"Itu semua hanya masa lalu, Ariel," ucap Megan dengan tegas. "Senang bertemu denganmu. Kami permisi dulu ya," ia langsung menarik suaminya pergi dari situ.
Ditinggalkan begitu saja oleh orang yang pernah dekat dengannya, membuat emosi Ariel tersulut. Terlebih lagi saat ia melihat suami Megan dengan pakaian yang menurutnya 'sangat tidak layak'.
Sesampainya di rumah, Megan menceritakan tentang Ariel pada suaminya.
"Jadi gimana?" goda Ethan pada istrinya.
Mereka berdua tengah bersantai di atas tempat tidur. Ethan berbaring terlentang dengan Megan berbaring miring di sebelahnya. Sebelah kaki Megan dinaikkan ke atas paha Ethan, sementara satu tangannya memeluk perut Ethan.
"Gimana apanya."
"Ya tadi itu mantan pacarmu."
"Huh. Malas banget aku sama orang yang tidak bisa nerima kenyataan kayak dia," Megan berhenti sebentar kemudian melanjutkan, "Kami pacaran dulu semasa masih kuliah. Ya memang lumayan lama sih. Terus dia lanjut ambil S2 ke Singapura. Hubungan kami jadi renggang sejak dia pindah ke Singapura, dan akhirnya putus deh. Terus aku ketemu cowok di tempat aku biasa minum kopi, kami pacaran, dia ngajak aku nikah, aku terima deh."
Ethan tersenyum nakal mendengar jawaban Megan.
"Siapa sih cowok di coffe shop yang berani ngajak kamu yang cantik ini nikah?"
"Nah itu dia. Di hadapan aku yang bicara..."
Megan tidak melanjutkan kalimatnya karena dia langsung mencium Ethan.
Di luar rumah, angin berembus pelan meniup puncak pepohonan, membuatnya bergoyang-goyang seperti hantu malam.
Paginya, Ariel yang masih terbakar cemburu karena melihat Megan dan suaminya, jadi tidak semangat untuk berangkat ke kantor. Hari ini adalah hari pertamanya masuk kerja sebagai pimpinan perusahaan yang tadinya dikelola papanya.
Nela, sekretarisnya langsung menyodorkan berkas-berkas para pelamar untuk menjadi staf baru di perusahaan. Mood Ariel pun semakin memburuk saat melihat nama dan foto Ethan di dalam tumpukan berkas para pelamar.
Ia memperhatikan foto Ethan dengan lebih saksama dan membaca nama yang tercantum di bawahnya, Ethan Abraham Patlers.
Pasti ini dia orangnya, tak salah lagi. Pandangan Ariel menerawang jauh. Hmmm... mungkin memang sudah jalannya begini, batinnya. Lalu dia kembali terbayang wajah Megan yang terlihat semakin cantik dan berseri saat mereka bertemu semalam.
Klik.
Ariel menekan interkom, "Nela, bisa ke ruangan saya sebentar?"
"Baik, Pak," terdengar jawaban dari seberang.
Tak lama kemudian Nela datang memasuki ruangan Ariel. Nela, wanita muda awal dua puluh tahunan. Memiliki tubuh proporsional, kulit bersih, dan rambut yang dipotong sebahu.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?"
"Ya, ada. Tolong jadwalkan interview besok untuk pelamar dengan nama Ethan Abraham Patlers. Berkasnya ada di tumpukan."
"Baik, Pak. Itu saja, atau ada yang lain?"
"Satu itu saja, saya hanya butuh penambahan satu staf saja."
"Baik. Saya permisi kalau begitu," Nela keluar dari ruangan Ariel dengan membawa setumpuk berkas di depan dadanya.
Setelah pintu tertutup, Ariel langsung menyalakan komputer dan membuka akun media sosial Megan. Dilihatnya semua koleksi foto Megan satu persatu. Jari-jari tangannya terkepal setiap kali ada foto Megan sedang bersama dengan Ethan.
Sambil melihat foto-foto itu, satu rencana besar telah tersusun di benak Ariel.
Megan bangun pagi-pagi sekali untuk menyiapkan keperluan suaminya. Karena hari ini ia akan interview. Ethan yang tak kalah semangat dari istrinya juga bangun lebih pagi dari biasanya. Kegiatan menyiram tanaman ia selesaikan dengan segera, lalu langsung mandi dan menyiapkan diri.
Setelah berpakaian, Megan sudah menunggu di meja makan untuk sarapan.
