Ghania merasakan tubuhnya gemetar, pijakannya terasa bergoyang seiring dia yang jatuh terduduk di ranjang besar milik tantenya.
"Kamu sebenarnya nyari apa?" tanya sang tante, mengambil minuman dan menyerahkannya pada Ghania.
"B—buku? Aku dapet catatan... tante," sahut Ghania.
Mata wanita itu membulat.
"Serius?"
Ghania meminum airnya dengan cepat, mengangguk-angguk kecil. Dia mengeluarkan buku seraya melanjutkan, "... Kalau—"
"Nggak mungkin. Kamu sama Calvin nanti tidur di mana?" sela sang Tante, seakan tahu apa yang akan dikatakan oleh keponakannya yang suka sekali overthinking itu.
"A—aku di sini?"
"Pulang. Mending kamu pulang, kalau perlu nginep di tempat Calvin. Dia sama sepupunya kan ya? Lebih baik daripada di sini. Kamu nggak bisa nebak rencana kakekmu," jelas tante.
"Kalau begitu..."
"Mana? Biar tante pack."
Setelah packing barang barang untuk menyelundupkan barang asli yang dia mau bawa, Ghania turun ke ruang tamu utama.
Di sana dia bisa melihat Calvin, dan sang kakek berbicara dengan serius. Ekspresi keduanya yang mirip menakutinya. Kira-kira apa yang mereka bicarakan?
"Apa kamu sudah punya tunangan? Ghania baru hari ini terlihat bersama temannya."
Gadis itu membelalak, panik berlari dengan gaun besarnya dan barang-barang yang dipegang dayang di belakangnya.
"CA—CALVIN!" serunya keras, berusaha menghentikan apapun yang kakeknya akan lakukan dengan Calvin.
Terkejut, keduanya berbalik.
"Ayo! Ayo balik! Kak Yora pasti khawatir kamu pulang telat!" cerocosnya menarik Calvin sampai pemuda itu menatapnya dengan bingung.
"Kalian tidak menginap?" tanya kakek, berdiri.
Ini membuat Calvin juga ikut berdiri, membungkuk kecil dengan hormat. Dia menggeleng. Tentu saja Calvin tidak ada niat menginap.
"Ha—terimakasih, kakek. A—kak Yora sudah menunggu Calvin. Tapi aku tidak bisa menginap karena punya kegiatan!" tegas Ghania. Kali ini dia melapaskan pegangan pada bahu Calvin karena tidak sampai.
Sang kakek mengangguk, dengan ekspresi sama datarnya. Mereka mirip sekali. Ghania sampai heran.
"Kalau begitu, titipkan salamku untuk mamahmu, Nandya," ucap kakeknya.
Matanya membulat, merasakan nada lain dari ucapan sang kakek.
"Biar kakek antar ke depan," tambahnya.
Pria itu tidak muda lagi, tapi wajahnya memang luarbiasa. Tubuhnya juga masih sehat dan kuat sekali untuk kakek yang sudah punya dua cucu seumuran Dona dan Ghania.
Kakek.
Ghania tidak pernah berpikir dia bahkan punya kakek. Gadis itu tersenyum, merasakan getir. Mereka bahkan tidak berhubungan dengan semestinya. Apa itu bisa disebut keluarga?
"Kamu tadi bicara apa sama kakek?" tanyanya, mencoba melupakan beban pikirannya.
Semua barang yang diberikan oleh tantenya dan barang baru yang kakeknya berikan begitu banyak, dan untung saja mereka punya kendaraan pribadi. Haduh.
Padahalkan cuman untuk satu orang...
Dan orang itu adalah Ghania.
Bagaimana itu bisa terjadi?
"Lo overthinking banget sih," sambar pemuda itu dari kemudinya. Matanya tak menatap Ghania.
Namun, dia sudah bisa menerka ekspresi getir gadis itu.
''Maaf.'
"Terus aja minta maaf. Tadi kakek lo cuman nanya gue ada tunangan apa kagak," Calvin menggerutu dengan gerutuan tambahan yang malah menjadi gambaran kejadian tadi.
