Angin lembut yang menerpa wajahnya lewat jendela seakan mendukung suasana hening perpustakaan. Tempat ini sudah tidak pernah lagi Ghania masuki sejak kejadian itu.
Dia bersyukur dia melakukannya sekarang.
Dengan buku merah yang dia bawa dari rumahnya sendiri, gadis itu membacanya dengan baik.
Ini baru satu bagian. Dan dia sudah terpukul telak. Bab satu: siapa aku. Setelah membaca bab itu setidaknya setengah, Ghania benar-benar memikirkan siapa dia sebagai seorang manusia.
Apalagi dengan kemunculan dia.
Ghania takut jauh di dalam dirinya. Tapi seakan-akan dia didukung oleh semesta untuk menghadapi rasa takutnya, walau ya dia juga menyerah lebih sering, tapi setidaknya lebih jarang dari yang biasa dia lakukan.
Dia diam sejenak.
Merefleksikan apa yang terjadi pada dirinya selama ini. Rasa ketidakpercayaan diri yang sudah mencapai level maksimal, dan rasa cemas berlebihnya. Kalau dipikir-pikir, Ghania juga tidak pernah merasa cukup.
Apa itu sebuah rasa rendah diri? Atau dia yang terlalu perfeksionis? Atau... apa?
Matanya membaca kalimat terakhir lagi di dalam batinnya dengan lantang.
'Kamu berharga sejak lahir telanjang di dunia ini.'
Tapi, apa itu juga berlaku jika papahnya meninggal pada kelahirannya?
Apa dia juga berharga jika kelahirannya merupakan kematian seseorang? Terlebih jika orang tersebut adalah papahnya? Suami dari sang Ibu? Bagaimana itu berharga?
Bagaimana... dia berharga?
"Hi, izin duduk di sini ya."
Gadis itu tersentak dari pikirannya. Kembali ke kenyataan kalau dia di dalam perpustakaan. Dia mengangguk, tidak mengangkat wajahnya, tidak ingin penasaran siapa pemilik suara berat itu.
Ini berhasil mengalihkannya dari berat pikirannya. Lebih baik lah setidaknya.
Namun, matanya secara tak sengaja menangkap rambut merah gelap. Cantik. Kulit putih porselin dengan mata tajam kuning keemasan. Gadis itu hampir saja menjatuhkan bukunya.
Pikirnya, ada boneka hidup.
Ternyata ada manusia yang lebih cantik lagi daripada Cordelia. Dia ternganga kecil.
Berharganya perempuan di hadapannya seperti sudah ditentukan dan menjadi mutlak sejak kelahiran dengan semua fitur anugrah Yang Maha Kuasa itu. Tuhan pasti tersenyum saat membuat dia.
Lalu, terbesit sebuah pikiran.
Pesan dari Cordelia; bahwa setelah kelas tiga cepat atau lambat Ghania butuh seseorang untuk membantunya. Yang bisa diandalkan tim selain dia.
"K-kamu... kelas berapa?" Dia bahkan tidak percaya dirinya berani.
Perempuan itu tersenyum, tadi garis wajahnya yang tajam membuatnya terlihat susah untuk diajak berteman. Tapi auranya seakan berubah lama dengan senyumannya.
"Aku Zhania, kak. Sepuluh lima."
Oh.
Adik kelas ya ternyata.
"Kamu... sudah punya club?" tanyanya sekali lagi.
Dia menandai halaman yang dia baca tanpa melihat, fokus pada jawaban perempuan berambut merah itu.
"Oh, belum." Zhania menggeleng.
Ghania tersenyum canggung, menyentuh jari telunjuk perempuan itu. Dalam hati berdoa.
Wajah perempuan ini begitu cantik dan sepantasnya ada di dalam museum, tapi kalau diperkenankan, tolong biarkan dia menarik banyak orang penasaran ke dalam club.
"Zhania, keberatan nggak kalau jam eskul ke club Voli Putra?" Wajah terkejutnya membuat Ghania panik.
"Ka—kalau nggak mau nggak apa!"
"Mau, kak."
Ghania benar-benar senang. Tersenyum dengan lebar. Tidak bisa menggambarkan bagaimana dia harus berselebrasi sehabis mengajak anak yang pastinya populer.
Diam-diam penasaran, apa Cordelia setidaknya merasa sedikit senang saat Ghania bergabung? Atau... malah kecewa karena ekspektasinya sendiri?
Setelah pelajaran terakhir, Ghania cepat-cepat memakai jersey club, berlari ke kelas sepuluh lima. Mencari wajah mahal milik Zhania.
Dan dia temukan.
