
"Gumpraaannngggg!!!" belum sempat berucap, mereka justru dikagetkan dengan bunyi sebuah penampan jatuh dari arah laboratorium
Segera Bhatari dan Ajeng bergegas menuju laboratorium, ditemukannya Genta yang tersungkur dengan Aldo memegangi Dodi yang penuh amarah. Bhatari dan Ajeng segera membangunkan Genta dan menanyakan hal yang sebenarnya.
"Ada apa ini? Kenapa Genta kalian pukuli?" tanya Bhatari bingung.
"Katanya temen mu bisa ngobatin Max? Tapi kenapa kalian masih diem aja liat Max yang udah sekarat kaya gitu? Ayo lakuin sesuatu biar Max membaik!" seru Dodi yang penuh amarah memarahi Bhatari, Genta dan Ajeng.
"Iya, iya. Sabar, kita juga lagi berusaha." Ucap Ajeng menenangkan.
"Udah, Di. Udah, toh sekarang udah ada Genta. Kita percayain semuanya sama Genta." Ucap Aldo ikut menenangkan Dodi.
"Oke, aku kasih kalian kesempatan lagi. Tapi kalo ada apa-apa sama Max, aku nggak akan tinggal diam!!" seru Dodi sembari berjalan meninggalkan Genta, Bhatari dan Ajeng dan diikuti Aldo dari belakang.
Genta pun bergegas memasuki ruang laboratorium dan segera merancang obat untuk Anggi beserta alat untuk mengawetkan tubuh Max, karena dirinya tahu betul bahwa Max sudah tidak bisa diselamatkan dan ia berpikir untuk mengawetkan tubuh Max agar dirinya bisa meneliti virus yang ada pada tubuh Max. Keegoisannya muncul dan dirinya lebih mementingkan adiknya. Setelah sukses membuat jas lab yang canggih, dirinya membuat sebuah baju yang nantinya akan dipakai Anggi untuk bisa mengatur kadar zat besi dalam tubuh Anggi. Sesuai dengan usia Anggi saat ini, dirinya harus mendapat deferiprone (75 mg/kg/hari dalam 3 dosis terbagi) dan deferasirox (30 mg/kg/hari) oral, dan dipantau selama 1 tahun. Hampir setengah hari Genta berpikir untuk mencantumkan obat-obatan itu kedalam baju yang nantinya dapat mengatur kadar zat besi normal pada tubuh manusia, berkali-kali ia lakukan percobaan hingga tengah malam. Namun usahanya sia-sia dan baju itu belum selesai ia buat, dirinya sesekali membuat sebuah kapsul besar dengan dinding kaca berukuran besar. Jam sudah menunjukkan tengah malam dan Genta masih belum bisa menyelesaikan baju ajaib itu, dirinya hampir saja putus asa dan merelakan usahanya gagal begitu saja. Tapi, bayangan wajah Anggi yang tengah kesakitan membuatnya terus berusaha. Ajeng dan Bhatari yang kehilangan Genta seharian pun mencoba menilik lab dan mencari keberadaan Genta.
"Ada yang bisa kita bantu?" tanya Ajeng menyebelahi Genta.
"Astaga, Genta. Hidung mu berdarah!" seru Ajeng melihat Genta yang mimisan karena terlalu memforsir tubuhnya.
Bhatari segera mengambil sebuah tisu dari tempat lain yang ia ambil menggunakan portalnya, tangannya dengan lihai masuk ke dalam portal dan ke luar dengan menggenggam beberapa lembar tisu.
"Jangan terlalu di forsir, badan mu perlu istirahat." Ucap Ajeng mengehentikan sebuah tombol yang menyebabkan baju yang yang berada dalam tabung jatuh dan mesin yang menyatukan baju rancangan Genta dengan beberapa obat mati dalam sekejap.
"Ini bukan urusan kalian!! Pergi!! Pergi kalian!!" seru Genta marah dan mencoba mendorong Ajeng dan Bhatari ke luar dari laboratorium.
