"Jadi, bagaimana pendapatmu soal ini?"
Ghania menyerap apa yang dua wanita di depannya paparkan. Sedari tadi, sudah banyak orang yang mereka tunjukan menjadi 'calon' potensial dari Ghania.
Tapi yang Ghania rasakan adalah... keraguan.
Dia hanya diam.
Tidak tahu harus menjawab bagaimana. Rasanya seperti, kenapa juga dia yang memilih mereka? Apa dia punya hak? Apa dia bahkan pantas untuk melakukan ini?
"Kamu nggak perlu ragu buat memilih. Ini cuman mau lihat tipe idealmu aja, Ghania. Kecuali kalau kamu suka cewek," guyon Dona.
Gadis itu langsung menggeleng cepat. Perempuan di dekatnya yang paling akur selain keluarganya ya Kiyoko, bagaimana mau naksir?
Ya...
Kalau—
"Kamu suka cowok kayak gimana sih? Anggap aja custom," celetuk Dona lagi sambil mengacak photocard calon Ghania seperti kartu.
"Kamu kira phonecase dicustom?" delik mamahnya tak setuju.
"Ya secara nggak langsung kan emang gitu. Desainnya cowok lo mau gimana?" tanya Dona menatap Ghania yang terlihat putus asa.
Gadis itu menghela nafas, melihat ke arah tantenya. "Hopeless, tante. Anakmu ini makanannya buku Fisika, sesekali kasih dia novel buat anak seumurannya."
"Aku suka nove—"
"Nggak. Yang bukan filsafat."
"Iyadeh, kamu nanti mamah kasih stock novel remaja yang romance."
Ghania hanya mengangguk. Namanya kan buku ya, pasti bisa dia baca. Tapi gadis itu ingat sesuatu yang lebih penting.
"... Kalau gitu, bisa sekalian sama mentor?" Dia bertanya, menatap mamahnya.
"Mentor? Mentor apa?" tanya tantenya menatap Ghania, ekspresinya tak banyak, yang pasti Ghania tahu saja kalau tantenya itu penasaran.
Dia menatap tantenya agak ragu. Tapi, gerakan kecil tantenya yang terlihat mendengarkan dengan baik membuatnya melanjutkan.
"Eum. Aku mau belajar lanjutan soal etiket dan lain-lain," cicitnya sebagai jawaban, mengalihkan pandangan.
Mamahnya mengangguk setuju.
"Boleh."
Berbeda dengan Dona yang menatapnya aneh.
"You... have a better plan, don't you?"
"How could I?" tanyanya menatap mata Dona tepat membuat gadis itu mengangguk saja, percaya.
Setelah obrolan kecil mereka selesai makan, dia pergi ke area perpustakaan diam-diam. Ingin melanjutkan pekerjaan teks observasinya. Dengan seorang pelayan yang dari tadi ngotot ingin membantu.
"Nona, nona memang suka sekali belajar ya?"
Ghania meringis mendengar pertanyaan itu. Tapi dia tidak berniat untuk menjawabnya. Dia duduk di meja kesayangannya, bau kayu baru itu sangat menenangkan. Ghania suka sekali baunya.
Kontras dengan wangi yang menguar dari tubuhnya. Vanilla manis. Cocok untuk wajah imutnya. Selera Ghania terkesan... melenceng.
Tangannya dengan lihai mengetik laporan, lengkap dengan beberapa catatan lain yang dia ambil dari sumber-sumber yang bisa dia akses.
Wangi lain tercium, hangat dan manis. Ghania mendongak, untuk memastikan wajah seorang perempuan dengan pakaian pelayan meletakan teh aroma melati. Rambutnya juga blonde tapi sedikit lebih cokelat daripada milik Ghania.
"Terimakasih," ucapnya.
Pelayan tersebut tersenyum. "Nona... hebat sekali. Rajin dan juga pintar."
Pujian tersebut menghentikan pekerjaannya. Jantungnya berdebar, dengan pipi panas merona. Gadis itu mengulum bibir, menunduk lebih dalam. Pura-pura melanjutkan membaca teks observasinya.
"Sebenarnya tidak begitu. Aku—tidak begitu rajin atau pintar."
"Siapa yang berkata begitu? Nona selalu mendapatkan posisi pertama di—"
"... Itu hanya belum cukup."
Pernyataan itu membuat sang pelayan terdiam. Lama. Bahkan, Ghania menyelesaikan teks tersebut lebih cepat daripada keheningan mereka berakhir.
Gadis itu berdehem.
"Eum. Tolong, tutup pintunya saat meninggalkan ruangan. Katakan pada mamah aku akan mengirimkan daftar buku baru yang kuinginkan."
"Baik, Nona Muda."
Kalau sudah begini...
Apakah salah Ghania yang berlebihan?
Gadis itu menyentuh gelas tehnya.
"Aku harap, aku bisa lebih berguna daripada ini," monolognya menatap pantulan dirinya di dalam gelas sebelum meneguk minuman itu sekali teguk.
Rasanya energinya hari ini habis lebih cepat. Apa karena dia yang berjalan kaki? Atau karena masalah baru yang dia baru ketahui ini? Atau... karena dia?
Tangannya mengambil kertas kosong, mencoret-coret dan malah menghasilkan sebuah karya sambil dirinya duduk merenung.
Gambar seorang gadis berambut pendek yang lehernya dirantai kuat, sambil tangannya menggambar kertas. Punggungnya tertancap beberapa panah.
Dia menghembuskan nafas. Menutup laptopnya. Memilih untuk bangkit dari duduknya, melakukan pergerakan kecil. Sudah hampir satu jam dia berkutat di depan alat itu, tentu saja dia kelelahan.
Dia... cuman terlalu banyak pikiran tentang segala hal dan membuatnya jauh lebih rumit.
Lebih baik Ghania pergi mengambil buku bacaan baru, karena apa yang buku yang kemarin dia ambil sudah selesai dia baca.
Dia memilih mengambil buku di rak bawah. Alasannya? Tentu saja dia takut tinggi, tepatnya jatuh. Bagaimana kalau dia mati di dalam ruangan yang tidak pernah di datangi orang lain di rumah ini selain Karin dan dia?
Power.
Buku dengan sampul merah gelap itu menarik perhatiannya. Sampulnya yang terkesan biasa saja malah menarik di antara buku-buku dengan sampul mencolok.
Buku itu lebih tebal dari kepalan tangannya. Berhubung tangan gadis itu lumayan mungil, Ghania akan anggap buku ini tipis.
Dia membuka halaman pertama, hanya untuk terdiam.
Ini... buku karya sang mamah.
Yang tidak pernah wanita itu terbitkan.
Dan Ghania lagi-lagi takut dengan apa yang akan dia baca. Sehingga, tangannya mengembalikan buku itu ke tempatnya. Menyerah pada ketakutannya.