Dia seperti tengah berbincang dengan segerombolan perempuan seusianya, dan mereka semua bertubuh proposional semacam model. Ghania meneguk ludahnya.
Apa dia berani untuk memanggil atau tidak?
Dia terlalu sadar atas mata dan bibir yang bergerak, berbisik, ke arahnya atau karenanya?
Lalu Zhania, dia tersenyum. Mendekat ke arah Ghania dengan tas besar yang pasti... berat. Dia membawa tas seukuran itu ke sekolah?
"Terimakasih sudah menunggu, senior."
Ghania hanya mengangguk. Dalam perjalanan yang hening, diiringi kesadarannya atas mata-mata itu. Ghania menoleh, hanya memastikan bagaimana ekspresi dari Zhania.
Wajah perempuan itu selalu tersenyum, pada poin yang membuat Ghania agak merinding. Entah... kenapa, ada yang menggelitik intuisinya. Tapi, pikir Ghania itu hanya rasa iri terhadap perempuan yang lebih muda darinya itu.
Bahkan tubuhnya berjalan dengan indah. Walau Ghania tidak tahu asal keluarga Zhania karena aturan sekolah, dia tetap bisa merasakan bahwa Zhania merupakan orang dibina dengan baik.
Anggun. Cantik. Ramah.
Perempuan ini....
"Selamat siang, Ghaning!"
Ghania tersenyum, menyapa isi ruangan. "Selamat siang. Ini Zhania, yang akan melihat-lihat club selama satu minggu. Tolong dia untuk merasa nyaman di sini, ya."
Dan baru dia sadari kalau wajah mereka mirip. Zhania dan anak baru di club dengan rambut warna merah. Siapa tadi namanya? Mereka tidak pernah berbicara.
"Loh kembar? Kok nggak mirip?" tanya salah satu anak.
"... Mirip. Matanya coba lo liat."
"Nggak anjir. Adeknya cakep." Celetuk yang lain, jelas sedang mencoba memantik amarah kembar Zhania.
Pemuda itu mencibir.
"Sebenarnya aku yang kakak," timpa Zhania berhasil membuat terkejut.
Ghania terkekeh. Siapa yang menduga kalau dia ternyata yang lebih dulu lahir?
Namanya Zion. Kembaran yang lebih muda daripada Zhania. Tapi mereka tidak identik. Kecuali di bagian rambut dan warna mata mereka. Selebihnya, mungkin nama belakang?
"Halo semuanya! Salam kenal ya, aku Zhania sepuluh lima. Aku cuman bakal lihat-lihat sebentar kalau kalian tidak keberatan."
Secara cepat Zhania berbaur dengan mereka semua. Dia memang pandai bergaul. Ghania tersenyum, sebenarnya miris karena berpikir dia tidak akan bisa sebaik itu.
"Kenapa kamu tidak mendaftar jadi manager saja?"
Ghania tersentak. Itu juga tujuan dia. Tapi, entah kenapa Ghania jadi... merasa sedih. Aneh. ANEH!
Kenapa dia merasa begini?
Gadis itu mengalihkan pandangan, dan malah saling tatap dengan pemuda paling jangkung di sana. Theo. Yang seperti dari tadi melihatnya walau akhirnya berpaling.
Kenapa?
Dia mundur ke pojok, tidak apa lagi-lagi tidak terlihat. Sudah biasa kan. Setidaknya...
Matanya menyorot Zhania yang terlihat jadi pusat baru club.
Ya, setidaknya. Yang berada di sana adalah dia yang pantas. Bukan Ghania.
"Senior kenapa?"
Ghania mendongak hanya untuk melihat sosok jangkung dengan rambut hitam. Mirip... Calvin sekilas. Bahkan ekspresinya.
"Nggak apa. Kamu dari kelas mana?"
"Sepuluh empat."
"Oh. Siapa namamu lagi?"
"Rio."
"Rio sepuluh empat ya? Aku Ghania, sebelas lima."
"Aku tahu kok."
"Hm? Bagaimana kamu tahu?"
"Senior banyak dibicarakan."
Bibirnya melengkung. Benar juga. Banyak yang membicarakan si burung kenari rajawali. Tapi tetap saja...
"Mereka bilang mereka beruntung punya senior sebagai manager, dan aku setuju. Senior membantu kami dengan memberikan minuman dan handuk, terlihat sederhana tapi..."
Ghania menyimak dengan baik. Sampai tidak menyadari air matanya yang jatuh.
Rio agak terkejut, tapi tersenyum tipis.
"senior benar-benar berharga buat club voli putra rajawali. Tolong, jangan sampai melupakan itu."