Ghania menoleh, mendengarkan Calvin dengan baik.
"Jadi kamu sudah punya tunangan?" simpul Ghania, menatap pemuda itu yang tepat menoleh seraya pertanyaan itu muncul.
Dia... diam.
Sebelum menghapus itu dengan suara mesin mobilnya.
Calvin kembali menatap lurus ke depan, "bukan urusan lo."
Ghania merapatkan bibir.
... Ah. Benar juga.
Bukan urusan dia, lagipula.
Setelah sampai di kediaman keluarga di Emi itu keduanya malah makin jauh, dari sebelumnya. Ini disadari oleh Tania yang khawatir tapi tidak tahu caranya.
Dan Yora yang tahu dari Tania juga dibuat bingung karena keadaan mereka mirip.
Haduh.
Tapi, anak kecil manis itu.
Anya.
Di saat jam makan, tepat kepulangan Pria muda kepala keluarga itu, Loid Forger, mereka makan bersama.
"Aku seneng banget hari ini meja makan lebih ramai karena ada tamu!" seru Yora.
Ghania tersenyum, tapi tidak menanggapi. Etika makan yang diajarkan Rinjani melarangnya keras untuk melakukannya.
"Tapi om sama kakak kenapa musuhan?" Seisi meja menoleh pada suara nyaring itu. Anya.
Dengan polosnya bertanya, tapi mampu menyindir dua remaja yang dia maksud dengan tepat. Keduanya diam, tentu saja. Tapi dalam hati sibuk bergumam.
"Kak Calvin sama Kak Ghania bertengkar ya?" tanya Hadel.
Ghania dan Calvin yang kebetulan duduk berhadapan itu saling tatap sebelum saling buang muka kembali.
Suasananya jadi aneh.
"Kata Becky kalau sama pacar nggak boleh lama-lama marahan...."
"Hah...? Siapa pacaran?"
"Anya, makan makananmu dengan benar."
"Kami... tidak bertengkar," bela Calvin membantu Ghania tersedak makanan.
Lumi menyodorkan minuman membantu Ghania agar berhenti batuk. Sedangkan Calvin ikut kaget dengan respon gadis itu.
"Ya—h! Kami tidak bertengkar atau bermusuhan, kami hanya begini saja. Berteman."
Anya memincing, "tap—"
"Anya..."
Gadis itu tersenyum aneh. Sebelum tertawa histeris melanjutkan makannya. Sukses menimbulkan keheranan.
"Kita bisa menonton acara keluarga bersama sebelum tidur. Bagaimana?"
Ghania mengangguk kecil, "terimakasih atas undangannya."
"Bukan sebuah masalah besar, Ghania. Kamu sudah menjadi bagian keluarga kami juga lagian..."
Ghania tersenyum, merasa lebih ringan karena dianggap sebagai 'keluarga' walau mereka baru mengenal satu hari. Ghania... merasa betah.
Rasanya di dalam rumah ini tidak ada mata-mata jahat yang akan menjerumuskannya.
"Tapi, Ghania. Sehabis ini, gue mau nanya soal Astronomi. Bisa?"
Ghania mengangguk. Kali ini.... pasrah.
Ya setelah itu juga Ghania lakukan sesuai perintah si tuan muda. Namun alih-alih di ruang belajar milik Anya—yang selalu kosong, Ghania di arahkan ke taman.
"Ki—kita tidak jadi belajar?"
"Maaf. Omomgan tadi nyakitin elo, kan. Gue minta maaf."
Ghania mengangkat alis, terkejut dengan permintaan lain dari pemuda itu. Entah kenapa... jantungnya.
"Gue emang bisa dibilang punya tunangan."
Ghania berusaha tersenyum, mengangguk kecil.
"Maaf juga selama ini mengganggu. Tapi terimakasih banyak ya buat hari yang panjang ini?"
Keduanya dalam diam hanya menatap bintang dari langit Utara, Emi. Sama-sama tidak menduga apa yang akan terjadi ke depannya.