Ghania mengutuk dirinya lagi-lagi dan lagi. Bagaimana dia bisa melakukan itu? Mengajak adik kelasnya untuk menikah? Lebih spesifik lagi mereka bahkan baru kenal, dekat saja tidak!
Apa dia sefrustasi itu masalah pernikahan? Sebenarnya apa yang salah dengan dirinya sendiri?
Sekarang dia malah menjauhi pertemuan club. Lagi. Ini membuat Nathan benar-benar gentar mengajaknya untuk pergi ke club. Bersamaan dengan kabar Zhania masuk ke club majalah dinding.
Dia pasrah kalau seandainya bertemu dengan Rio dan harus menahan malu sepanjang latihan.
Tapi dia tidak menemukan pemuda itu dimana pun. Di satu sisi dia begitu lega. Di sisi lain ada rasa kecewa yang melukainya. Lagian, apa yang dia harapkan sejak awal?
Sangat menyeramkan untuk mengajak seseorang yang kita tahu saja untuk menikah.
Ghania benar-benar gila.
Gila karena dia juga senang mendengar kabar kalau seorang Zhania ternyata tidak ikut club Voli dan memilih masuk ke dalam club majalah dinding.
"Ghaning! Ghaning! GHANING!"
Dia menatap horor pemuda di depannya. Nathan. Si libero.
Nathan itu kayak matahari kalau Theo bulan. Nathan itu air kalau Calvin itu Api. Nathan itu kehidupan kalau Ghania adalah kematian.
Pemuda itu tersenyum. Selalu begitu.
Bagaimana sih... rasanya jadi pusat seperti Nathan?
"Ghaning dari tadi melamun terus! Kita cetak poin loh!"
"A—oh yah. Ma—maaf! Berapa poin tadi?"
Oh yah. Mereka di dalam permainan yang butuh seorang Ghania. Ghania dibutuhkan dalam permainan ini.
Dia mengganti angka. Yang menunjukan kalau sudah selesai waktu mereka bermain. Sorakan dari tim Nathan berhasil menyadarkan lebih keras.
Semua kehilangan di saat dia tidak pernah memiliki itu akan berakhir.
Dia tidak perlu memikirkan masalah Rio ataupun Ghania lebih jauh.
Ada masalah lebih besar. Pernikahannya yang harus dia selesaikan sendiri sebagai seorang anak. Setidaknya kali ini dia harus lebih berguna lagi untuk sang Ibu. Setidaknya walau....
"Lo kenapa nggak fokus terus?" suara dalam itu membuatnya meringis.
Serem dia sama Calvin.
Walau lebih serem Zhania yang seakan bisa membaca pikiran. Syukur-syukur perempuan itu sudah keluar dari jangkauan Ghania, jadi tidak ada alasan khusus mereka untuk saling bertemu.
Ghania mencoba tersenyum menggaruk lehernya kaku, "maaf."
"Gue nggak butuh maaf lo? Gue tanya lo kenapa, Wening?"
Ah tidak deh.
Keduanya sama-sama menyeramkan.
Ghania menggeleng kuat-kuat menjawab tak apa tapi lagi-lagi pemuda itu mendesaknya.
"Tapi lo ngelamun terus? Itu nyebelin tahu nggak?"
Nyes.
Kalau seandainya hatinya punya mini backsound, pasti itulah bunyi yang keluar sekarang. Kata Calvin menyobek hatinya lebih dari yang ia harapkan. Matanya memanas, Ghania melotot kecil tahu perasaan sesak ini akan berakhir kemana.
"Weh! WOY! WOY! WOY! ADA MOBIL PARKIR DEPAN CLUB?!"
Teriakan salah satu seniornya berhasil mengalihkan perhatian mereka berdua. Diam-diam Ghania menetralkan perasaannya. Berusaha tersenyum tidak lagi menunduk.
"CALVIN! KAKAK LO!"
Calvin punya kakak? Ghania menarik diri ketika Calvin berlari cepat ke pintu seakan ingin menyambut kakaknya. Ghania berusaha untuk tidak peduli. Tapi dia peduli.
