"Tari, setelah di pikir-pikir, kenapa ya punya kamu di kiri dan aku di kanan?"
"Aku nggak tau kak," jawab tari menatap hamparan langit di atas mereka.
Saat ini mereka baru saja membuang lonjakan perasaan kelam bak tsunami masa lalu yang keluar bebas dari mulut Ajeng. Tangis Ajeng baru saja reda, tersisa sesenggukan dan beberapa kali helaan ingus dari hidung yang tampak memerah. Mereka kini berbaring di atas tanah beratapkan langit pagi yang masih merona malu. Keduanya tampak diam, hanyut dalam pikiran masing-masing,
"Saya tidak pernah percaya kebetulan kak." Ucap Bhatari seketika, wajahnya lalu ia palingkan menatap Ajeng, Ajeng lalu melakukan hal yang sama.
"Saya yakin entah kakak yang menemukan saya atau saya yang menemukan kakak, saya percaya kita sebenarnya memang sedang mencari satu sama lain," ujar Bhatari lagi setelah sekian lama bertatapan. Ajeng hanya balas mengangguk dan kembali berpaling menatap langit.
"Apa gunanya kekuatan sakti jika berada di dunia yang kosong ini, Tar?" balas Ajeng, terdengar helaan nafas putus asa.
"Kakak pikir, stok makanan kita dari mana?"
"Maksud kamu?"
"Itu semua saya ambil dari masa lalu, saya menggunakan kekuatan saya untuk bertahan hidup."
"Jadi maksud kamu?"
"Saya bisa melewati dimensi, berjalan melompati masa lalu dan masa depan. Berjalan ke mana pun yang saya mau, jika kakak ingin bertanya dari mana saya berasal? Saya dari Kalimantan, melewati berbagai pulau dan berjalan kesa-kemari hanya dengan melihat lokasi di peta."
Ajeng syok bukan main, matanya membelalak, tangan kanannya menutup mulut,
"Jadi kamu bisa ke masa lalu?" Bhatari membalas dengan anggukan.
"Kenapa nggak tinggal di sana aja? Atau kita ke masa depan aja sekalian."
Bhatari balas mengangguk lagi,
"Nggak bisa kak, terlalu lama di satu masa yang sebenarnya saya tidak ada di sana akan mengacaukan semesta, garis takdir akan menemukan kekacauan pada persilangannya."
"Aku nggak ngerti maksud kamu," balas Ajeng seketika bangun dan duduk, Bhatari ikut bangun dan duduk bersila di depan Ajeng,
"Intinya, kalo aku di tempat yang sebenarnya aku nggak ada di situ, aku bakalan mati dengan cepat, entah kecelakaan intinya aku bakalan mati. Aku udah pernah coba ke masa lalu dan kembali di dunia ku yang lalu, sosok aku di masa itu secara tidak rasional menjadi musuh dan akan membunuhku, alam dan semua orang ingin aku mati. Jadi jawabannya nggak bisa, aku nggak bisa tinggal di dimensi lain untuk waktu yang lama dan panjang."
Ajeng mengangguk dengan lesu berharap menemukan harapan untuk keluar dari situasi ini.
"Sebentar malam kakak bisa masuk ke mimpi saya?"
Dengan cepat Ajeng menolak, perasaan takut itu mulai datang lagi. Keringat dingin mulai membanjiri sekujur tubuhnya, bulunya merinding dengan debaran jantung yang berdetak dengan kencang, dirasanya sebuah tangan mungil mengenggam tangannya,
"Tak apa kak, kakak punya saya." Ujar Bhatari lembut.
"Saya takut, Tari. Pengalaman terakhir kali begitu menganggu saya."
"Kita akan saling membantu kak, kita akan temukan cara untuk kontrol kekuatan kakak."
"Caranya?" tanya Ajeng membeo.
Bhatari lalu menunjuk kepalanya kemudian menunjuk kepala Ajeng,
"Semua ada di sini, kak." Keduanya lalu bertatap yakin, ada kode tersembunyi yang akhirnya sedang mereka sepakati saat itu.
