"Aku menerima Ethan bekerja di sini untuk membuatnya menderita."
Kalimat itu tiba-tiba saja meluncur dari mulut Ariel saat Nela menyerahkan hasil psikotes.
Ethan benar-benar tidak menyadari bahwa sekarang dirinya malah bersiap memasuki kandang macan.
Rupanya perkataan Ariel itu pula yang membuat sikap Nela kepada Ethan jadi berubah seratus delapan puluh derajat.
Nela yang awalnya selalu memasang senyum di wajahnya, sekarang sudah tidak lagi bersusah payah lagi menyembunyikan wajah aslinya yang jutek dan masam.
Bahkan ketika Ethan meminta penjelasan tentang tabel gaji yang kurang ia pahami, Nela menjawab dengan kasar dan ketus sekali. Tak hanya itu saja, selesai berbicara, dia langsung berpamitan pada Ethan dan tidak memberi kesempatan pada Ethan untuk bertanya lebih detail perihal gaji dan insentif yang akan ia terima.
Terlihat sekali bahwa Nela adalah jenis orang yang sok berkuasa. Tak hanya itu, melihat perubahan drastis sikap dan cara ia memperlakukan Ethan, jelas sudah bahwa Nela adalah orang yang suka menjilat dan jago akting.
Ethan menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Sekali lagi dia harus berurusan dengan orang macam Nela. Rupanya orang seperti itu memang akan selalu ada di mana-mana tempat. Sebab di perusahaan papanya juga Ethan sering bertemu dengan orang macam Nela ini.
Orang-orang haus kekuasaan dan uang yang akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang menjadi keinginannya. Malas rasanya bila harus berada di dalam satu tim kerja dengan orang semacam itu.
Tapi, ia teringat kembali wajah istrinya. Senyumnya, binar-binar di matanya, serta lesung pipit di kedua pipinya. Wajah semringah dari wanita kecintaannya itu tentu akan menyambutnya begitu Ethan mengabarkan bahwa dia sudah mendapatkan pekerjaan.
Biarlah. Nanti saja dipertimbangkan. Ethan tidak rela jika harus mengatakan bahwa sekali lagi ia gagal mendapatkan pekerjaan. Ia tidak ingin melihat wajah kecewa istrinya lagi.
Tapi, ditinggalkan seorang diri di ruang interview seperti ini membuatnya merasa tidak nyaman.
Kantor Ariel Advertising tempat Ethan melamar adalah perusahaan periklanan yang sedang berkembang. Ethan sama sekali tidak terpikir bahwa Ariel Advertising adalah milik Ariel, orang yang membencinya karena telah menikah dengan Megan.
Ethan hanya kebetulan saja melamar di sini karena melihat iklan lowongan pekerjaan yang beredar bebas di internet. Ia tak pernah tahu bahwa sejak Ariel mengetahui bahwa ia adalah suami Megan, sejak saat itu ia adalah musuh besar bagi Ariel.
Menurut pengakuan Megan, terakhir ia melakukan kontak dengan Ariel adalah saat-saat awal ia berpacaran dengan Ethan. Ariel yang saat itu tengah sibuk dengan kuliahnya di luar negeri sepertinya kurang memberi perhatian pada kekasihnya. Sehingga Megan lebih memilih meminta putus.
Pada saat-saat kekosongan itulah Ethan hadir dalam kehidupan Megan dan mengubah hari-harinya yang membosankan menjadi penuh warna.
Meski Ethan bukanlah orang yang bergelimang materi, kehadiran Ethan selalu bisa membuat Megan merasa aman dan nyaman.
Tak ada yang diinginkan Megan selain secepat mungkin membenamkan dirinya ke dalam pelukan Ethan setelah lelah seharian bekerja.
Tak pernah sebelumnya Megan menantikan datangnya akhir pekan. Saat di mana ia bisa menghabiskan waktu seharian penuh bersama Ethan. Ke kebun binatang, ke pasar ikan, ke toko bunga, ke kebun raya. Ethan selalu tertarik pada hal yang berhubungan dengan flora dan fauna. Lambat laun, hal itu menular pada Megan juga.
Itulah mengapa, meski rumah mereka mungil, tapi kebun depan dan belakang mereka yang tak seberapa luasnya itu penuh dengan aneka tanaman.
Sehingga ketika Ethan menawarkan sebuah kepastian padanya, Megan pun langsung mengambilnya pada kesempatan pertama.
