"Lo gimana?"
Ghania mendongak. Tersenyum. Dia hanya berniat mengantar anak-anak di depan lobby hotel, tapi sepertinya...
"Aku masih ada kegiatan di sini, tapi kalau boleh minta tumpangannya ke sana. Boleh?" tanyanya.
Secara mengejutkan, jawaban milik Calvin tersirat positif. Walau dia tetap secara sarkastis mengomentari Ghania.
Dalam perjalanan itu Ghania banyak menjawab pertanyaan, bukan cuman dari lima saudara manis teman kecilnya, tapi dari Calvin juga.
Sesuai janjinya, Ghania menjawab semua itu dengan sabar.
Termasuk pertanyaan Tania yang disambut dengan baik bahkan oleh Calvin.
"Voli itu permainan bola besar yang dimainkan enam orang, salah satu posisinya ya setter. Gue setter. Tugas gue nembak bola buat ditembak ke area lawan."
Tania manggut manggut, malah makin semangat bertanya karena sambutan Calvin. Ghania makin makin senang saja rasanya. Apalagi bagaimana Tania dan Calvin langsung nyambung masalah Voli walau baru bertemu satu hari.
"Selain voli ada apalagi di Selatan, kak?" pertanyaan itu pertanyaan pertama yang diacungkan oleh si tengah pendiam.
Ghania berpikir keras, tidak mau mengecewakan. Lalu memproses untuk menjawab sebisanya, dia bahkan mengeluarkan ponsel.
"Ini salah satu alat yang dikerjakan di Selatan, namanya Smartphone diambil dari bahasa Inggris yang artinya ponsel pintar. Kamu bisa make ponsel untuk banyak hal, bahkan untuk peta. Tapi kamu juga butuh yang namanya jaringan," jelas Ghania.
Matanya melirik Calvin yang ternyata menatapnya. Kikuk, gadis itu menoleh ke belakang alih-alih melihat kaca seperti sebelumnya.
"Mumpung ini Utara, jaringannya agak susah kecuali tadi di pusat Kota," lanjutnya.
Si paling kecil, Mira melompat-lompat di kursinya.
"Apa di sana banyak makanan?" dengan kekehan, sang kakak Lumi yang paling tua mengelus kepalanya.
Katanya, "pastilah. Iya kan?"
"Iya. Walau sebenarnya aku kurang yakin dengan makanan kesukaan kamu, Mira. Tapi banyak anak seumuran kamu yang menyukai cokelat."
"Cokelat?"
Obrolan mereka berhenti, karena mereka baru memasuki daerah Saikan. Daerah tujuan Ghania. Tempat dimana kakek dan sepupu Calvin tinggal.
Setelah verifikasi passport milik Calvin—dari sini Ghania berasumsi bahwa Calvin lumayan sering bepergian ke sini—mereka melanjutkan ke daerah pertama yang paling dekat dari pusat kota. Emi.
"Masih jauh?" tanya Ghania.
Calvin menggeleng, "suami kakak ngurus daerah ini jadi rumahnya deket aja."
Ghania mengangguk.
Selain suara lima anak di belakang yang asik berbagi cerita tentang apa yang mereka lihat sepanjang perjalanan, Ghania dan Calvin hanya diam.
Sesekali saling toleh untuk memastikan sekitar.
Jarak mereka jadi terlihat jelas sekali.
"Eh? Sudah sampai ya, kak?" tanya Tania ke Calvin.
Pemuda itu mengangguk. Dia turun dari mobil lebih dulu, membukakannya untuk anak-anak lalu menuju ke sebuah rumah dua lantai minimalis yang ada di sekitaran perumahan pejabat Emi, Saikan.
Terlihat seorang perempuan dengan rambut hitam panjang menyambut mereka, sepertinya Calvin sudah menghubungi mereka lebih dulu. Ghania turun kemudian setelah merapihkan diri. Lagi-lagi kikuk.
Dia bertemu dengan keluarganya Calvin dengan alasan tak terduga dan ini membuatnya merasa aneh.
