Chereads / AIMILIOS by Project Mentari / Chapter 5 - Pemimpin Dari Masa Depan

Chapter 5 - Pemimpin Dari Masa Depan

Runyam.

Kacau.

Manusia hanya bisa merancang, tetapi takdirlah yang menentukan jalannya, rencana tinggallah rencana. Impian terus terkubur bersama penyesalan yang tiada akhir. Nasi sudah menjadi bubur, tidak bisa kembali seperti semula. Genta seorang pemuda genius yang menguasai bidang IT. Ia orang yang memiliki ambisi tinggi tentang masa depan. Genta tidak memiliki kekurangan dalam hidupnya, ia yakin masa depannya akan cermelang, bahkan bintang di langitpun akan kalah terangnya.

Tapi ambisinya justru menghancurkannya secara perlahan, rencana yang sudah ia susun sedemikian rupa justru kacau. Ia gagal mendapatkan beasiswa di luar negeri karena ambisinya, ia terlalu keras berusaha hingga tanpa sadar ia melebihi batas kemampuannya. Beasiswa ke luar negeri gagal ia dapatkan, tetapi ia tak menyerah begitu saja. Ia memutar otaknya hingga akhirnya ia berhasil terdaftar di Universitas yang terkenal. Ia harap ini menjadi langkah awal untuk menuju masa depan yang cerah.

Usahanya berhasil, Genta akhirnya berhasil menjadi 'Lulusan Terbaik' di kampusnya. Bulan sabit terpancar di raut wajahnya. Ia tersenyum, masa depan cerah sudah di depan mata. Perusahaan mana yang akan menolaknya? Apalagi ia adalah mahasiswa dengan lulusan terbaik di Universitas yang cukup terkenal di kotanya.

Genta dengan ambisinya yang tinggi, ia yakin bahwa akan diterima oleh perusahan besar di kotanya. Tetapi itu hanyalah keyakinananya saja, karena pada kenyataannya hingga sekarang ia masih menganggur. Ia telah dituntut banyak hal, berbagai kebutuhan mendesaknya. Ia bingung harus mencari uang kemana lagi? Hingga akhirnya ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Tetapi bukannnya mati, ia justru terseret ke dunia yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya.

Otaknya yang genius bahkan tidak bisa berfikir tentang apa yang terjadi kepadanya. Apakah ia sudah mati? Apakah ini surga? Atau apakah ini neraka? Genta terdiam sejenak, di hadapannya kini berdiri dua orang wanita yang mengaku telah menunggunya selama bertahun-tahun. Bhatari dan Ajeng. Genta sama sekali tak mengenal dua wanita di depannya ini. Bahkan kedua wanita ini justru meminta bantuanya. Genta tak habis fikir. Ia ingin mati tetapi Tuhan justru mempersulitnya sehingga ia harus bertemu dengan dua wanita aneh yang mengaku sengaja membawanya ke dunia ini untuk memperbaiki negeri yang mereka tinggali.

Genta menatap kedua wanita di depannya dengan pandangan yang sulit diartikan.

"Bagaimana bisa kalian berfikir bahwa aku bisa memperbaiki negeri kalian? Aku bahkan tak mengenal kalian" ungkap Genta dilanda kebingungan.

"Aku tak bisa menjelaskannya, yang terpenting yaitu kamu tidak boleh mati, Genta" jawab Ajeng.

"Halah… tidak boleh mati katamu? Hidupku sudah hancur. Rencana masa depan yang telah aku susun bahkan berantakan. Aku sudah hancur sekarang. Apalagi yang bisa aku pertahankan?" Ia terdiam sejenak.

"Aku…. Aku Genta, dan aku telah kalah dengan keadaan" ucapnya dengan keputusasaan.

Ajeng dan Bhatari menatapnya iba.

"Genta… dengarkan kami terlebih dahulu. Jika kamu mati sekarang, maka negeri kami akan hancur. Hanya kamu lah satu-satunya yang bisa menyelamatkan negeri kami. Hanya kamu, Genta" mohon Ajeng.

