"Ghania! Ghania!"
Pagi-pagi sekali, bahkan sebelum Ghania bisa mandi pintu perempuan itu digedor dengan keras. Tidak sopan sekali.
Tapi suara buru-buru itu terdengar seperti gurunya?
Ghania membuka pintu, menatap tubuh tinggi sang guru—semua orang lebih tinggi dari Ghania sepertinya, "ada apa?"
"Kami baru mendapat mail yang harusnya sampai tadi malam! Ja—jadi!"
Ghania merasakan perasaannya mendadak tidak enak.
"Nyonya Baroness! Nyonya Baroness sedang sekarat! Dan di depan sana sudah ada mobil dari Duchess Adinata katanya ingin menjemput kamu, Ghania!"
Apa?
Dia seakan tidak bisa merasakan apa-apa setelah mendengar kabar itu. Tubuhnya bergerak sendiri menutup pintu dan mandi dengan kilat. Menyiapkan barangnya.
Kalau kejadian mamah sekarat entah karena apa ini terjadi sehari setelah sampainya lima teman kecil barunya, mereka juga pasti sangat ketakutan.
Tapi, yang lebih membingungkannya adalah... alasan mamahnya sekarat.
Sebenarnya apa?
Ini kita sedang membicarakan Nandya Wening. Yang memimpin daerah perang dan tetap menjadi bunga kalangan atas di waktu bersamaan. Wanita yang tahan banting itu sekarat?
Apa musuh menyusup dan mencoba melakukan pembunuhan?
Ghania merasa kasihan dengan kebodohan pembunuh itu.
Dia pasti menemui ajalnya lebih dulu.
Tapi... bagaimana kalau ini malah terjadi seperti waktu itu?
Ghania disambut baju berkabung dari Rinjani. Walau dia sering melihat wanita muda itu memakai warna hitam, aura hari ini lebih... dingin dan menyedihkan.
Dia menyodorkan sebuah tempat kecil vitamin.
"Minumlah."
Ghania hanya mengangguk. Selama orang-orang membantu mengangkat semua barang bawaannya yang berlipat karena pergi ke rumah kakek, Ghania meminum semua tablet di dalam kapsul itu.
Habis.
"Kabar baru sudah sampai oleh Nona Ardele. Nyonya Wening, sudah berpulang."
Ghania merasakan perutnya yang sakit dan berputar dengan cara yang aneh. Rasanya dia mau muntah.
"Tolong siapkan kantong plastik."
Dan ya. Selama perjalanan, Ghania muntah-muntah.
Seakan itu belum cukup membuatnya sengsara, di depan kerumunan orang gadis itu pingsan. Dan membuatnya jadi tidak bisa melihat mamahnya dikubur.
"Senior, bangun."
Matanya terbuka. Mengenali suara dan wajah perempuan dihadapannya. Zhania. Rambut merah gadis itu ditutupi dengan kain hitam. Entah bagaimana dia bisa datang.
"Pemakaman Nyonya Wening sudah selesai. Keluarga Ardele memutuskan untuk memakamkan lebih dulu karena takut memperburuk keadaan senior," jelas gadis itu sambil tersenyum.
Ghania bisa merasakan perasaan merinding di sekitar dia. Tapi kali ini dia merasa senang. Tubuhnya tadi terasa mati rasa.
"Senior tahu sebuah rahasia?" tanya Zhania, masih tersenyum menatap Ghania yang tidur di tempat tidur.
Ini jadi mengingatkannya dengan kejadian di UKS.
"Aku adalah anggota Wacana. Semua anggota Wacana terhubung dengan Nyonya Wening dengan berbagai alasan dan datang ke sini dengan penuh amarah. Mereka mendapatkan kesempatan mengucapkan perpisahan dengan mayat Ibu anda."
Tawa kecil terdengar di antara hening sebelum dia melanjutkan dengan ekspresi datar yang menyeramkan.
"Senior. Nyonya Wening ditusuk di belakang lehernya."
Mata Ghania membulat.
Apa?
"Hehe, apa sekarang senior sudah cukup tertarik?" tanyanya.
Ghania berusaha duduk, meski semua badannya terasa lemas. Dia tahu bahwa yang dia minum tadi bukan vitamin tapi ramuan khusus untuk melemahkan tubuhnya. Tapi yang benar saja? Ini terlalu efektif.
"A—apa yang terjadi?"
