Apa dia pernah mengatakan kalau dia tidak pernah berpergian sendirian? Selama ini dia sendirian. Bagaimana dia bisa lupa itu?
Tapi hari ini dia menemukan keluarga kecil Tania.
Dia senang punya teman kecil yang benar-benar bisa diajak berbicara.
Mereka begitu baik ditengah keterbatasan mereka. Ini membuat... Ghania merasa sedikit tidak nyaman dengan fakta bahwa masih ada saja yang 'jahat'.
"Apa... kalian tidak keberatan kalau aku ajak ke Selatan?" dengan pertanyaan itu, bermulalah kesibukan Ghania.
Pertama yang harus dia lakukan adalah membawa mereka kembali ke kamar hotelnya. Dan dia lakukan. Resepsionis yang melayaninya tidak terlalu peduli. Hotel ini punya pelayanan begitu buruk.
Tapi ini bukan sebuah hal yang harus dia pikirkan terlalu lama.
Dia membawa mereka masuk ke dalam sana, dan memakaikan bajunya sementara. Karena dia tidak punya pakaian lain.
Bahkan loundry di sini buruk.
Ah, tapi biarlah.
Ghania lebih baik fokus pada teman kecilnya. Tania mandi lebih dulu dan memakai bajunya. Gadis itu dengan amat sangat baik membantu Ghania untuk merapihkan kamarnya yang memang agak berantakan.
Yang paling tua—namanya Lula mandi bersama dua yang paling kecil—Mira dan Hadel, sedangkan yang paling tengah Lumi si paling pendiam menunggu gilirannya di balkon.
"Apa... tidak apa begini, kak?" tanya Tania.
Ghania mengangguk.
"Tidak apa. Tania kamu kan sudah mandi lebih dulu. Setelah ini tolong bantu aku ke penjualan pakaian ya?"
Tania mengangguk.
Sebelum pergi, dia bertanya warna dan ukuran sepatu mereka. Satu persatu. Kecuali Lumi. Selain punya kepribadian hampir mirip dengannya, ukuran mereka juga.
"Ok, ayo."
Dan baru Ghania ketahui ternyata, hotel itu adalah satu-satunya hotel di pusat kota. Dan berperilaku seratus delapan puluh derajat berbeda saat dia berpakaian rapih sebagai seorang bangsawan.
Ghania sangat bersyukur membawa kartu kreditnya untuk pertama kali di hidupnya. Mungkin sang mamah akan tahu soal transaksi ini. Namun, dia tidak peduli. Lagi-lagi untuk pertama kalinya.
Dia hanya ingin... membuat mereka tersenyum.
"Tania, kalau seandainya aku mengajak kalian bertemu mamah. Apa kalian mau?" tanyanya, mengambil beberapa pakaian yang direkomendasikan.
Jujur saja, Ghania tidak percaya diri dengan seleranya sendiri. Jadi yang dia lakukan adalah memberanikan dirinya untuk mendeskripsikan kepribadian teman kecilnya dan mendapatkan rekomendasi.
Tania sendiri bingung harus menjawab apa. Dia tidak pernah punya seorang teman dengan orangtua yang bisa diajak bertemu.
"Mamah baik, kok. Walau... kadang agak menyeramkan."
"Tapi, apa tidak apa, kak?"
Pertanyaan itu. Lagi.
Entah kenapa mendengarnya dari mulut orang lain terasa begitu pilu. Gadis itu tersenyum tipis, mengangguk. "Tidak apa, Tania."
Gadis itu akhirnya mengangguk. Menimbulkan senyum yang lebih jelas tercetak di bibirnya.
"Kalau begitu bisa tunjukan tempat sepatu untuk dia? Kalau bisa yang sedang trend di industri sekarang."
Tania dihantar mencari sepatu selagi Ghania sendiri melakukan kegiatan entah apa. Tersesat di antara pakaian laki-laki.
