Tidak ada lagi hal yang terjadi setelah itu.
Sang burung kenari memutuskan untuk menelannya saja. Seperti biasanya. Tidak ada yang terjadi.
Dia tetap melakukan kegiatannya di club, belajar di asrama, dan tidak bersosialisasi masih seperti biasanya seorang Ghania.
Tapi ini sudah sampai di penghujung semester. Ada tugas observasi terakhir yang harus dia lakukan sebelum masuk dan kegiatan study tour mereka berlangsung.
Tugas mengobservasi lingkungan rumah seharusnya tidak terlalu sulit. Ya, kecuali bagian Ghania yang baru menyadari kalau rumahnya adalah perbatasan negara.
Pikiran pertamanya saat berjalan di sekitar lingkungannya adalah mengenaskan.
Benar-benar mengenaskan bagaimana rumahnya yang megah, ditutupi tembok menjulang, ternyata menjauhkannya dari pemandangan ini. Yang sebenarnya bukan kali pertama ia lihat.
Rumah-rumah yang berantakan, jatuh tumpang tindih satu sama lain. Para anak-anak dengan baju compang camping, tubuh mereka begitu kurus, kekurangan gizi. Ada pun perempuan-perempuan yang berusaha mencari air, karena laki-laki yang tersisa kebanyakan anak usia belita.
Miris.
"Kakak..."
"HEI! Jangan mengganggu nona muda i—"
"Ah, maaf. Hallo. Aku Ghania, bolehkah aku minta izin berada di sekitaran sini?" tanyanya pada seorang wanita yang tengah menggendong anaknya yang tadi memanggilnya.
"Tsk. Tentu saja. Bukankah ini wilayah nona muda? Kalian selalu keluar dengan kendaraan mewah dari rumah bertembok tinggi itu."
Ghania mengulum bibir.
Betul. Dia selalu keluar rumah dengan kendaraan mewah dan memakai barang, makan minum dan hidup layak serta nyaman.
Tapi mereka?
"Aku minta maaf atas apa yang terjadi pada kalian...."
"Ini salah kami juga yang memang tinggal di sini. Ayo kita kembali."
Ghania mengigit bibirnya. Membiarkan wanita itu menggiring anaknya pergi kembali ke 'rumah' mereka yang sudah menyatu dengan tanah. Yang bisa Ghania lihat adalah beberapa alat untuk masak dan kardus bekas untuk alas.
Ghania tidak bisa membayangkan hidup sebagai mereka.
Itu... pasti tidak enak.
Matanya menoleh pada bangunan yang lebih menjulang, tidak membiarkan matanya tahu apa yang ada di balik sana.
Dinding pembatas.
Ghania ingat kapan dinding itu pertama kali dibangun.
Itu terjadi saat ulang tahunnya yang ke 5. Dahulu sangat sulit untuk mencari pekerja di daerah perang, dan apa yang bisa dia ingat secara samar adalah kondisi yang terjadi pada waktu itu jauh lebih parah dari yang terjadi sekarang.
Ghania berharap, dinding itu terus berdiri kokoh.
Tangannya menggunakan kamera untuk mengambil gambar, setelah itu menuliskan secara kasar apa yang bisa dia lihat dan dia deskripsikan secara singkat.
Pengamatannya sudah sampai di sini. Yang tinggal dia lakukan adalah menulis teks observasi nya.
GRRRRTT—
Suara nyaring itu mengalihkan perhatiannya dari buku, matanya membulat mendapati pintu dinding terbuka.
Siapa?!
Kakinya dia ajak berlari. Mendekat ke arah sebuah mobil yang baru keluar terlihat seperti mengurus administrasi masuk ke daerah.
Sampai....
"Hai, Nia!" Rambut blonde dengan mata kuning keemasan itu langsung dia kenali.
Sang sepupu, Dona. Yang berasal dari Utara.
"Bagaimana kalian..."
"Kami mendapatkan undangan resmi loh? Lebih baik kamu ikut naik, ya kan mah?" tanyanya pada wanita di sebelahnya.
Wanita itu mengangguk.
Tante...
Apa yang mereka lakukan di sini?
Dia masuk dan duduk di kursi belakang. Ternyata benar, sang tante yang mengemudi. Bagaimana mereka datang dari utara?
Apa lewat udara? Kereta? Membawa mobil sendiri? Tidak. Itu agak jauh untuk dengan mobil saja. Tapi kenapa?
Kenapa mereka datang?
"Sebelum kami bertemu mamah kamu, kata mamah harusnya kamu denger ini dulu soalnya bisa menimbulkan kesalahpahaman," ucap Dona memulai percakapan baru.
Apa yang perempuan itu maksud? Dia menatap kedua orang di depannya. Mereka terlihat memakai pakaian biasa. Santai. Seakan ingin pergi berlibur.
Tapi, pasti ada agenda lain sehingga mereka ke sini.
"Kamu harus menikah sebelum 18 tahun, atau setidaknya mempunyai suitor. Secepatnya."
Dia membelalak, berharap salah dengar, tapi sang tante sekali lagi mengulangi apa yang dia katakan sebelumnya.
"Kamu harus menikah sebelum 18 tahun, atau... kamu akan berakhir seperti putri Ardele."
Putri Ardele. Maksudnya Ibu?
"Nah, untuk mengurangi kebingungan, ini sebuah informasi yang akan berguna," sela Dona memberikannya kertas sobekan dari koran lama.
Itu usang dan tersobek.
Tapi punya informasi yang mencuri perhatiannya. Di sana tertulis 'Misteri kematian putri pertama Marquees Ardele, pembunuhan atau bunuh diri?' Lengkap dengan sebuah lukisan. Dia yakin itu bukan gambar yang di ambil, tapi berupa ilustrasi.
Di sana ada seorang perempuan yang terbaring memegang pisau yang tertancap di dadanya. Dan matanya terlihat terbuka. Itu... agak menyeramkan.
Jadi, ternyata mamah punya kakak? Dan dia meninggal muda? Lalu... hubungannya dengan pernikahan Ghania apa?
"Sejujurnya, aku tidak mengerti sama sekali maksud dari ini," jujurnya memberikan kembali potongan kertas itu pada Dona.
"Selain Dona, kamu juga akan berakhir begitu."
"APA?!" Serunya terkejut.
Harusnya dia tidak bereaksi seperti itu.
Tapi itu benar-benar mengejutkan. Maksudnya, dia harus menikah kalau tidak akan mati? Antara dibunuh atau bunuh diri? Atau bagaimana?
"Kakek pasti akan mencoba menemukanmu suitor. "
"Bukankah itu bagus? Aku dan Dona jadi tidak perlu mati... kan? Tante?"
Tantenya menggeleng, memarkirkan mobilnya di lahan parkir mansion besar Wening. Berhenti.
"Penyebab kematian dari bibi kalian adalah kakek kalian, Nia. Kita harus mencari suitor sebelum kakek yang melakukannya."
Apa?