"Ini Ghania ya?" tanya wanita itu.
Dia masih terlihat muda. Sepertinya mereka baru menikah. Kemudian, matanya mendapatkan anak kisaran 5 tahun mengekori.
Rambutnya berwarna menonjol, merah muda. Menggemaskan. Apalagi tangannya memeluk sebuah boneka kecil.
"Halo!" sapanya pada lima anak itu.
Tanpa canggung dia mengajak mereka masuk sebagai tuan rumah. Sedangkan sang Ibu, yang diketahui bernama Yora terlihat bersemangat menyambut Ghania.
"Apa kalian kenal dekat lama?"
"..."
"Bagaimana d—"
"Kak Yora..."
"A—duh maaf. Suamiku lagi di kantor, jadi cuman aku sama Anya yang di rumah. Kata Calvin kalian harus pergi lagi ya? Sayang sekali."
Ghania mengangguk, kikuk. Tidak enak. Sekaligus senang karena setidaknya lima temannya punya tempat baru walau sementara.
"Maaf ya, kak. Merepotkan."
"Loh! Nggak apa! Biar Anya ada temennya. Biar rumah rame dikit pas suami nggak ada. Hahaha. Minum dulu ya sebelum pergi?"
Setelah selesai minum teh yang rasanya sangat enak menurut Ghania, mereka harus segera pergi. Karena hari yang sudah mau malam.
Dengan begitu, Calvin yang akan mengantarnya tidak pulang terlalu malam.
Ini bukan sebuah tindakan impulsif atau ramah tamah dengan alasan rindu sang kakek. Ghania hanya sedikit lebih penasaran terhadap sesuatu. Dan ketika mereka sampai...
Ghania bisa melihat perbedaan signifikan antara isi kota dan pinggiran kota perbatasan milik Kakeknya. Gila.
Mansion itu begitu mewah. Berkali-kali lipat ukuran mansionnya, jadi tidak bisa dibandingkan dengan pemukiman daerah pusat kota Utara, kalau bagian perumahan Emi masih bisa deh.
Ada juga para penjaga dengan lambang keluarga, tentara yang dimaksud Tania.
Perasaannya mendadak tidak enak.
Tentu ini bukan kali pertama dia ke sini, tapi kali ini dia datang tanpa diketahui atau izin sang Ibu. Parahnya, hari ini sudah sore berarti 'teman-teman' sekelasnya sudah selesai dengan kegiatan study tour hari pertama.
Tapi... bagaimana ya?
Dia sudah sampai di depan gerbang.
Di mana para penjaga itu mulai menanyakan banyak hal pada si tuan muda Adinata, Calvin, alih-alih dirinya. Kata mereka urusan nona sudah jelas sedangkan Calvin patut dipertanyakan.
Dan Calvin dengan attitude yang bodo amat gue nganter lo doang menjawab dengan santai. Entah kenapa, ini membantu menaikan moodnya.
"Kenapa kamu jawab begitu?"
"Tapi kan bener. Ini lo mau ditemenin juga ya?" tanya Calvin menatap jari perempuan itu menyentuh jari-jarinya. Jari mungil itu menggemaskan.
Dengan kikuk gadis itu mengangguk kecil, sedangkan Calvin menghela nafas.
"Ok."
Bagaimana mereka berjalan ke dalam sana dengan santai. Tapi katanya, sang kakek sedang tidak di rumah. Sebagai gantinya dia ditemui oleh Tantenya.
"Selamat malam, tante. Maaf ya ganggu."
"Kamu kayak lagi sama siapa deh, Nia. Ini? Pacarmu ya?"
Ghania dengan shocknya menggeleng kuat-kuat, tidak memperhatikan Calvin. Dengan gemas memelototi tantenya yang malah tertawa dengan gaya khas sang Ibu.
Kadang, Ghania heran.
Yang adiknya mamah itu Om atau Tantenya sih?
"Siapa namamu? Nama belakangmu juga, jika kamu mengizinkan."
