Pusat Kota Utara.
Mereka mencapai pusat kota Garajana Utara lebih lama dari yang diberi tahu peta jaringan atas.
Rencana awalnya adalah mereka akan sampai sekitar Satu hari satu malam setelah keberangkatan menggunakan kereta cepat. Tapi, sedikit yang mereka ketahui bahwa di sana tidak ada transportasi yang bisa mereka pakai.
Iya.
Utara adalah kerajaan yang masih sangat tradisional operasinya. Untuk kendaraan sendiri, mereka punya.
Hanya saja, soal kendaraan cukup untuk para pejabat besar. Para pemimpin negeri. Dan merupakan barang pribadi. Bukan publik.
Miris.
Ternyata... Dona tidak berbohong.
Langit mereka adalah langit yang sama dengan selatan, tapi terlihat lebih gelap. Seakan-akan bisa hujan lebat kapan saja.
Setelah beristirahat di hotel, giliran mereka untuk benar-benar melakukan study tour tentang pusat kota 'tetangga'.
"Apa semua sudah naik?" pertanyaan dari supir itu nyaring sekali di tengah kesunyian halaman Hotel yang luas.
Parkiran itu tidak punya kendaraan kecuali bus selatan itu.
Semua penumpang berseru nyaring.
Namun, mata Ghania melihat mereka menatapnya. Tersenyum.
Ghania... tidak ingin menceritakan apa yang ia lihat sebelum bus itu melaju saat dia ada di dekat bus itu.
Dia hanya tinggal masuk ke sana.
Tapi, kenapa mereka semua begitu kompak menjawab iya padahal melihat dirinya yang belum masuk?
Ghania tersenyum miris.
Dia tidak pernah bepergian sendiri.
Mereka tidak tahu itu.
Jadi, apa ini salah Ghania lagi yang tidak mendekat dan menjadi bagian dari mereka?
Kenapa.... sih.
Ah, apa mungkin karena bus itu dari Selatan ya?
Ghania mengangguk. Menghibur dirinya sendiri. Padahal dia sadar bahwa... mereka memang sengaja melakukannya.
Tidak ada kendaraan di sekitar sini. Dan yang dia akan lakukan untuk sampai ke museum ekor naga adalah berjalan kaki?
Tidak. Ghania bisa melakukannya.
Itu... tidak mungkin sesusah yang dia pikirkan kan? Setiap orang yang bertemu dengannya berkata bahwa dia berlebihan dalam berpikir dan menilai sesuatu.
Itu benar.
Ah, daripada memikirkan itu Ghania mengingatkan dirinya untuk menegakkan posturnya lagi. Lagi. Dan lagi.
Dia bernyanyi di pusat kota sunyi itu.
Tidak ada gedung gedung pencakar langit seperti di Selatan, daerah pimpinan Putri Helena. Tidak ada juga jalanan mulus seperti di Selatan.
Ini seperti daerah kediamannya dengan situasi... yang sedikit lebih baik.
Dia mulai mendengar suara ketukan cepat. Seperti suara anak Rajawali saat tengah berlatih melompat.
Tubuhnya yang tertubuk lengan dengan tangan super cepat.
Dia... terlambat.
Tubuh mungilnya terhempas oleh tubuh yang lebih mungil.
Ghania bisa melihat lari kaos biru itu begitu cepat.
Entah kenapa... dia hanya diam di sana.
KENAPA DIA DIAM SAJA?
Gadis itu menangis dalam diam. Membentaki dirinya sendiri, menangis lebih keras. Berusaha bangkit.
Kakinya sakit....
Sakit... sekali.
Tumit sepatunya juga patah.
Dia tidak bisa bangkit.
Dia.... lelah bahkan untuk bangkit.
Sudah berapa lama sampai dia menyadari ini?
"... Kakak? Maaf. Maaf.... Maaf! A—apa kakak terluka?"
Gadis itu mengangkat wajahnya. Menemukan wajah dengan rambut pendek itu cantik.
Kusam...
dan sakit.
Dia menangis lebih keras.
Bahkan sekarang pencopetnya pun merasakan seberapa menyedihkan dirinya?
"Ma—maaf.... Aku tidak apa. Apa yang kamu lakukan? Itu... tidak baik."
Perempuan itu meneguk ludahnya, menyodorkan tas Ghania.
Dia takut.
Ghania tahu.
Bagaimana bisa gadis itu jadi seorang pencopet?
"Ma—maaf, kak."
"Tidak apa-apa."
Ghania hanya menatap mata itu. Tidak msngambil tasnya.
Sejenak.
Yang dia pikirkan adalah bagaimana orang-orang di daerahnya selama ini hidup. Bagaimana mereka bisa bertahan dengan keadaan yang menyedihkan ini?
Kenapa dia membuat dirinya terlihat tersiksa di saat banyak orang yang lebih sengsara dari pada dia?
"Dimana tempat tinggalmu?" Suara parau Ghania masih bisa terdengar.
"A—apa yang ingin kakak lakukan?" Dia mundur, meningkatan kewaspadaannya.
Ghania mencoba tersenyum kecil, "aku ingin bertemu dengan keluargamu."
"Untuk apa?"