"Tapi kenapa harus aku? Kalian tau? Aku adalah orang yang sering gagal. Bahkan untuk masa depanku sendiri aja aku gagal. Apalagi membantu kalian? Membantu negeri kalian? Aku takut. Aku takut jika aku gagal menyelamatkan negeri kalian" Genta menatap sekeliling, ia tak berani menatap Bhatari dan Ajeng.

"Banyak orang hebat di dunia yang ku tinggali dulu, mengapa tidak mereka saja? Mereka orang hebat dan aku yakin mereka dapat menyelamatkan negeri kalian" lanjutnya.

"Tidak bisa, Genta. Menurut takdir, hanya kamu yang dapat menyelamatkan dunia kami" ucap Bhatari.

"Persetan dengan takdir! Aku sudah tak percaya dengan takdir! Biarkan aku mati" Genta begitu menggebu-gebu. Ia sangat membenci takdir yang dihadapinya sekarang.

"Tidak bisa, Genta! Kamu tidak bisa mati, kamu adalah pemimpin kami. Kami sudah menunggumu selama berhanun-tahun. Hanya kamu, Genta… Hanya kamu yang bisa menyelamatkan negeri kami. Kamu tidak boleh mati, Genta" Ajeng bingung harus bagaimana lagi.

"Pemimpin? Apa kalian gila? Aku bahkan tidak mengenal kalian. Aku tidak pernah menginjakan kaki di negeri ini. Aku bahkan baru mengetahui bahwa ada negeri seperti ini. Berhentilah membual dan mengatakan aku pemimpin kalian. Aku hanyalah manusia biasa" ungkapnya.

"Kami tak membual, kamu memang pemimpin kami, Genta." Ajeng meyakinkan Genta.

"Bagaimana kalian bisa yakin bahwa aku adalah pemimpin kalian dari masa depan? Siapa tau kalian salah orang" Genta masih saja tak percaya dengan wanita di depannya ini.

"Tanda lahirmu, Genta" Ungkap Bhatari.

"Hah? Tanda lahir? Tanda lahir seperti apa?" bingung Genta.

"Kamu memiliki tanda lahir di lehermu, Genta. Tanda berbentuk akar".

"Sial… bagaimana bisa mereka mengetahui tentang tanda lahir itu? Apakah benar bahwa aku adalah pemimpin mereka dari masa depan? Tapi bagaimana bisa?" batinnya

"Aku yakin kamu pasti tidak percaya dengan yang kami bicarakan, tetapi yang kami bicarakan adalah fakta. Kamu adalah pemimpin kami. Hanya kamu yang dapat menyelamatkan negeri kami, Genta" lanjut Bhatari.

"Aku masih tidak percaya, bahkan aku menganggap bahwa tanda lahir yang kalian sebutkan hanyalah kebetulan semata" Genta menggelengkan kepala, ia masih tak habis pikir dengan yang terjadi sekarang.

"Baiklah jika kamu masih tidak percaya. Mungkin ini cara terakhir agar kamu bisa percaya dengan kami. Pejamkanlah matamu" ungkap Ajeng seraya mendekati Genta.

Genta menurut, ia memejamkan matanya.

Pikirannya berkelana, ia seperti di bawa ke suatu tempat yang ia tidak ketahui. Ia melihat ke kanan dan ke kiri, tetapi ia tak menemukan hasil. Ia terus berjalan di hamparan rumput yang luas, ia tak menemukan rumah-rumah penduduk atau manusia yang bisa ia tanyai.

Kakinya terus berjalan, tetapi ia tak merasakan capek sedikitpun. Diujung pandangannya, ia melihat pohon dengan daun yang begitu lebat. Akhirnya, ia memutuskan untuk berteduh di bawah pohon tersebut. Ia memangdang ke atas, menatap dedauan yang sedang memayunginya sekarang.

"Mengapa Ajeng membawaku kemari? Dimana dia? Apa yang ingin ia tunjukan?" monolog Genta, yang masih tak mengerti dengan apa yang terjadi.

Ia sungguh bingung, apa yang akan ia lakukan di sini? Apakah Ajeng hanya mengerjainya saja? Jika benar Ajeng hanya mengerjainya, maka ia bersumpah akan membunuh wanita itu.

Genta terbangun dan menatap sekeliling, ia mengetuk-ngetuk batang pohon di hadapannya ini "Ah, sepertinya pohon ini sudah cukup tua".

