Chereads / AIMILIOS by Project Mentari / Chapter 15 - Obat Untuk Anggi

Chapter 15 - Obat Untuk Anggi

Asap mengepul memenuhi laboratorium, bau gosong menyebar ke penjuru sudut. Bhatari dan Ajeng yang mencium hal itu pun bergegas menuju laboratorium untuk sekedar memastikan tidak ada hal aneh yang terjadi di laboratorium. Baru saja mereka berdua sampai di depan pintu, mereka berdua malah dikejutkan dengan Genta yang keluar dari laboratorium dengan tergesa-gesa dan berusaha meninggalkan mereka berdua. Dengan lantangnya Ajeng memanggil Genta yang nampak terburu-buru.

"Genta!" seru Ajeng berlari menuju Genta.

Genta hanya diam mematung tak menoleh kearah Bhatari dan Ajeng.

"Ada apa? Kenapa kamu bertingkah aneh?" tanya Bhatari menyadari keanehan yang di lakukan Genta.

"Nggak kok, aku cuma kecapekan aja dan pengen istirahat." Ucap Genta memberi alasan.

"Tapi akhir-akhir ini kamu tuh aneh tau, setiap malem ke laboratorium dan keluar pagi-pagi buta gini," sahut Ajeng.

"Kamu nggak nyembunyiin apa-apa dari kita kan?" tanya Ajeng mengintrogasi.

"Ya mungkin inilah waktunya aku cerita ke kalian, soalnya capek juga harus kucing-kucingan sama kalian terus." Jawab Genta.

"Sebenernya…" jelas Genta menceritakan semua yang terjadi. Mulai dari alasannya berkutat dengan alat-alat laboratorium saat petang menjelang dan kembali bersama kawanannya saat pagi telah datang.

Anggi, salah satu sebab Genta mengiyakan permintaan Ajeng dan Bhatari yang meminta pertolongan padanya. Tidak lain karena Genta ingin segera menyembuhkan adiknya yang mengidap thalasemia dan mungkin saat ini harus bersusah payah mengumpulkan dana untuk tindakan tranfusi darah yang harus dilakukan setiap bulannya. Belum lagi terapi kelasi besi yang harus dilakukan Anggi satu tahun yang lalu, ketika Anggi sudah mulai menjalankan transfusi darah satu tahun lamanya. Ternyata melakukan transfusi darah pun tidak serta merta membuat Anggi membaik, transfusi darah yang dilakukan secara berulang kali menyebabkan penumpukan zat besi dalam tubuh yang bisa menyebabkan seseorang keracunan zat besi, merusak fungsi hati dan jantung serta yang lebih fatal lagi ialah kematian. Genta tidak mau hal itu terjadi pada adiknya, karena itulah dirinya mencoba membuat alat yang bisa menguras zat besi berlebih dalam tubuh adiknya, agar Anggi tidak perlu menjalani terapi kalesi. Banyak percobaan yang ia lakukan hingga berakhir dengan kepulan asap tanda gagalnya percobaan Genta. Hingga Bhatari menawarkan diri pada Genta untuk mencoba menilik keluarganya menggunakan kekuatan teleportasinya Bhatari. Genta pun meng 'iya' kan tawaran Bhatari. Nemun Ajeng ditugaskan menjaga laboratorium untuk sementara waktu, awalnya Ajeng menolak. Setelah bersikeras meyakinkan Ajeng, Genta pun pergi ke masa lalu dengan Bhatari, asalkan dengan satu syarat. Bhatari dan Genta harus kembali sebelum matahari menyingsing esok hari. Tanpa pikir panjang, Genta hanya mengangguk.

Seorang gadis mungil duduk di depan rumah yang selama ini Genta rindukan, dirinya bergegas berlari memeluk gadis itu. Tangisnya tumpah bak tsunami, peluknya gemetar dan tubuhnya melemah. Ibu yang mendengar jerit Anggi pun bergegas keluar rumah dan memeriksa apa yang membuat Anggi berseru hingga terdengar dari dalam rumah.

"Nang, kamu dari mana aja? Ibu nyariin kamu kemana-mana, nang." Ucap Ibu Genta dengan memeluk putra sulung yang menghilang satu bulan lamanya.

"Mas dari mana aja? Lama banget cari uangnya." Sahut Anggi yang tubuhnya kecil dan hanya tersisa tulang dibungkus dengan kulit saja.

