Ghania menghembuskan nafasnya perlahan, matanya terkulai lebih dulu. Entah sudah berapa jam dia berkutat di depan meja belajarnya. Membaca buku merah yang ternyata jadi candu barunya.
Siapa yang menduga ibunya yang kaku bisa menulis buku yang mudah dimengerti?
Bahasa yang digunakan Ibunya tidak bertele-tele, serius, namun santai di saat bersamaan. Sukses menyita waktu tidurnya.
Ghania mau tidur....
Badannya pegal, kepalanya apalagi. Tapi hatinya mau melanjutkan buku itu, kalau bisa sampai habis malam itu juga.
Tunggu...
Apa ini bahkan malam hari?
Matanya terbuka lebar segera, melirik jam kecil yang biasa dia pakai untuk mengukur lama belajar. Ini sudah subuh. Dia cuman punya waktu dua setengah jam untuk tidur.
Dengan panik gadis itu menggapai tempat tidurnya dan melemparkan tubuhnya ke tempat tidur. Ikatan yang dia pakai di rambutnya tidak dia buka. Rambutnya pasti lelah juga. Ghania tahu rambutnya tidak akan terlalu bagus besok pagi.
Ah tapi dia benar-benar capek.
Jadi...
Dia menutup matanya lebih dari waktu yang dia inginkan.
Gadis itu menyentuh kedua tangannya lagi, menggerakannya secara acak. Matanya beberapa kali menoleh ke kanan kiri, memastikan bahwa tidak ada yang melihatnya.
Tapi itu adalah sebuah ketidakmungkinan yang lucunya Ghania harapkan jadi kenyataan.
Dia terlambat.
Dan gurunya yang baik hati memberikan waktu dan tempat khusus bagi Ghania untuk merefleksikan apa yang telah dia lakukan. Dan Ghania tidak bisa melakukan apa-apa selain menyalahkan diri dan sadar akan mata-mata itu lagi.
Dia samar masih bisa mendengarkan bisikan tentang kelakuannya yang tidak mencerminkan nama baik Wening.
Dia memang tidak pantas jadi seorang Wening...
Tapi,
ekspresi wajahnya menurun.
Ghania mendongak kecil menarik bahunya ke belakang.
Berdecih dalam hati, menanyakan apa mereka bahkan pantas untuk mengatakan itu?
Lalu dia menggeleng kuat-kuat. Seakan sadar apa yang baru dia pikirkan dan kembali waras lagi, membungkuk.
Bahkan sampai lonceng berbunyi pun dia tidak dipanggil masuk. Ghania sudah banyak berdoa padahal. Tapi ya tetap saja.
"Senior sedang apa?" suara itu terdengar pas di telinganya, nada ceria yang entah kenapa membuat Ghania merasa merinding.
Zhania.
Gadis dengan rambut merah gelap itu menatap Ghania dengan mata kuning emas cantiknya, bibirnya tersenyum, tapi perasaan tak nyaman yang Ghania rasakan membuatnya ketakutan.
Aura Zhania kadang mengintimidasinya secara berlebihan.
Tapi dia terlihat seperti... menyeringai.
Dan lonceng menyelamatkannya. Ghania kali ini menghela nafas lega dengan terang-terangan membuat Zhania kebingungan.
"Maaf. Kamu sendiri bagaimana?"
Zhania tetap tersenyum, "aku melihat senior."
Ghania membuka sedikit mulutnya, merasakan keinginan untuk berbicara tapi menariknya kembali. Dia membalas senyuman gadis itu dengan sedikit canggung.
"A, eum... Bagaimana pendapatmu tentang club?" tanya Ghania, membuka percakapan.
Pasalnya, Zhania tetap berdiri di depan Ghania menghali pandangannya dan juga menambahkan kecanggungan dengan jawabannya yang terakhir. Keheningan panjang mereka berhasil pecah.
"Club? Club sangat baik, senior. Aku senang melihat p—"
Ghania mengerutkan dahinya, mencoba menatap wajah Zhania fokus mendengarkan tapi suara gadis itu makin senyap. Bibir gadis itu terus bergerak. Hanya suaranya saja.
Matanya itu kalau dilihat lagi, cantik dan juga menyeramkan.
Seperti... ular.
"Senior? SENIOR!"
Ghania terkejut. Selain mendengar seruan lantang milik Zhania, dia juga tersentak dari pikiran dan tepukan gadis itu.
