Keheningan menyelimuti ketika Maudy menyetir, sementara Ethan duduk di kursi penumpang samping Maudy dalam perjalanan pulang.
Tepat di lampu merah, ia berhenti diikuti tangan Maudy yang perlahan meletakkan tangannya di paha Ethan
Mereka bertukar pandang. Maudy menyatakan maksudnya dengan sangat jelas. Ethan dapat membaca hasrat di mata Maudy yang demikian membara.
Perlahan Ethan menggenggam tangan Maudy yang memegang pahanya. Ia dapat merasakan tangan Maudy yang berkeringat.
Diangkatnya tangan Maudy dan diletakkan kembali ke roda kemudi.
"Fokus saja sama jalan dulu."
"Tuan Ethan masih marah sama saya karena soal yang tadi ya?" ucap Maudy dengan bibir cemberut dan pandangan yang tetap terarah lurus ke depan jalan raya.
"Tidak. Tenang saja, saya tidak marah kok. Cuma saat ini saya tidak mau kau jadi tidak fokus sama jalan."
"Saya kembali minta maaf ya, Tuan. Soal yang tadi. Saya sama sekali tidak tahu kalau itu Tuan Ethan."
"Iya. Tidak apa-apa. Sungguh. Tidak usah terlalu dipikirkan."
"Terima kasih, Tuan. Maaf saya lancang, kalau boleh tahu, masa uji coba tuan beberapa tahun belakangan ini ke mana saja?"
"Tidak ke mana-mana. Saya lebih ke santai menjalani hidup."
"Tuan hebat. Padahal dari kecil sudah terbiasa hidup mewah dan segala hal selalu siap tersedia. Tapi Tuan bisa melewatinya dengan hidup sederhana, tak kurang satu apa pun."
Tak kurang satu apa pun? Kau tidak tahu saja, Maudy. Huh. Gerutu Ethan kesal dalam hati.
"Maudy, kau hanya melihat apa yang terlihat di depan saja. Sejujurnya, memang banyak hal terjadi selama saya menjalani uji coba dari Papa. Tapi semua hal itulah yang pada akhirnya membuat saya bisa lebih mengerti dan memaknai arti hidup."
"Memang Tuan Ethan pernah kesusahan juga ya selama uji coba?"
"Hmm... lumayan. Soalnya semua akses kartu kredit dan atm saya diblokir. Jadi saat Papa memberlakukan uji coba pada saya, uang yang saya miliki hanya uang yang ada di dalam dompet. Justru semua kesulitan yang saya temui itulah yang membuat saya jadi mengerti maksud dan tujuan Papa memberlakukan itu."
"Kalau saya sih terus terang belum tentu sanggup, Tuan."
"Maudy, ingat baik-baik ya. Bahwa sebenarnya penampilan seseorang tidak selalu menunjukkan siapa orang itu sebenarnya. Karena sesungguhnya hidup ini singkat, dan kau harus mulai belajar untuk menjalaninya untuk dirimu sendiri. Sebab orang-orang di luar sana tidak akan tertarik dengan penderitaanmu."
"Hmmm..."
"Nikmati hidup selagi kau bisa. Hidup hanya sekali."
"Iya, Tuan."
Ponsel di saku Ethan berdering nyaring tanda ada panggilan telepon masuk. Nama Ravella terpampang di layar ponsel Ethan yang layarnya pecah, namun masih bisa dipakai.
Maudy melirik sebentar pada ponsel Ethan kemudian langsung mengalihkan pandangan ke arah lain.
Entah mengapa, melihat kesederhanaan dalam cara Ethan menjalani hidup, membuat Maudy merasa makin kagum padanya. Masihkah ada kesempatan untukku, lirih Maudy dalam hati...
Diam-diam dipandanginya wajah Ethan yang tengah berbicara di telepon melalui kaca tengah. Dahinya, hidungnya, kumisnya, bibirnya, dagunya...
Bagaimana mungkin ia tidak menyadari wajah rupawan itu lebih cepat?
"Halo, Ethan?"
"Ya, Kak Ravella. Kenapa?"
"Ethan. Benar-benar dirimu ya. Selalu saja menghikang entah kemana. Ini ada mertua yang sedang dirawat di rumah sakit, kau malah keluyuran. Di mana kau sekarang?" semprot Ravella tiba-tiba membuat Ethan kaget.
Ethan mengecilkan volume panggilan supaya Maudy tidak mendengarkan suara teriakan Ravella.