Tak disangka, batang pohon tersebut terbelah dan membentuk sebuah lorong. Genta kebingungan menatapnya.

"Apakah aku harus memasuki lorong tersebut? Tapi, bagaimana jika aku menemui hewan buas?" Lagi-lagi Genta bertanya pada dirinya sendiri.

Dengan rasa penasaran yang tinggi, akhirnya ia memutuskan untuk memasuki lorong pada batang pohon tersebut. Langkah demi langkah ia masuki. Minim pencahayaan membuatnya tak dapat melihat dengan jelas, ia hanya mengikuti instingnya. Ia terus berjalan hingga ia menemui ujung lorong.

Ia menatap sekeliling, di depannya seperti ada sebuah peradaban manusia.

"Dunia apa ini? Mengapa ada dunia di balik batang pohon? Apa ini yang disebut sebagai dunia paralel?". Ia menatap sekeliling dengan bingung.

"Ajeng!!! Kamu bawa aku kemana hah? Mengapa aku justru terdampar disini?" teriaknya frustasi

Namun miris, ia tidak mendengar sautan apapun dari Ajeng. Pertanyaanya tidak digubris sama sekali. Ia terus bejalan, menyusuri kota yang saat ini sedang ia pijaki. Tetapi kota ini terlalu hening, seperti tak berpenghuni. Ia tak melihat tanda-tanda kehidupan di dalamnya.

"Apa ini kota mati? Mengapa sangat sepi." Genta masih bingung dengan apa yang dihadapinya sekarang.

Ia tak menyerah, kakinya terus berjalan hingga usahanya tak sia-sia. Ia akhirnya menemukan tanda-tanda kehidupan. Sekitar 100 meter di depannya, berdiri seorang pria yang seperti pemimpin dengan menggunakan baju yang sangat tertutup rapat.

"Siapa mereka? Mengapa di cuaca yang panas seperti ini, mereka justru menggunakan baju yang aneh seperti itu? Apa mereka tidak merasakan panas?" bingung Genta.

Genta memantau dari kejauhan tentang apa yang terjadi, ia mendengarkan dengan seksama tentang apa yang terjadi.

"Apa yang harus kita lakukan lagi, Genta?" Ucap Ajeng yang menggunakan pakaian aneh tersebut

"Tunggu dulu… Genta? Apa tadi dia mengatakan bahwa pemimpinnya tersebut adalah Genta? Apakah aku benar pemimpin mereka?" Genta masih kebingungan, ia semakin memusatkan pendengarannya.

"Kita masih bisa melakukan cara lain, virus ini harus segera kita hentikan." Pemimpin tersebut berkata dengan begitu optimisnya.

"Astaga… bahkan suara pemimpin tersebut sangat mirip denganku" batin Genta

"Bagaimana cara menghentikannya?" ucap Ajeng yang menggunakan pakaian aneh tersebut

"Kalian tidak lupa bahwa aku sangat ahli tentang IT dan sebagainya kan? Aku akan berusaha meneliti virus ini dan membuat sesuatu untuk menghentikan virus ini" ucap Pemimpin tersebut

"Baik Pemimpin, tidak sia-sia kami menjadikan kamu sebagai pemimpin" ucap mereka serempak.

Tiba-tiba Genta merasakan pusing, dirinya seolah ditarik oleh sesuatu tak kasat mata. Matanya terus terpejam.

"Bukalah matamu, Genta" ucap Ajeng perlahan.

Genta membuka matanya, ia melihat keseliling. Ia sudah kembali ke tempat pertama kali bertemu dengan Ajeng dan Bhatari.

"Apakah kamu sudah melihat semuanya?" Genta menganggukkan kepala.

"Jadi, aku benar pemimpinmu dari masa depan?"

Bhatari dan Ajeng saling melihat satu sama lain dan tersenyum.

"Betul, kamu adalah pemimpin kita di masa depan. Otak geniusmu dapat menyelamatkan negeri kami. Jangan sia-siakan hidupmu" ucap Bhatari dan tersenyum.

"Bagaimana jika aku gagal?" ucap Genta pesimis.

"Setidaknya kita harus mencoba, karena takdir tidak pernah salah" jawab Ajeng.