"Aku berubah pikiran. Apa sebaiknya kita ke kantor polisi saja?"
Perempuan itu mengernyit.
"Apa itu polisi?"
Ghania terkejut, apa di sini tidak ada polisi?
Wow.
Utara... benar-benar kacau.
"Ah, apa maksud kakak para tentara yang mengejar penjahat? Mereka tidak peduli dengan para pencuri kecil seperti kami. Mereka hanya menjaga tuannya."
Ghania merasa pilu.
Kata tidak peduli sepertinya begitu berdampak bagi hati rapuhnya.
"Kalau begitu, setidaknya beritahu aku namamu. Mungkin kau bisa membawa uangku, tapi tidak isi yang lain."
"Aku Tania."
Perempuan kecil itu mengulurkan tangannya.
Dia mencoba berdiri di bantu perempuan yang lebih muda darinya. Tubuhnya berkali-kali lebih mungil, tapi lebih kuat daripada Ghania.
Ghania... ternyata selemah itu.
Burung kenari?
Omong kosong.
Burung yang terbang ke sana kemari setiap hari itu bahkan lebih kuat dari dirinya yang malang.
"Kakak bisa mengambil tasnya. Aku juga berubah pikiran. Ayo bertemu keluargaku."
Ghania tersenyum.
Tania sangatlah manis.
Tidak seperti takdirnya.
Mereka menuju tempat yang lebih mengenaskan lagi. Ke bawah.
Bawah tanah.
Itu seperti sebuah tempat pembuangannya saluran air, tapi ada lebih banyak anak di sana. Begitu banyak.
Mereka semua sama-sama punya keadaan menyedihkan.
Tubuh bau dengan penampilan kumal tak terawat.
Semuanya tetap tersenyum, menyambut gadis itu. Namanya Tania. Punya nama dengan ejaan hampir sama, tapi punya dua takdir berbeda.
Dan baru Ghania ketahui bahwa gadis itu usianya jauh lebih tua daripada yang terlihat.
Dia seumuran anak kelas satu SMA.
Tapi tubuhnya begitu mungil akibat kekurangan gizi yang sebenarnya dibutuhkan.
"Ini temanku. Kakak ini tersesat, namun dia begitu baik jadi aku ajak ke sini. Ayo sapa kakak ini!"
Mereka berkerumun dengan sapaan yang manis.
"Halo kak!" suara anak-anak itu.
Ghania baru pertama kali merasakan perasaan ini. Membungkuk untuk menatap seseorang.
Ternyata begitu hangat.
Walau baunya begitu tidak mengenakan.
Tangannya mencoba menggapai kepala anak itu, dan menepukinya pelan.
"Kakak berasal dari mana?" tanyanya mendongak kecil.
Dia yang paling kecil dari antara mereka berlima.
"Aku dari selatan," sahut Ghania tersenyum.
Ekspresi gadis kecil itu menurun, dia mundur. Hampir sama. Waspada seperti Tania. Ghania mengangkat tangan kanannya, perlahan membiarkan gadis itu yang tidak nyaman.
"Selatan?" tanya perempuan lain. Rambutnya berwarna cokelat gelap. Mirip perempuan itu.
"Bukankah selatan tempat para setan?" tanya anak yang lain, sedikit lebih tinggi dari yang paling kecil.
Dia begitu ketakutan, menarik yang paling kecil lebih jauh dari jangkauan Ghania.
Ghania juga mundur.
Ekspresinya menurun.
Setan?
"Tapi kakak ini baik! Iya kan kak?" suara Tania mencoba meyakinkan mereka. Menceritakan lagi bagaimana mereka bertemu.
Tapi Ghania, Ghania merasa ingin tahu.
"Kamu mengetahui itu dari mana?" tanyanya, berbisik.
"Mereka membunuh orangtua kami," jawab Tania mewakili mereka.
Ghania membelalak.
"HEI!" pekik perempuan lain, dia lebih tinggi dari Tania. Matanya begitu kosong.
"Apa kalian korban perang?" tanya Ghania lagi.
"Santai saja, kak. Kami... hidup dengan baik tanpa mereka lagipula."
Tania menyahuti tanpa beban, mendorong perlahan Ghania untuk mendekat lagi. Mereka tidak setakut tadi setidaknya.
"Jadi, kakak sedang apa di sini?" tanya mereka.
"Aku... ingin melakukan kegiatan pembelajaran di sini. Tapi—"
"Pembele? Pam? Apa itu?" tanya yang paling kecil.
Ghania mengangkat alis.
Pembelajaran juga tidak mereka ketahui sama sekali?
"Apa kalian tidak berbahasa Garaja?" tanya Ghania.
Perempuan itu menggeleng, "kami berbahasa Garaja. Tapi, kami baru pertama kali mendengar soal Pem pem itu..."
"... Ah? Ha."
"Jadi apa itu?"
"Itu kegiatan kami, untuk mengetahui sesuatu. Kami mendapat ilmu dengan melakukan kegiatan itu. Apa kalian tidak?"
"A.... kami juga pembelajaran!"
Ghania terkekeh.
Kini... entah kenapa dia lega.
Dia ingin tidak peduli sejenak apa yang harus dia lakukan selanjutnya.