Tunggu...
Sejak kapan dia di sini?
Ketika melihat sekeliling yang dia dapati adalah mereka sudah di area makan.
Tadi rasanya sekitarnya sunyi. Jadi sejak kapan dia mulai melangkah dan sampai di tempat ini?
Di tengah kebingungannya, Zhania menyodorkan sebuah minuman. Dia tersenyum. Lagi-lagi. Ghania makin sadar perasaannya lebih waspada dari biasanya.
Ghania menggeleng kecil, menolak minuman Zhania dengan sopan.
Sentuhan di tubuhnya yang diberikan Zhania sekarang lebih dari sekedar pegangan tangan, tapi sudah dirangkul dengan santai. Tinggi Zhania yang semampai membuat posisi Ghania jadi sedagunya saja.
Itu menggemaskan di mata orang lain.
Tapi, untuk Ghania...
"Senior? Apa... senior takut?" bisiknya, berhasil membuat Ghania pingsan.
Iya, sedramatis itu.
Zhania terkekeh, mengangkat tubuh kakak kelasnya itu tanpa ragu ke unit kesehatan.
Ini menimbulkan banyak bisik-bisik. Apalagi Zhania bahkan tidak menghiraukan panggilan dari salah satu anak club Voli yang ingin membantu.
"Senior kenapa?"
"Pingsan. Senior begadang dan belum makan sama sekali," jawab Zhania saat membaringkan tubuh mungil itu ke tempat tidur.
Mata Rio menatap gadis di hadapannya datar.
"Tingkah lo aneh."
Zhania terkekeh, "oh yah? Masa sih? Cuman elo yang mikir gitu."
Rio menatap Ghania yang seakan tidur dengan lelap.
"Rio. Lo nggak tau apa-apa, stay out of it walau gue berterimakasih soal waktu itu."
Rio terdiam. Dia tidak mengerti sama sekali maksud dari Zhania. Tapi aura yang gadis itu keluarkan membuatnya selalu merasa waspada.
Anehnya, anak lain tidak merasa demikian.
Hanya... dia.
Dia menoleh lagi, untuk melihat bagaimana mata kuning itu menatap Ghania. Matanya tidak terlihat berjiwa sama sekali.
"Lo... siapa?"
"Mimpi buruk lo, Rio."
Apasih. Dia pikir Rio bakal merinding begitu? Pemuda itu menatap wajah Zhania datar. Aneh banget sih.
Zhania kemudian tertawa di depan Rio, "bercanda."
"Nggak lucu sama sekali."
"Yaa sorry, mau gimana lagi. Selera humor kita beda."
"Serius. Lo siapa?" tanyanya lagi dengan nada hampir frustasi kali ini jelas menunjukan wajahnya yang terganggu.
"Gue dibutuhin sama senior, tanya aja sendiri kalau nggak percaya."
"Pd banget."
"Harus."
"Then, act like it. Jangan bikin lo kelihatan mencurigakan, lo cuman nggak tau gue tau, iya kan?"
Matanya melebar sebelum senyumnya ikut melebar, dia tertawa lagi.
"Good luck, then!"
Hening lagi.
Ternyata Rio dan Zhania perlu bertengkar agar tidak canggung terbukti dari beberapa kali suara batuk yang dikeluarkan Ghania saking kakunya suasana di antara mereka.
Mana dia sudah bangun dari tadi lagi?
Bisa-bisanya dua orang itu...
"Tolong panggilkan Dona, Zhania." Dia langsung menyetujui.
Ghania tidak mau hanya berdua saja dengan Zhania dan merasa ketakutan selama itu.
"Senior baik-baik saja?"
Dia mengangguk, mencoba duduk sendiri. Rio tidak berani menyentuh seniornya lebih jauh. Mereka tidak sedekat itu.
"Kalian jangan sampai bertengkar walaupun kamu tidak menyukainya, Rio."
Rio tidak menjawab.
Senior dengar ya ternyata? Ya tidak apa sih. Secara tidak langsung mereka membicarakan senior juga.
Sebelum gadis itu melanjutkan,
"Rio."
Pemuda itu hanya menatap sang senior bertanya. Gadis itu tidak tersenyum miris seperti biasanya, matanya menatap Rio lurus seakan melihat pemuda itu secara langsung.
"Mau menikah denganku setelah lulus?"
Rio hampir saja jatuh mendengarnya.