Malamnya ketika Bhatari sedang tertidur, Ajeng kembali mencoba melepaskan dirinya, ia mengingat-ingat apa yang terjadi dulu sampai dirinya bisa merasa ringan. Gagal. Hingga matahari menyonsong dan menampakkan diri, Ajeng tak bisa tidur. Alhasil percobaan pertama mereka gagal. Keesokan harinya hal yang sama terjadi, hingga beberapa hari kemudian tak terjadi apa pun. Tak habis akal, Bhatari lalu mengajak Ajeng berjalan-jalan ke pantai di bagian Sulawesi, pantai penuh bebatuan besar yang tampak indah. Ajeng takjub bukan main, sensasi berpindah dimensi ternyata semenyenangkan itu, badan kita seperti diberikan ransangan getaran halus. Belum lagi tempat ini, pantai ini sungguh membuatnya terpesona, dia tak pernah ke pantai sepanjang hidupnya.
"Dulu ini tempat wisata kak, bagus yah? Aku liat lokasi ini di majalah." Ajeng hanya balas mengangguk.
"Namanya, wisata pantai batu pinagut." Lanjut Bhatari, Ajeng balas mengangguk-angguk lagi sembari melihat sekeliling. Hamparan batu dan pantai sangat serasih di sini.
"Duduk dulu, yuk!" ucap Bhatari lebih dahulu duduk di atas sebuah batu. Ajeng menyusul di samping kiri.
"Kita ngapain ke sini?" tanya Ajeng akhirnya.
"Nggak sih, ngajak aja biar kakak rileks."
Lama keduanya terdiam menatap pemandangan serasi dan tenang di depan mereka.
"Kakak udah pernah coba pernafasan otot perut?"
"Apa tuh?"
Bhatari langsung mempraktekkan, ditariknya nafas dalam dan dihembuskan melalui mulut dengan celah kecil pada bibir yang mengerucut di lakukan berulang-ulang seraya menutup mata. Tubuhnya tampak rileks dan tenang. Ajeng mengikuti pada pernafasan ke tiga, ia membuka mata, terbelalak.
"Kepala aku sakit, dada aku juga sakit." Bisik Ajeng pelan pada Bhatari yang sedang menutup mata dan duduk bersila. Bhatari membuka mata, sediki tersenyum dan kembali menutup mata. Ajeng kembali fokus, mencoba merilekskan diri, menarik nafas, hembuskan menarik nafas hembuskan, sampai dirinya merasa mengantuk. Setelah melakukan hal tersebut Bhatari tidak lagi berbicara banyak, keesokan harinya Ajeng terus-terusan di bawa ke sana kemari. Ke taman raya, ke pantai, ke danau,di tempat-tempat yang memungkinkan untuk merilekskan fikiran. Ajeng mengikuti semakin sering mereka berjalan ia semakin sering melakukan teknik pernafasan otot perut sembari menutup mata.
Dua minggu kemudian mereka melakukan hal yang sama di halaman rumah pohon, hari ini kata Bhatari mereka tidak akan ke mana-mana. Mereka hanya akan duduk di pelataran halaman sembari melakukan hal yang sama, yaitu meditasi. Bhatari diam, Ajeng pula demikian, ia mulai terbiasa dan melakukan dengan rileks, tubuhnya terasa ringan, santai dan tanpa volume, perasaan familiar, pikirnya. Ajeng lalu membuka mata, didapati dirinya yang tengah duduk bersama Bhatari, keduanya sedang menutup mata. Ajeng terlonjak kaget, perasaan melayang ini rupanya datang dari dirinya yang telah terpisah dengan sosok fisiknya. Dengan kekuatan penuh ia lalu memikirkan kata 'masuk' ia ingin segera memberitahu Bhatari mengenai hal menakjubkan ini.
"Masuk, masuk-" pikirnya berusaha keras, ia masih takut menyentuh badannya sendiri apalagi bagian kepala.
"Baiklah, rileks Ajeng. Rileks, MASUKK!"
Ajeng lalu terlonjak dengan wajah membentur tanah, ia senang bukan main,
"Tari, tariii!!" teriaknya sembari mengguncang tubuh Bhatari. Bhatari tersenyum dan membuka mata, Ajeng langsung memeluk,
"Aku berhasil, tadi- tadi- tubuhku," ucap Ajeng terburu-buru.
"Selamat kakak, tapi ini baru awal. Kita harus lebih banyak berlatih agar kakak bisa mengontrol kapan akan masuk dan keluar, buktinya kakak tidak membutuhkan alam bawah sadar untuk bisa memisahkan diri."
Ajeng mengangguk dengan pasti, mengakui jika memang ini baru awal saja, masih banyak lagi yang harus ia coba lakukan. Terpenting dari semuanya adalah mereka harus mencari tahu kenapa mereka mempunyai kekuatan ini. Semuanya akan di mulai dengan malam ini, mereka berencana akan berjalan-jalan di dalam mimpi Bhatari.