Libur singkat musim panasnya selesai. Tugasnya juga. Tapi tetap saja, perasaan itu masih tertinggal di dalam dirinya. Rasa ingin melakukan sesuatu, tentang yang dia observasi beberapa waktu lalu.
"Apa yang kamu pikirkan?" dia menghela nafas.
Dia juga membawa pulang anak ini ke Rajawali, siapa lagi kalau bukan Dona? Lucunya, gadis itu didaftarkan dengan nama Wening karena satu dan dua hal.
"Loh, serius. Kenapa kamu?" tanya Dona sekali lagi, kali ini mendekat ke tempat tidur Ghania.
Gadis itu membereskan tempat tidurnya, dengan warna yang cukup terang. Kuning. Entahlah. Dua sepupu ini sepertinya menyukai kuning. Walau, kamu lebih banyak menemukan warna biru di kamar Ghania.
"Dona, kamu lihat wilayah di rumahku nggak?" tanyanya tanpa menatap Dona, masih mengatur beberapa barang.
Termasuk sebuah buku. Dengan warna merah gelap dengan tulisan timbul 'power'.
"Iya."
"Miris nggak sih?" tanyanua sekali lagi, menggenggam buku itu.
Terlihat nama sang ibu di sana sebagai penulis.
"Miris, tapi mirisan utara sih."
Ghania menatap Dona dengan tatapan terganggu. Tapi, mengangguk saja.
"Terus?" tanya Dona balik.
Ghania menghela nafas. Menggeleng. "Itu saja, kok." Dia meletakan buku tersebut di dalam laci meja belajarnya.
"Kamu udah beresin kamar kamu?"
"Udah. Aku belum ambil seragam doang."
"Ayo ambil sama aku."
Keduanya pergi beriringan, sambil bercerita. Walau sebenarnya Dona yang bercerita dan Ghania banyak mendengarkan, sih.
Ghania cuman... tidak tahu bagaimana cara menyampaikan yang dia harus bicarakan.
Itu sebuah masalah yang dia sadari sejak lama. Dan rasanya sudah seperti penyakit mendarah daging. Entah bagaimana dia harus menyembuhkannya.
Tapi, memangnya siapa yang peduli soal itu?
Dada Ghania tiba-tiba terasa sesak dengan pikirannya sendiri. Dia menoleh hanya untuk mendapati bahwa sepupunya menatapnya dengan tatapan khawatir.
"Kenapa?"
Ghania menggeleng lagi.
Tidak. Dia benar-benar tidak apa, ya kan?
Ini hanya... kepalanya saja yang membuatnya berpikiran kalau dia merasakannya. Bukan karena dia memang memiliki pikiran yang memberatkan.
Shit.
"Sorry. Udah ambil seragammu? Mau coke?" Dona sudah selesai menandatangani tanda penerimaan seragam, mengangguk saja walau masih terlihat khawatir.
Mereka mampir sebentar di salah satu Vending Mechine di area sekolah. Yang secara kebetulan, bertemu dengan dia.
Rambut hitamnya membaur dengan kerumunan anak yang baru kembali dari liburan. Anehnya, Ghania menemukannya.
"Susu pisang lagi ya?" tanya gadis itu, ikut memencet cola di vending mechine satunya.
Dia menoleh, berkedip cepat seakan melihat sesuatu yang mengejutkan. "Lo?"
"Punyamu, Dona."
"Iya. Hi, Calvin?" sahutnya setelah memberikan cola milik Dona. Gadis itu menatap keduanya dengan tatapan aneh.
Aura keduanya menunjukan kecanggungan luar biasa.
"Kalian teman sekelas ya?" tanya Dona berinisiatif, karena keduanya malah duduk di kursi dekat vending mechine seakan mereka dekat tapi terlihat jelas canggung.
Dua-duanya menggeleng.
Ghania tersenyum canggung, "kami kenal dari club voli, aku jadi manager di sana dan calvin ini setter... jadi..."
"Jadi kalian deket?" tanya Dona, meminum cola dengan santai, berdiri, tidak ikut duduk.