"Jadi! Singkatnya, yang aku dengar dari kepala pelayan adalah Nyonya Wening menerima tamu dari Ardele tepat setelah lima teman kecil senior datang. Kemudian, malam itu juga Nyonya dikatakan keracunan walau dalam jumlah kecil racun itu mematikan semua organ Nyonya dengan cepat! Keren sekali kan?"
"Bagaimana mamah bisa ditusuk? Apa saat dia tengah keracunan?"
"Net not! Pada malam itu, nyonya terlebih dahulu ditusuk dan kehilangan banyak darah! Lalu dia keracunan! Menurut senior, bagaimana itu bisa terjadi di dalam mansion Nyonya?"
"Tamu dari Ardele yang mana yang kamu maksud, Zhania?"
"Wah. Senior... hehehe. Dona. Sepupu Nona adalah tamu tersebut. Dia seperti sudah memperkirakan kematian Nyonya ya?"
"Apa?"
"... Apa ada kemungkinan bahwa Nona Ardele yang melakukannya? Menusuk lalu meracuni?"
Ghania menarik tubuh jangkung Kaori dengan tangannya yang kecil, sampai membenturkan kedua kepala mereka. Dengan matanya yang merah marah Ghania memelototi Zhania sampai rasanya Zhania ketakutan untuk pertama kalinya.
Aura membunuh Ghania membuatnya merinding ketakutan.
Gadis itu menyentuh tangan Ghania berusaha menenangkan dengan memaksakan senyumannya.
"Se-senior?"
"Apakah kamu tahu apa yang sedang kamu lakukan sekarang, Zhania?" geram gadis yang tubuhnya jauh lebih mungil dari Zhania.
Tapi kekuatannya mendadak menggila. Gadis itu mendorong Zhania sampai tersungkur ke lantai.
"Panggil kepala pelayan sekarang! Dan bawa Wendy ke hadapanku sekarang juga!"
Zhania takut malam itu adalah hari terakhir Wendy melihat dunia.
———
"Cih! Apalagi yang dia lakukan dengan Wendy?" tanya Miselia menggeram.
Santai menyentuh bahu Miselia yang membungkuk mensejajarkan diri.
"Ada apa, kak?" tanyanya.
"Jika setelah ini dia membunuh Marquees ayo rekrut dia."
"Apa? Dia mungkin saja sedang menangis sekarang! Mana ada waktu untuk membalas dendam? Gila. Mungkin saja dia tengah kerepotan dan akan bangkrut. Atau malah dimanjakan oleh keluarga konglomerat korupsi Ardele!" bidas Miselia.
Mata Santia memincing.
"Itu sebuah kemungkinan. Apa yang aku pikirkankan, adalah mutlak."
———
Wendy dengan pakaian warna hitam membuat auranya menggelap. Matanya membengkak. Dia lebih terlihat terpukul daripada Ghania.
"Apa hubunganmu dengan mamah?"
"Nyonya adalah guru saya. Nyonya mengejarkan saya memakai pedang pertama kali, dan bahkan mengajarkan saya memanah dan berburu."
Suaranya lebih serak dari biasanya, tapi terdengar lebih stabil dari penampilannya.
Ghania memeluk tubuh kecil itu, yang dibalas pelukan lebih erat. Isakan Wendy yang dapat terdengar oleh Ghania itu pilu.
Namun Ghania, dia tidak merasakan kesedihan sama sekali. Tubuhnya yang lemas ini... mendidih karena amarah yang meletup-letup.
"Ayo selidiki kasus ini bersama-sama," bisiknya di dalam pelukan Wendy, menatap tajam Zhania di ujung ruangan.
Wendy mengangguk.
Dia tidak akan menolak untuk mengetahui fakta kematian guru terbaiknya itu.
Tapi dia tidak menyadari perubahan pada Ghania yang memang dia tidak pernah kenali sama sekali. Gadis itu melepaskan pelukan, mengelap air mata Wendy dengan senyuman.
Itu semua menyeramkan di mata Zhania.
"Jadi. Dari keluarga mana kamu berasal? Wendy."
"Basuki."
Ghania mengangguk kecil, "duduk dulu, Wendy. Kamu pasti sangat terpukul."
Setelah membantu perempuan itu duduk, gadis yang lemas itu meminta tolong Zhania untuk memanggil kepala pelayan ke ruangan sang Ibu bersama dengan Dona.
Dia juga meminta Zhania untuk segera mencari kursi roda untuk membawanya.
"Kenapa senior memakai kursi roda?" tanyanya sambil mendorong Ghania.
Tubuh itu ringan bahkan untuk diangkat. Tapi Zhania bahkan begitu takut untuk saling bersentuhan.