"Maaf, Kak. Saya ada urusan sebentar," jawab Ethan dengan suara sepelan mungkin sambil memiringkan badannya ke samping untuk menghindari tatapan ingin tahu Maudy.
"Urusan apaan sih, nggak usah sok jadi orang penting yang punya banyak urusan ya. Soalnya urusanmu itu hanya alasan agar kau bisa berleha-leha. Dasar menantu payah. Tidak guna. Gembel..."
"Saya akan segera datang ke rumah sakit, Kak. Sekarang," potong Ethan dengan kasar karena tidak tahan lagi dengan suara cempreng Ravella yang membuat telinganya sakit.
"Tunggu. Jangan ditutup dulu. Ini Jayson mau ngomong sama dirimu katanya."
"Halo, Ethan?" Terdengar suara Jayson di seberang telepon.
"Ya, kak?"
"Kau buruan datang ke rumah sakit ya. Gantiin aku, malam ini giliranmu jagain mama."
"Iya, kak. Ini saya sudah jalan menuju ke rumah sakit, sebentar lagi sampai."
"Baguslah. Oh iya, jangan lupa bawa oleh-oleh buat mama. Tunjukin perhatian dikit sama mama, biar orang rumah tidak ngomel melulu."
"Iya, kak. Terima kasih udah ngingetin."
Klik. Panggilan terputus.
Jayson tertawa kecil dalam hati. Dengan santai dia mengingatkan Ethan supaya membawa hadiah untuk Caroline. Kedengarannya dia sangat peduli dengan Ethan, padahal dalam hatinya ia tengah menyusun satu jebakan untuk Ethan.
Tanpa setahu Ethan, Jayson telah menyiapkan sebuah hadiah bagus yang akan ia berikan untuk Caroline. Dia sangat percaya bahwa hadiah yang telah ia beli pasti lebih bagus dari apa yang akan Ethan beli.
Dengan demikian, Caroline akan semakin menyayangi Jayson karena telah memberikan hadiah yang lebih bagus dari yang Ethan berikan.
"Eh, Maudy. Saya tidak jadi pulang ke rumah. Kita langsung ke Rumah Sakit saja ya," pinta Ethan pada Maudy. "Maaf ngerepotin."
"Baik, Tuan."
Maudy memutar arah menuju rumah sakit.
"Siapa yang sedang dirawat?"
"Mertua saya. Kemarin kena serangan jantung."
"Jadi Tuan Ethan sudah menikah?"
"Sudah."
"Tapi tidak kelihatan lho kalau sudah menikah. Lebih dominan terlihat single."
"Emang cara bedainnya gimana?"
"Gimana ya jelasinnya. Pokoknya beda aja."
"Hhhh..." Ethan menarik napas panjang dan menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi, kedua tangan ia letakkan di belakang kepala, kaki ia julurkan panjang-panjang.
"Tuan ada masalah apa?"
"Hah? Maksudnya? Nggak, tidak ada masalah apa-apa kok."
"Santai saja, Tuan. Kalau Tuan Ethan ada masalah, saya siap kok kapan pun Tuan Ethan butuh seorang pendengar."
"He he. Terima kasih," Ethan menurunkan sandaran kursi supaya bisa lebih rileks. Sekarang ia duduk dengan posisi hampir berbaring. Ia pejamkan matanya sejenak.
Dirasakannya kembali bahwa Maudy meletakkan tangan di pahanya.
Ethan diam saja dan pura-pura tidur. Karena perjalanan menuju rumah sakit masih lumayan jauh.
Karena tak ada respon dari Ethan, perlahan Maudy mengangkat tangannya. Sementara Ethan terus berpura-pura tidur sepanjang sisa perjalanan.
Akhirnya sampai di rumah sakit.
"Terima kasih ya, Maudy. Sudah mau jauh-jauh ngantarin saya ke mari."
"Ah, tidak apa-apa. Saya justru merasa beruntung jadi punya waktu bersama lebih lama dengan Tuan Ethan." Maudy mengedipkan sebelah matanya menggoda. "Oh, iya. Ini teripangnya, Tuan. Hampir saja lupa."
"Oh iya. Saya langsung masuk tidak apa-apa ya?"
"Oke. Saya juga mau langsung pulang," Maudy pun menginjak gas mobilnya meninggalkan Ethan di depan rumah sakit.
Ethan melangkah seorang diri ke dalam rumah sakit, dengan teripang di tangannya. Teripang hadiah dari Pak Ario yang sebenarnya dia pesan khusus untuk Ethan. Teripang import dari jepang seharga lima puluh juta dengan banyak duri-duri yang memenuhi kulitnya.