"Ayo sarapan dulu, biar semangat."
"Semangat dong, kan ada kamu. Masak apa nih pagi-pagi gini?"
"Ini doang nih yang tadi ada di mamang tukang sayur. Aku bikin sayur bening bayam sama telur ceplok."
"Itu juga udah cukup kok," ucap Ethan sambil menuang teh dari teko ke dalam cangkir.
"Hati-hati tehnya masih panas."
"Ups... iya nih."
Sehabis sarapan, mereka bersiap untuk berangkat kerja.
"Sudah siap semua kan?" Tanya Megan pada suaminya.
"Sepertinya sudah," jawab Ethan sambil memeriksa kembali isi tasnya.
Megan mendekat dan merapikan dasi Ethan yang terlihat agak miring, "Sukses ya."
Ethan menunduk mengecup dahi Megan sambil berbisik, "Makasih ya."
Matahari bersinar cerah pagi ini. Udara segar membuat Ethan sangat bersemangat dan melangkah ke halaman depan dengan perasaan optimis.
Lalu mereka berangkat menuju arah masing-masing.
Di kantor, Ethan diterima dengan sangat ramah oleh Nela, sekretaris Ariel. Karena tadi Ariel berpesan bahwa interview ini hanya untuk melengkapi berkas. Sejatinya, Ariel sudah mengenal Ethan sebelumnya dan yakin untuk menerima Ethan bekerja di perusahaannya.
Oleh sebab itu, Ariel tidak perlu turun tangan untuk interview dan menyerahkan semuanya kepada Nela.
Nela yang beranggapan bahwa sedang berhadapan dengan teman atasannya pun bersikap sangat ramah, dengan harapan dia bisa dekat dengan Ethan dan jabatannya bisa naik.
"Baik, Pak Ethan. Anda punya waktu tiga puluh menit untuk menjawab semua soal-soalnya. Waktu dimulai setelah Bapak mengeklik tombol mulai ya." Nela menyerahkan komputer tablet berisi psikotes yang harus dikerjakan Ethan.
Tiga puluh menit kemudian Nela kembali dan mengambil komputer tablet dari meja di depan Ethan.
"Gimana soal-soalnya, Pak? Susah-susah tidak?"
"Ya lumayan."
"Baik, saya periksa dulu ya, Pak. Sebentar lagi hasilnya akan keluar. Bapak mau minum?"
"Oh tidak usah. Saya tidak haus."
"Kebetulan saya mau ke pantri, sambil menunggu hasil psikotes Bapak siapa tahu mau minum teh atau kopi. Biar sekalian saya bawakan," Nela tersenyum lebar sekali. Menampakkan semua gigi depannya. Tapi, sekali lagi Ethan dapat melihat bahwa senyum Nela tidak sampai ke matanya.
"Tidak. Terima kasih."
Nela pergi meninggalkan Ethan sambil membawa komputer tablet berisi psikotes yang tadi dikerjakan Ethan. Tapi, rupanya dia tidak ke pantri, melainkan pergi ke ruangan Ariel.
"Pak Ariel, berikut psikotes calon karyawan bernama Ethan."
"Taruh saja di meja. Kau langsung kasih tahu dia kalau dia diterima bekerja di sini. Jelaskan juga tentang salary dan insentif yang akan dia terima. Berkasnya sudah ada di meja saya."
Sementara di mejanya, Ethan menunggu dengan santai. Pikirannya sedang rileks karena dia merasa puas dengan jawaban-jawabannya dalam psikotes tadi.
Dia teringat Megan dan membayangkan wajahnya yang bersinar bahagia bila tahu Ethan diterima bekerja di perusahaan ini.
Tak lama kemudian Nela sudah kembali masuk ke ruangan. Tapi ada yang berbeda sekarang. Tak ada lagi senyum palsu yang tadi selalu ia pasang di wajahnya yang berbedak tebal.
Dia menarik kursinya dengan kasar dan begitu saja menjatuhkan pantatnya di kursi.
"Baik, Pak Ethan," Nela membuka suara. "Kami cukup puas dengan hasilnya. Tapi sebelum itu masih ada yang perlu Bapak ketahui," Nela menyodorkan berkas yang tadi dibawanya dari ruangan Ariel ke hadapan Ethan.
Ethan menarik berkas itu dan langsung membacanya. Mata Ethan meluncur pelan karena beberapa istilah yang kurang ia pahami.
Deg.
Apa ini? Batin Ethan.