"Tubuhku lemah, Zhania," sahutnya. Suara itu mengecil. Seakan tidak mau ada yang dengar.
Tapi Zhania selalu tahu apa yang perempuan itu pikirkan.
Selama ini yang pikirannya paling polos dan menyenangkan untuk diganggu itu Ghania. Si insecure yang gampang untuk dibully. Walau Zhania tidak pernah menatapnya dengan seperti itu.
Tapi hari ini.
Bukan cuman aura saja yang menggelap dan terasa membunuh. Kepala gadis itu kacau.
Semua bayangan dengan cara pembunuhan paling mengenaskan yang gadis itu pernah baca di buku sejarah terputar di sana.
Zhania bisa melihatnya dengan jelas.
Semua wajah orang itu hanya semua Ardele.
Proses pemenggalan dan rajam yang dia pimpin sendiri. Seorang Ghania yang kini dia dorong ke ruang kerja mendiang Nandya Wening dengan kursi roda.
"Sekarang. Akuin semua dosa lo, Dona. Lo bisa keluar sekarang, Zhania. Tunggu di depan, sampai gue panggil lagi."
Zhania mengangguk.
Dari segi kekuatan, Ghania tidak lebih kuat dari Zhania. Ini sebuah fakta yang tak terbantahkan. Tapi dari kecerdasan dan kemampuan Ghania yang gadis itu asah dengan sengaja, Zhania tidak ingin berada di dalam daftar musuh Ghania.
Lebih baik jadi sekutu. Daripada dia mati di tangan seniornya.
Dia hanya tahu itu akan lebih menyeramkan dari apapun.
"Lucu ya? Kamu ada di dalam sini, tapi pimpinanmu ditusuk lalu diracuni."
Kepala pelayan itu tidak bersuara.
Itu memang salahnya. Dia bahkan rela kalau kepalanya dipenggal hari itu juga oleh Ghania. Apalagi gadis itu baru terlihat marah setelah 16 tahun hidup di situ. Wajar. Hari ini bahkan pemakaman sang mamah diadakan tanpa dia.
"Fucking asshole. Who the fuck they think they are? And you, bitch. You know it all along but never told me that? Am I not important to all your life? Should I just die here instead of my mom?" tanyanya dengan nada santai.
Padahal apa yang baru saja dia ucapkan adalah makian bahasa asing.
"Gue nggak tahu di mana dan kapan tante tepatnya ditusuk tapi gue datang ke sini karena kakek ngirim belati lambang Ardele. Isi pesannya, lo sama mamah lo juga udah dapet."
Ghania mengernyit, "belati apa?"
"Lo belum buka semua hadiah kakek?" tanya Dona.
Tangannya merogoh bagian dalam bajunya dan mengeluarkan belati kecil, begitu tajam mungkin bisa menancap di tubuh Dona begitu dalam jika salah bergeser sedikit.
Itu berlogo Ardele.
"... Ini belati yang sama yang ditemuin di sebelah mayat putri pertama Ardele."
Ghania jadi mendapatkan kemungkinan lain.
Apa mungkin maksud belati yang dikirim ke Ibunya adalah....
"Tepat. Belatinya sama."
"Should we just kill that old man?" tanyanya geram.
Dona meringis. Sudah tahu yang paling menyeramkan adalah Ghania berbahasa Inggris. Walau cuman beberapa kali dengar.
"Berapa lama lagi acara ini berlangsung? Dan berapa Ardele yang ada di dalam sini?" tanyanya.
"Hanya keluarga utama yang tidak datang. Kebanyakan pekerja laki-laki Ardele sudah di dalam rumah ini sejak lama."
Gadis itu mengumpat.
"Sekarang, kumpulin semua pekerja tanpa menimbulkan keributan di perpustakaan. Aku bakal ada di sana sebagai Nona Baroness yang baru sebelum Ardele mengambil tempat ini, paham?"
"Baik, Nona."
"Bagus."
Ghania keluar lebih dulu bersama Dona dan juga Zhania. Dua perempuan itu bahkan berteman. Yang berbeda adalah Zhania terlihat lebih tenang. Ghania juga sudah lebih kalem.
Amarahnya mereda.
"Before we kill him, I must have the power to be able to do it, right Dona?"
Dia mengangguk. Zhania terpukau dengan pembawaan Ghania yang terlihat manis sambil mengatakan kalimat penuh kebencian itu.
"Jadi, senior. Apa rencananya?" tanya Zhania.
"Aku akan menjadi Marquis selain kakek."