KENAPA SIH?
Dia kan bukan siapa-siapa.
Kenapa..... sih?
Dia mencoba menahan dirinya dari menoleh penasaran, tapi langsung saja ditemukan.
Wanita dengan rambut pendek hitam itu jika dilihat memang seperti Calvin versi perempuan. Pakaian yang dia pakai lebih casual dari saat bertemu dengan sang Ibu.
Kali ini, Rinjani memakai sebuah jas hitam dengan celana hitam juga. Bukan rok.
Rinjani itu kayak bukan tipikal nona bangsawan yang sering diceritakan oleh buku sejarah yang sering dia baca. Atau dongeng kecil yang dibelikan oleh sang Ibu.
"Ghania! Yuhu! Saya lagi off day langsung reschedule ke sini dari rumahnya Yora, kaget nggak kamu?"
KAGET LAHHH!
Pake nanya lagi.
Ghania rasanya melemas dengan semua kejadian yang akhir-akhir ini muncul di sekitarnya. Kenapa ya? Ghania membuat dosa baru mungkin? Apa mulai hari ini dia harus berdoa dengan rajin?
"Kakak nggak mau ketemu sama kamu ya, Vin. Loh bentar KAMU YA YANG BIKIN GHANIA NANGIS? KOK MATANYA BENGKAK GITU?" Dengan agak heboh Rinjani mendekat dan memegang wajahnya.
"Ghania kamu nggak apa?"
KAN BINGUNG GIMANA RESPONNYA.
Kenapa sih mereka? Kenapa mereka terus muncul dan mengganggu ketenangan Ghania? Dia cuman mau kedamaian...
"Lo bikin dia panik, kak."
"YEU LO YANG BIKIN DIA NANGIS VIN!"
"Ano—Nyonya, ada apa ya?" dengan suara pelan, dia berusaha untuk menetralkan keributan yang dua orang itu buat.
Dua-duanya tidak langsung diam.
Suara kecil Ghania tidak mungkin mendiamkan mereka. Gadis itu meringis jadi ingat kejadian pertengkaran Nathan dan Calvin yang berhasil bikin dia luka.
"Nyo—"
Tubuhnya terdorong lebih jauh.
Dan semua orang di club tidak banyak membantu. Kebiasaannya untuk mengamati sekitar akhir-akhir ini menurun drastis, tapi soal sadar akan mata mereka. Tentu masih.
Gadis itu mengigit bibirnya.
Ingin menangis rasanya. Tapi dia... agak kesal.
Bagaimana ya caranya agar mer7reka diam? Dua orang itu tidak terlihat saling mengalah. Padahal dua orang ini bangsawan. Apa malah karena itu ya ego mereka setinggi ini?
"NYONYA!" seru Ghania, tenggorokannya sakit. Tapi tanggapan mereka pantas.
Dua orang itu akhirnya diam. Dengan ekspresi yang berbeda. Calvin hanya diam bodo amat dan Rinjani terlihat senang sama sekali tak terganggu.
"Wah wah, nona Wening kita sudah besar ya? Sekarang sudah bisa mendiamkan orang bertengkar!"
Ghania tidak terlalu mengenal Rinjani. Tapi, dia akhirnya tahu satu hal. Nyonya Rinjani terlihat seperti tipe kakak yang senang mengganggu adiknya dari cara dia berinteraksi dengan Calvin.
Mereka berdua benar-benar saudara.
Ghania berkedip.
TUNGGU!
Apa dia tadi sampai berteriak?
Dia menunduk meminta maaf dengan cepat. Dan semuanya kembali seperti semula. Tim beberes. Lagian ini sudah mulai sore. Saatnya istirahat.
Dan Ghania, disibukan oleh Nyonya Adinata.
Dia juga baru sadar kalau selama ini dia punya kenalan dari keluarga kalangan teratas. Duh.
Walau kabarnya...
"Apakah kamu sudah mempelajari semua bahan ajar?" tanya wanita itu.
Oh. Benar. Rinjani datang untuk mengecek semua yang dia pelajari.