Satu jam berselang, mesin yang sedari tadi Genta nyalakan mulai memproses obat yang akan mengatur kadar zat besi dalam tubuh pengidap thalasemia yang nantinya akan dipakai Anggi setelah melakukan transfuse darah. Sebenarnya Genta juga ingin membuat sebuah obat yang dapat mengatur hemoglobin dalam tubuh orang agar Anggi tidak perlu melakukan tambah darah setiap bulannya, namun cita-citanya gagal karena sebelumnya Ajeng telah mematikan mesin pembuat obat itu sedangkan bahan dan keperluan yang Genta butuhkan sudah habis dan sia-sia. Namun Genta cukup senang mengetahui pakaian yang ia rancang untuk Anggi telah selesai, kini perasaannya berubah bingung karena sebelumnya ia telah mengusir Bhatari yang dapat membawanya pulang ke dunianya. Pucuk di cinta, ulam pun tiba. Bhatari yang merasa tak enak hati menghampiri Genta dengan maksud meminta maaf dan hal itu sedikit dimanfaatkan oleh Genta untuk melancarkan niatnya kembali ke dunianya. Benar saja, Bhatari mengiyakan permintaan Genta, keduanya bergandengan tangan dan menembus sebuah kilatan cahaya dan membuat keduanya berpindah tempat dalam sejekap mata. Namun, bukannya sambutan ibu dan Anggi yang menunggu Genta, mereka justru dikagetkan dengan ramainya tetangga yang berkumpul di depan rumah Genta dengan ibu yang tak henti-hetinya menangis di depan gundukan kain batik panjang menyelimuti sesuatu. Reflek genta jatuhkan pakaian yang ia bawa untuk Anggi dan berlari memasuki rumah sembari matanya mengalirkan kesedihan yang nampak dari kerutan wajahnya.
"Buuuu!!! Ini nggak mungkin kan? Bukannya kata ibu, Anggi udah membaik dan bisa bertahan sampai Genta suskes nanti." Seru Genta yang merasa sangat terpukul.
Ibu hanya diam memeluk putra sulungnya, sedangkan Bhatari hanya menontoninya dari depan rumah Genta. Selang beberapa menit Genta dapat mengatur kesedihannya, ibu mengambil sebuah surat dari dalam kamarnya. Genta mengetahui alasan Anggi meninggal karena gagal jantung yang disebabkan oleh keracunan zat besi yang menumpuk di tubuh Anggi.
Pemakaman selesai dan semuanya kembali ke rumah, begitu pula dengan Genta dan ibunya. Dirinya hanya bisa mengurung diri di kamar, rasa bersalah yang menyelimuti tubuhnya membuat ia tak berselera makan atau minum. Ibu yang melihat Bhatari sendirian di depan rumah pun mencoba membangunkan Genta. Lirih dan penuh kesabaran ibu belai surai Genta yang pura-pura tidur di kamar.
"Nang, ibu tau kita kehilangan Anggi. Tapi kita nggak boleh terlalu terpuruk dan membuat semua yang disekitar kita seperti nggak ada. Temen kamu misalnya, dia dari tadi pagi diem di depan dan kayanya belum makan." Jelas ibu yang terus membelai rambut Genta.
"Nang, kamu tau? Anggi bangga banget punya kakak kaya kamu, kakak yang baik, bertanggungjawab dan sayang banget sama dia. Anggi mungkin sekarang lagi marah liat kamu yang kaya gini. Yuk, kamu ajak temen kamu makan." Ajak ibu dengan perhatiannya.
Genta hanya duduk menatap ibunya, mata yang sembab dengan baju yang lusuh menandakan dirinya benar-benar kehilangan sosok adik yang ia sayangi. Dirinya beranjak dari tempat tidur dan hendak menyuruh Bhatari pergi karena dirinya sudah tak ingin berurusan dengan apa pun yang berkaitan dengan pengobatan. Semangat hidupnya hilang dan hasrat untuk bunuh diri pun kembali pada Genta.
Lama dirinya berdiri di depan pintu dengan manatap Bhatari bingung, hingga akhirnya ia membaranikan diri menemui Bhatari yang sudah berdiri dan membuka portal untuk kembali ke dunianya. Mungkin ia sudah tau apa yang dipikirkan Genta, ia juga berupaya memberikan Genta sedikit ruang karena Genta baru saja kehilangan adiknya. Bhatari tidak ingin dianggap egois dan ingin menang sendiri karena memaksa Genta dalam kondisi berkabung. Dirinya tentu tahu jelas rasanya kehilangan, apa lagi kehilangan orang yang paling disayangi. Namun, langkahnya terhenti saat mendengar Genta berseru kepadanya.
"Tunggu! Aku ikut!" seru Genta berlari menuju Bhatari.
"Tapi, ibumu?" tanya Bhatari bingung.
"Semuanya udah aku jelasin ke ibu dan ibu bolehin aku ikut sama kamu." Jelas Genta yang saat itu tanpa ekspresi apa pun.
"Baiklah." Jawab Bhatari yang kini menggenggam tangan Genta dan berlalu meninggalkan rumah. Genta berjanji pada dirinya sendiri untu membantu Bhatari dan Ajeng untuk mengembalikan dunia mereka, dia yang kehilangan salah satu keluarganya saja sudah sangat sedit, lalu bagaimana dengan Bhatari dan Ajeng yang haru hidup di dunia yang kosong tanpa manusia dan orang yang mereka sayangi. Dirinya bertekad menghapuskan virus di dunia Ajeng dan Bhatari, karena dengan begitulah rasa bersalah pada adiknya terhapuskan.