"Ghania, ingat apa yang aku katakan hari ini."
Aku pikir.
Aku pikir waktu itu yang dimaksud Duchess Rinjani adalah apa yang telah dia ajarkan selama kami bercengkrama.
Tapi setelah itu, dia berkata lagi. Tegas saat mengantarku ke asrama.
"Semua yang ada di dirimu sekarang adalah senjata, jadi gunakanlah dengan baik."
Aku... tidak mengerti.
Awalnya.
Tidak sekarang, tentu saja.
Aku memakai sepatuku, sepatu yang baru saja aku pesan khusus untuk event hari ini.
Kami melakukan study tour ke Utara. Khusus untuk kelasku saja. Aku merasa bersyukur tentang itu. Setidaknya Dona tidak harus kembali ke tempat itu.
Ah.
Ingatan itu kembali lagi.
Aku meringis kecil.
"Sudahlah. Hari ini... kita kan study tour," monologku.
Setelah mengecek barang-barang yang aku bawa—aku tidak bisa bilang itu sedikit karena terdiri dari buku yang akhir-akhir ini aku baca....
termasuk buku milik Ibu.
Hmm...
Aku masih khawatir.
Bagaimana kalau dia sadar buku itu hilang dari tempat itu?
Apa para pelayan akan dihukum?
Atau apakah aku langsung saja ketahuan?
Atau ap—
"Ghania?"
Astaga.
Apa aku melamun lagi?
Aku mengigit bibirku perlahan, entah kenapa malu sendiri dipanggil oleh anak di kelas.
Mereka tahu namaku?
"Hei, ayo naik. Kita akan terlambat! Cepat! Cepat! Cepat!"
Itu suara ketua kelas kami yang jelas kali sangat sangat lelah.
Ugh.
Aku meringis, jadi berlari kecil dengan tasku. Ini berat, jujur.
TAPIIII AKU PASTI BISA!
Ibu bahkan membawa yang lebih berat dari ini.
Aku... bisa.
"Wah, maaf. Yang tersisa hanya tempat di ujung," ucap seorang perempuan di kelasku.
Aku tidak tahu namanya. Dia juga tidak mungkin mengenalku. Dan lanjut tertawa dengan temannya. Tapi, kenapa aku merasa dia menertawakanku ya?
Apa... ada yang aneh dengan penampilanku?
"Sangat aneh."
Aku menoleh.
Memastikan siapa yang baru saja mengatakan itu. Tapi ujung bus, paling ujung, paaaaaaling pinggir jauh di belakang sini hanya ada aku.
Mereka ada di bagian depan.
Aku tidak berani untuk menerka siapa itu.
Karena seharusnya aku sudah tahu.
Suara tawa itu muncul lagi.
"Bodoh, aku adalah kamu, Ghania. Dengarkanlah pikiranmu sendiri."
Ah?
Iya.... juga.
Aku baru-baru ini melakukan rutinitas yang aneh. Berkaca, dan berdialog dengan diriku sendiri. Tapi... itu agak melegakan. Seakan ada yang mengajak aku bicara.
Study tour ini akan berlangsung lama....
Aku tidak ingin menghabiskan waktu yang lama dengan diriku sendiri. Aku juga ingin berteman. Hanya, tidak bisa.
Hal yang sesederhana itu... pun aku tidak bisa.
Tapi, aku selalu bisa membaca.
Apalagi buku merah itu belum aku buka lagi setelah kedatangan Duchess Rinjani. Ugh.
Selama pelajaran Duchess Rinjani, aku disuruh bernyanyi. Fakta, aku bukan penyanyi yang baik. Aku malu sepanjang pelajaran.
Tapi Duchess terus saja mendorongku melakukannya.
Oh iya, jika diingat-ingat.
Aku melakukan tiga kegiatan sekaligus.
Bernyanyi sambil berjalan, dan mendengarkan pelajaran dari Duchess. Aku tidak protes, kok.
Tapi, kenapa lagunya harus lagu kebangsaan ya?
Kalau dipikir-pikir lagi, aku baru menghadiri satu acara kalangan atas. Yaitu penyambutan musim panas milik Duchess Rinjani.
Ah yah.
Hari itu... ya.
Kenapa aku baru ingat tentang itu?
Aku membuka buku itu lagi, di bab yang terakhir aku baca.
Ini akan jadi perjalanan yang panjang. Aku butuh sesuatu untuk mengisi pikiranku.
Sesuatu...
yang lebih berguna.