Mungkin saja ada yang bisa dia hadiahkan untuk ulangtahun Nathan.
Karena pikiran manisnya, dia mendapat hadiahnya sendiri.
"Wening, lo.. ngapain?"
Yang memanggilnya begini cuman satu orang.
"... Calvin."
"Tidak menjawab pertanyaan gue sama sekali. Lo ngapain?"
Setiap kali bertemu dengan Calvin, kenapa ya hawanya selalu begini? Gadis itu jadi merasa makin takut deh dengan makhluk di belakangnya itu.
Ya, posisi dari si mungil itu membelakangi si jangkung. Ini mendebarkan dalam artian Ghania takut.
"Kak? Itu siapa?"
Tania datang.
"A—dia sett—" Kenapa ya?
Kenapa selalu ada waktu seperti ini di dalam hidupnya? Bahkan kalau dia mau lebih... berhalusinasi? Apa bisa dibilang begitu ya. Dia mungkin akan mengira ini kisah novel romantis.
"Setter Rajawali," Calvin memperjelas.
"Setter itu apa?" Tapi, tentu saja Tania tidak tahu.
"Nanti akan kakak tunjukan sesampai di Selatan ya?" Sahutnya berusaha tersenyum.
Ghania berbalik, menambah jarak di antara mereka.
"Calvin dari mana?" basa-basi.
"Gue dari rumah sepupu gue."
"Ah."
Hening.
Ghania mengambil langkah panjang, berputar ke tempat semula memilih beberapa pakaian untuk empat teman kecilnya dengan teliti. Karena untuk Tania yang bersama dengan dia, Ghania memberi kebebasan gadis itu untuk memilih sendiri.
Tapi melihat dia diam, Ghania jadi mengingat bagaimana dia dulu.
Gadis itu tersenyum.
Mendapati perlakuan sungkan itu manis.
"Tania kamu suka yang mana? Ayo tunjuk saja."
Gadis itu hanya menatapnya, Ghania gemas. Dia mengambil satu baju lalu menempelkannya pada tubuh gadis itu.
Kameja hijau muda dengan rok hitam dia berikan ke staff penjaga. Entahlah. Dia mungkin cocok dengan itu.
"Tania, cobain bajunya dulu ya."
Gadis itu mendadak ingat. Dia membutuhkan sesuatu agar anak-anak itu bisa sampai di Selatan. Dan, di sinilah dia.
Kikuk mencoba berbasa-basi dengan Calvin. Di saat pemuda itu terlihat tidak peduli sama sekali. Dia meringis kecil, mengetahui respon pemuda itu lebih dulu.
"Kenapa gue harus bantuin elo?"
Ghania takut menatap mata itu, syukurnya Calvin tidak terlihat tertarik juga untuk men—bagus. Sekarang, gadis itu malah bisa merasakan tatapan pemuda jangkung itu.
"A—itu. Ka—karena! Karena... membantu orang lain itu baik?"
Ghania pikir dia gila.
Apa tadi Calvin tersenyum? Walau tipis itu senyuman kan? Apa dia menyeringai ya?
Dia merinding kecil. Malah takut.
Apa jangan-jangan Ghania mau di—
"Ok. Tapi lo ajarin astronomi."
WAH! Mata gadis itu seakan berkelip penuh harapan, dia tersenyum senang sampai matanya menyipit. Itu... sejujurnya menggemaskan.
Pemuda di depannya berdehem kecil.
"Setuju nggak, Wening?"
"Ok, Calvin! Terimakasih banyak ya."
Sosok itu kembali dengan pakaian yang dipilih Ghania. Ah, cantiknya. Warna kulit gadis itu seakan berpadu sempurna dengan pakaiannya.
"Nah, cantik. Thania kamu di sini sama kakak ini ya, dia baik juga. Kita ke hotelnya bareng sama dia nanti, ok?"
Tania mengangguk.
Ghania pergi untuk membayar semua belanjaannya. Meninggalkan Tania dan Calvin.