Ponsel Ethan bergetar dua kali. Ada dua pesan masuk. Pesan pertama dari Nela, yang memberitahukan bahwa untuk saat ini dia sudah bisa pulang. Kabar selanjutnya akan segera ia beritahukan melalui surat elektronik.
Pesan kedua berasal dari Pak Ario, memberitahukan bahwa kalau boleh dia ingin menelepon. Ethan membalas bahwa lima menit lagi dia siap untuk ditelepon.
Ethan pun segera membenahi berkas miliknya dan memasukkannya ke dalam tas, lalu bergegas keluar dari ruang sumpek itu.
Sesampai di lobby, ia mencari kursi kosong dan duduk di situ menunggu telepon dari Pak Ario.
Ponselnya berdering, nama Pak Ario terpampang di layar.
"Halo?"
"Halo, Tuan Ethan. Maaf kalau saya mengganggu."
"Ah, tidak kok. Ada apa, Pak?"
"Tuan ada waktu luang? Kalau ada, hari ini Tuan Ethan ditunggu Pak Danang."
"Pak Danang? Pak Danang?"
"Iya. Beliau sedang di sini sekarang, dan berharap untuk bisa bertemu dengan Tuan Ethan. Ada yang harus dibicarakan katanya."
Ethan memeriksa jamnya sebelum menjawab, "Oke. Siang ini saya bisa ketemu. Atur saja tempatnya, Pak."
"Baik. Terima kasih. Mohon menunggu sebentar," hening sebentar, kemudian suaranya terdengar lagi, "Halo, Tuan. Masih di sana?"
"Iya."
"Saya sudah pesan tempat di King Steak, Grand Indonesia ya. Untuk waktu makan siang."
"Baik. Terima kasih, Pak."
Tidak menunggu lama, Ethan pun langsung menuju Grand Indonesia untuk bertemu Pak Danang. Pertemuan dengan Pak Danang ini menandakan bahwa pembatasan untuk Ethan telah benar-benar berakhir.
Pak Danang adalah CEO Abraham Patlers Land. Anak perusahaan dari Abraham Patlers Corp yang membawahi semua urusan bisnis Abraham Patlers Corp di bidang properti.
Sebelum masa pembatasannya, Pak Danang selalu melaporkan perkembangan bisnis properti Abraham Patlers Land pada Ethan. Pertemuan kali ini tentu tidak jauh dari pembahasan hal tersebut.
Terakhir kali Ethan memegang Abraham Patlers Land, aset saat itu adalah dua puluh gedung hotel bintang lima, dua puluh tujuh gedung apartemen, tiga puluh gedung pusat perbelanjaan, dan tak terhitung lagi banyak komplek real estate yang tersebar di seluruh Indonesia.
Data tersebut adalah data aset beberapa tahun yang lalu sebelum pembatasan Ethan. Saat ini, setelah beberapa tahun berlalu, tentu saja jumlah aset telah bertambah.
Setelah sampai di Grand Indonesia, Ethan langsung mencari di mana restoran King Steak berada. King Steak terletak di lantai dasar, dekat hall, menempati lokasi yang sangat luas. Merupakan restoran steak bintang lima terbaik di Jakarta.
Di pintu masuk restoran, Ethan disambut oleh penerima tamu yang terlihat agak risih dengan kehadiran Ethan. Petugas itu memandang Ethan dari atas sampai bawah.
Kemeja Ethan yang terlihat sudah pudah warnanya, celananya yang terbuat dari bahan murahan, dan sepatu kusam yang dikenakan Ethan.
Dipandang dengan cara seperti itu membuat Ethan jadi gerah dan tak nyaman. Ethan langsung pamit permisi dan langsung masuk sendiri ke dalam restoran dan mencari meja balkon yang sudah dipesan Pak Ario.
"Maaf, Pak. Ada yang bisa dibantu?" Seorang pramusaji menyapa Ethan karena melihatnya celingukan ke sana ke mari seperti sedang mencari sesuatu.
"Ya ada. Saya sudah pesan meja balkon. Sebelah mana ya?"
"Ha ha," pramusaji itu tergelak begitu mendengar Ethan telah memesan meja balkon. Matanya melirik pada Ethan dan terlihat sekali senyum mengejek di bibirnya. Sebab hanya orang-orang tertentu yang bisa memesan meja balkon.
Setelah menenangkan diri, pramusaji tadi kembali bertanya, "Meja balkon? Bapak tidak salah sebut?"