Ghania menggeleng kuat-kuat. Sedangkan Calvin terlihat membuang muka.
"Oh."
Siapapun yang melihat keduanya mungkin akan berpikir Calvin dan Ghania melakukan pendekatan. Mana mereka duduk dengan dekat.
Ghania menghela nafas. Berdiri dengan cepat, mengambil barang bawaan Dona membuat gadis itu terkejut.
"Aku duluan, Calvin."
Tidak ada jawaban.
Ghania tidak pernah merasa pemuda itu harus menjawab sapanya, sih. Tapi Dona yang mendengarnya cukup terganggu sehingga banyak bertanya.
"Jadi, dia temen kamu? Tapi kok dia gitu? Kok kalian temenan kalau dia gitu?"
"... Kita nggak temenan, Dona."
"Bagus, deh. Mukanya agak nyebelin juga, mirip kakek pas masih muda."
Oh, yah. Setelah dikatakan oleh Dona, akhirnya Ghania sadar kenapa dia merasa begitu. Karena hubungan dia dan kakeknya mirip-mirip dengan hubungan yang dia dan Calvin punya.
Kakeknya terlihat tidak selalu peduli padanya, kalaupun mereka berinteraksi, apa yang kakeknya katakan selalu terkesan menyeramkan. Tapi itu tidak apa.
Jadi...
Itu ya alasannya.
Ghania tersenyum miris.
"Lebay banget... sih," cercanya menatap cermin.
"Kamu bukan siapa-siapa. Kenapa juga mereka harus peduli sama kamu?" tanyanya menatap diri sendiri.
Sosoknya di dalam cermin, terlihat menyedihkan.
Bagaimana orang bisa tahan melihat dirinya yang menyedihkan?
Bagaimana... seorang wanita seperti sang mamah, seorang Nandya Wening, mempunyai anak seperti Ghania?
Kenapa Ghania terlahir sebagai Wening?
Bagaimana bisa...
Tangannya mencengkram lehernya sendiri, merematnya kuat-kuat. Dia menikmati rasa sesak yang dia dapat setelah memikirkan seberapa tidak berharganya dia.
Dan...
Tidak ada seorangpun yang tahu tentang itu.
"Nia?"
Matanya terbuka.
Tunggu...
Tadi itu apa?
Dia menoleh. Mendapati wajah sang sepupu, menatap bingung.
"Kok bengong?"
Hm?
Jadi... apa tadi halusinasinya saja?
Mereka masih dalam perjalanan ke asramanya. Tapi, tidak terlihat vending mechine di sekitar. Ini sudah daerah yang berbeda.
Apa dia berhalusinasi?
"Nia? Kamu kenapa?" tanya Dona sekali lagi, menyentuh bahunya.
Ghania menatap Dona dengan tatapan linglung.
"... Apa kita tadi singgah membeli minuman?"
Dona menggeleng, "kamu yakin nggak apa-apa? Mau minum ya? Atau yogurt?"
Ghania menggeleng cepat. Tidak. Sebentar.
Jadi... tadi itu apa?
Dari bagian mananya dia mulai berhalusinasi dan apa dia memang berhalusinasi atau dia hanya?
Ghania mengigiti bibirnya.
"Sorry. Udah ambil seragammu? Mau coke?"
Tidak. Tidak apa-apa. Ini hanya sebuah kebetulan.
Ya, kebetulan.
Melihat postur itu lagi dengan posisi yang sama. Bahkan adegan ini. Dia berusaha menutup mulutnya dari mengomentari minuman yang sering Calvin pesan.
Tapi bibirnya seakan bergerak sendiri.
Dan selanjutnya. Ghania mengulangi adegan yang sama. Untuk kedua kalinya.
Yang berbeda adalah, kali ini, dia pulang dengan pikiran yang pasti. Dia tidak berhalusinasi. Dan dia tahu apa yang ingin dia lakukan terhadap dirinya sendiri.
"Maaf."
Sosok itu terkekeh namun tetap mengangguk menatap gadis itu.
"Akhirnya, kamu menyadari aku."