Rupanya kini Anggi harus melakukan transfusi darah satu minggu sekali karena kondisi Anggi yang kian hari kian memburuk. Menurunnya hemoglobin Anggi terus menerus membuat tubuhnya semakin lemas dan tak bisa melakukan kegiatan seperti biasanya. Anggi yang duduk di bangkus sekolah menengah atas pun sudah tidak bisa bersekolah seperti biasanya sejak satu bulan terakhir, lebih tepantnya sehari setelah hilangnya Genta. Dirinya sadar betul tentang pemasukan ibunya yang hanya menjadi tukang jahit dan buruh cuci baju tetangga.

Lama berbincang dengan keluarganya membuat Genta tak menyadari kepergian Bhatari, Bhatari yang lahir jauh dari tahun itu pun menemukan hal-hal aneh yang membuatnya kagum dibuatnya. Seorang pedagang gulali contohnya, dirinya hanya memesan beberapa gulungan permen kapas tanpa tahu membayarnya, dirinya hanya memberikan dua buah apel sebagai alat untuk membayar permen kapas itu dan berlari menuju rumah Genta kembali. Bapak penjual pun ikut berlari mengejar Bhatari dengan permen kapas di kedua tangannya.

"Ada apa ini, pak?" ucap Genta bingung.

"Itu, mas. Adeknya beli gulali tapi nggak bawa uang." Jawab penjual permen kapan yang menghampiri Bhatari di depan rumah Genta.

"Oh, yaudah. Ini pak, cukup kan?" tanya Genta memberikan uang membayar gulali.

"Iya, mas. Ini apelnya tak kembaliin." Ucap penjual gulali mengembalikan apel yang diberikan Bhatari.

Genta yang setengah tersenyum melihat kelakukan Bhatari pun berusaha mengajak Bhatari berbicara di belakang rumahnya tanpa ibu dan Anggi mengetahuinya. Dirinya sedikit menjelaskan pada Bhatari bahwa dunia yang ditempati mereka saat ini bukan dunia yang Bhatari tempati, didunianya saat ini harus menggunakan sebuah alat bernama 'uang' untuk membayar apa saja yang mereka butuhkan seperti makanan dan beberapa hal lainnya. Dengan polosnya Bhatari mengangguk dan berjalan meninggalkan Genta menuju Anggi, Bhatari kemudian memberikan gulali lainnya pada Anggi, Anggi hanya tersenyum melihat tingkah Bhatari yang terkesan lugu dan polos sebagai anak seusia dirinya.

Petang menjelang dan seperti sudah adatnya, keluarga Genta makan bersama di meja makan. Bagaimana beratnya hidup harus mereka letakkan dahulu saat makan malam bersama, karena pada dasarnya mereka harus tetap bersyukur bagaimana dan apa pun yang sedang mereka rasakan saat itu. Seperti halnya hari ini, Ibu Genta mendapat rejeki dari tetangga yang sedang hajatan, seember nasi dan beberapa lauk pauk didalamnya. Bhatari hanya tercengang melihat sebuah ember yang digunakan untuk tempat nasi, karena dirinya baru pertama kali melihat hal itu. Dengan takjubnya Bhatari putar-putar ember dengan terus mengutarakan kekagumannya.

"Waaahh! Ember ajaib, ternyata selain untuk air. Ember juga bisa di pake buat nasi ya." Sanjung Bhatari dengan excited. Genta beserta ibu dan adiknya hanya saling bertatapan dan melihat Bhatari bingung. Selang beberapa menit kemudian akhirnya mereka dapat menikmati makan malam dengan bercerita beberapa hal yang mereka lalui seharian, namun tidak Genta yang sengaja menutupi kejadian yang ia alami satu bulan ini dan terpaksa berbohong untuk tidak menimbulkan kekhawatiran keluarganya. Ibu Genta pun mencoba berinteraksi pada Bhatari dengan menceritakan bagaimana kejeniusan Genta dari sekolah dasar hingga kuliah, Ibu Genta juga menceritakan bagaimana tragedi yang menyebabkan suaminya pergi meninggalkan keluarganya selama-lamanya. Meskipun cerita itu sudah hampir tiga tahun lamanya, namun luka hati dan rindu yang Genta serta adiknya rasakan masih sangat terasa, hingga air mata menetes mengalir di pipi mereka, semuanya sebagai bentuk rindu yang telah lama mereka pendam.