"Apa daftar yang aku minta sudah kamu berikan ke mamah?" tanya Ghania menatap cermin.
Musim panas ini agak menyiksanya dalam memilih pakaian. Rasanya serba salah kalau memakai pakaian terlalu pendek atau terlalu panjang. Antara kena marah karena kesopanan atau karena kepanasan.
Jadinya gadis itu hanya memakai baju tidur bintang kesukaannya. Dia jadi ingat sempat diejek Dona soal piyama itu.
Karin sendiri menjawab kalau daftar buku yang gadis itu minta sudah terkirim. Termasuk daftar buku fiksi romantis yang dia dapatkan dari rekomendasi sebuah aplikasi.
"Hm, baiklah. Menurutmu, apa yang bisa aku lakukan selama liburan ini?" tanyanya membuat Karin tersenyum.
Sebenarnya, Ghania akan pergi ke perpustakaan lagi. Dia merasa sedikit lebih penasaran daripada biasanya. Tapi tidak salah juga meminta pendapat Karin, kan?
"Ikut pesta minum teh. Nona muda tidak pernah mengikuti satu pun setelah sepuluh tahun."
Ah benar. Pesta minum teh.
Dia tidak pernah melakukannya. Dia hanya tidak berpikir sanggup mengikuti acara seperti itu. Minum, dan bercanda—dalam artian menyerang secara tersirat, musuh dalam selimut.
Tapi...
Kalau dia mau diperhitungkan menjadi seorang nona bangsawan. Dia harus melakukannya. Dia menghembuskan nafasnya.
"Tapi, aku tidak punya teman. Tidak mungkin anak club voli, mereka semua laki-laki."
"Kalau begitu, Nona Cordelia?" tanya Karin.
Ah benar juga. Bagaimana dengan Cordelia? Dia berpikir sejenak.
"Tapi... atas dasar apa? Memangnya kak Cordelia mengadakan pesta minum teh?" tanyanya kemudian.
Karin menggeleng, "tentu saja tidak. Tapi nona bisa memulainya dengan mencari teman sebaya, nona. Yang... perempuan."
Gadis itu menghela nafas, kali ini tidak menutupi fakta bahwa Ghania tidak tahan. Karin tertawa kecil.
Ketukan di pintu membuat keduanya menoleh. Karin menanyakan perkara izin masuk, sehingga Ghania memperbolehkan. Seorang perempuan berambut bob hitam gelap dengan pakaian pelayan.
Tingginya... setara dengan pemain voli putri. Mata Ghania menatap pelayan itu kagum melalui cermin.
"Ada apa, La?" tanya Karin.
"Nyonya Baroness mengajak nona ke ruang tamu untuk menyambut mentor yang nona muda minta."
Matanya membulat. Benarkah? Secepat itu?
"Siapa namamu?" tanya Ghania berbalik, tidak lagi melihat dua orang itu dari cermin.
"Kanola, Nona."
"Kanola dan Karin, tolong bantu aku bersiap menemui mentorku."
Dua pelayan itu bergegas menyiapkan nona mereka. Kanola bertanggung jawab atas pakaian dan Karin dengan make upnya.
Selama make up, Ghania diajak berbincang lagi. Walaupun gadis itu hanya menjawab seadanya seakan tidak peduli.
"Yang pertama nona wajib lakukan saat mencoba berteman adalah 3s. Senyum, sapa lalu beri dia salam dengan sopan. Setelah itu nona bisa membuka dengan topik percakapan basa-basi."
Ghania hanya berdehem. Tentu saja dia tidak boleh banyak bergumam, make up yang dia pakai bisa rusak sebelum melihat tamu.
"Nona, pakaian apa yang ingin anda pakai?" tanya Kanola, menunjuk beberapa set gaun yang beratnya sudah Ghania bisa bayangkan.
"Tolong yang warnanya putih saja."
"Baik, Nona."
"Selain itu, nona harus bisa tahu gossip panas kerajaan! Bagaimana bisa bergaul kalau yang nona pedulikan hanya bola voli dan nilai nona?" gerutu gadis itu kini sudah selesai dan mempersiapkan rambutnya.
Karin, pelayan yang usianya tidak berbeda jauh dari Ghania. Tingkahnya yang ceria membuat Ghania menerimanya sebagai pelayan yang ada di dekatnya selama di rumah. Rahasia Karin yang bukan rahasia lagi adalah, dia juga seorang putri Baron.
"Gosip yang seperti apa?"
"AFFAIR KERAJAAN! Aku yakin nona bahkan tidak tahu cerita populer tentang kepergian pangeran mahkota."
"Memangnya kenapa?"
"Dia tidak ingin menikah dengan Duchess Adinata."
Dengan shock dia berbalik, "kabar dari mana? Apa ada sumber yang—"
"Tentu saja tidak, nona. Ini rumor. Gosip. Tentu saja aku mendapatkan saat pesta minum teh. Walau aku tidak yakin nona bisa sekarang, nona pasti bisa melakukannya setelah ini."
Ghania menggeleng pelan. Rambutnya cepat sekali selesai, tapi cantiknya aduhai. Mungkin karena di sekolah yang dia lakukan adalah mengikatnya kecil dan menempelkan jepit bintang dengan cepat.
"Terimakasih."
Setelah memakai gaun putih selutut, dia akhirnya keluar menuju ruang tamu. Menemui wajah yang familiar.
Orang yang baru saja di sebut Karin.
Gadis itu menahan nafasnya sendiri. Matanya melebar melihat pemandangan wanita dengan pakaian serba hitam di hadapannya.
Duchess Rinjani.
Apakah dia mentor yang dimaksud?
"Duduk, Ghania."
"Ini Duchess Rinjani, dia yang akan jadi mentor kamu."
"Selamat pagi, Duchess. Terimakasih sudah... berkenan menjadi mentorku."
"Senang berkenalan denganmu, Nona Wening."
Senyum milik Duchess membuat nafasnya makin sesak. Mata wanita itu melihatnya dengan begitu profesional. Seakan mereka baru bertemu hari ini.
Tapi...
Ghania tidak bisa melakukannya. Gadis itu mengigit bibir, menunduk kecil.
"Semua bahan materimu dan konsultasi akan dilakukan oleh ku sendiri, hanya saja untuk pertemuan, aku khawatir kamu akan bertemu dengan para pekerja kepercayaanku."
"Bukan sebuah masalah untuknya, Nyonya Duchess. Sebuah kehormatan untuk keluarga Wening diberikan ilmu langsung oleh Adinata."
"Sebagai rekan, tentu saja, tidak masalah."
Ghania mengangkat kepalanya sedikit, melihat bagaimana dua wanita itu berbincang mengenai negara. Perbincangan yang ingin dia dengarkan selain gosipan yang memuakan.
"Dan... untuk itu. Kita bisa bicarakan kontraknya lebih jauh di ruanganku. Mari Duchess."
Kala itu, Ghania pikir kontrak yang mereka maksud adalah kerja sama biasa. Mungkin dia sejenak lupa bahwa dia juga seorang bangsawan, yang lahir oleh bangsawan juga.
Sejenak....