Suara tantenya mendadak berubah. Terdengar lebih serius. Maklum, ningrat di Utara. Mereka harus punya wibawa bahkan di acara santai sekalipun, ini termasuk non-formal loh.
"Calvin Adinata, saya dari Daerah Seribu Kehidupan, Nyonya...?"
"Nyonya Ardele, Tuan Muda Adinata."
Nah. Kenapa deh jadi mendadak pertemuan keluarga begini.
Ghania menatap keduanya dengan kikuk yang dalam diam saling menatap entah berkomunikasi apa lewat telepati. Hanya mereka yang tahu.
"Ah, astaga. Silahkan duduk dulu."
Sang tante dengan anggun memanggil para pelayan yang berlipat-lipat jumlahnya dari yang pernah dia lihat seumur hidup—maksudnya di mansionnya sendiri.
Mereka begitu banyak.
Semuanya perempuan.
Dan ini mengingatkannya lagi soal tujuannya datang.
"Ehm. Tante?"
"Ya?" Setelah menuangkan teh, sesuai dengan etiket kalangan ningrat alias bangsawan, sang tante akhirnya menyahut.
"Ehm..."
"Ya. Boleh. Kamu bisa ke toilet, itu di ujung kanan tangga lantai dua."
Ghania menyipit. Dia belum—
"Ujung kanan tangga lantai dua, koran waktu itu ada di samping."
Matanya membulat.
Bagaimana tantenya bisa tahu?
Gadis itu membungkuk kecil. Syukurlah tadi siang dia memesan gaun. Walau berat dan menyusahkan, tapi pas untuk menunjukan bahwa dia bagian dari Ardele walau berbeda marga.
"Nona Muda mau kemana?" pertanyaan itu menghentikannya.
Suata itu, suara laki-laki.
Dia menoleh, "ah—eum. Ke toilet."
"Toilet ada di lantai satu, nona."
Ghania tersenyum konyol, "hehe. Maaf. Terimakasih."
Dia memastikan pria itu pergi sebelum mempercepat langkahnya ke tempat yang sang tante maksud.
Pokoknya, dia percayakan pada Calvin saja soal ngobrol dengan tantenya.
Ruangan itu menonjol dari ruangan lain. Khas layaknya kamar bekas sang mamah dicat dengan cat emas. Setelah dipikir-pikir kakeknya sangat boros.
"Kuncinya..."
Gadis itu menoleh ke samping kiri karena cuman di situ satu-satunya 'samping' yang bisa tantenya maksud. Dan... dapat. Itu ada di bawah karpet.
Agak jauh dan memakan waktu lama untuk mencari. Berhubung Ghania sudah membaca novel, waktunya dapat dipersingkat karena dia sudah bisa menebak posisi kunci itu.
Dengan kilat dia membukanya, berusaha agar tidak terdengar decit pintu. Alih-alih mengendap, karena dasarnya gaunnya yang berat dia hanya bisa berjalan lebih pelan lagi masuk ke ruangan itu.
Tidak berbeda dengan ruang sang mamah, ruang 'bibi' putri Ardele pertama ini begitu terawat. Mungkin... yang membedakannya adalah ini. Meja.
Di dalam kamar mamahnya ada meja rias, sedangkan di sini ada meja tulis. Dengan laci... double?
Laci itu ternyata berlapis lagi dan lebih dalam daripada kelihatannya. Dan laci itu menyimpan sebuah buk—
ponselnya berdering. Ini membuatnya panik. Menjatuhkan apa yang dia ambil.
"Nia. Kakekmu sudah datang. Dia ada bersama Calvin di depan sana. Bawa yang kamu mau, ke kamar tante sekarang!"
Dia mengambil buku catatan itu. Kusut dan kusam. Seperti tidak terpegang lama. Kemudian merapihkan semuanya seakan dia tidak pernah keluar atau masuk ke tempat itu.
Sedikit yang dia ketahui, bahwa pada malam itu...
kakeknya sudah tahu.