Chapter 3 - Wacana

Mereka sampai di sebuah hotel bintang lima di daerah itu, dengan tulisan besar yang menyala "HSL HOTEL."

Yang dia ketahui adalah ini adalah hotel milik putri Helena, dan dia bersama Wendy akan menemui seseorang dengan nama Miselia.

Benar saja, setelah menyebutkan nama Miselia di resepsionis mereka diberikan kunci kamar VIP. Wendy terlihat terbiasa dengan ini.

"Kenapa kita datang ke sini?" tanyanya ragu-ragu menatap Wendy yang berjalan di depannya.

"Bertemu Miselia, kak."

Ternyata namanya Miselia, dan dia salah mengucapkan. Aduh.

Ghania menghela nafasnya diam-diam. Takut juga jika Wendy mendengarnya. Pasalnya, Ghania sadar total kalau mereka tengah diperhatikan. Tepatnya, dia.

Seakan jadi target, gadis itu bisa merasakan mata yang melihatnya walau tidak terang-terangan. Seperti memata-matai. Semuanya bertubuh besar. Dan... menyeramkan.

"Aku penasaran kenapa kakak terpilih," ucap Wendy, berhenti di depan sebuah lift.

Dia membukanya terampil, menunggu Ghania yang terlihat ragu untuk masuk. Di dalam tempat itu Wendy dengan santai masuk di antara dua laki-laki yang sepertinya turun memang untuk menjemput Wendy.

Mereka memakai semacam seragam hitam pekat. Wajahnya mereka menyeramkan. Yang pasti, Ghania tidak akan mau berada terlalu dekat dengan mereka.

"Kalian pikir aku nggak tahu kalian ngikut?" tanya Wendy, memecah keheningan di dalam lift yang malah lebih lama dari biasanya.

"Adya tidak tahu."

"Kalau begitu suruh anggota lain mengawal kamar Miselia."

"Lo nggak papa kan tapi?"

"Please deh, Aarav. Lo pikir siapa yang bisa lukain gue?"

"Caleb?"

Wendy menoleh dengan tatapan tajam kepada pemuda blonde yang menyebut nama itu. Siapa itu? Orang jahat yang bermusuhan dengan Wendy?

"Sorry kakak jadi dengerin obrolan sampah ini. Mereka nggak bakal gigit kok. Kalau sampai ada di antara mereka yang macem-macem kakak bisa lapor ke aku," jelas Wendy dengan senyum lebarnya.

Kalau orang-orang ini anggota semacam gangster atau mafia, berarti Wendy juga salah satunya. Atau, Wendy adalah nona yang harus mereka lindungi?

Atau malah—

"Kalian turun lagi."

Tanpa protes keduanya turun lagi.

Ghania jadi merasakan perasaan yang aneh. Harusnya dia tidak nyaman dengan bagaimana perempuan di sampingnya memerintahkan dua orang yang lebih besar dari dia, tapi dia malah merasa aman?

Aneh.

Lebih aneh lagi ketika lorong tempat mereka bertemu diisi banyak laki-laki dengan seragam yang sama. Mereka semua membungkuk penuh hormat pada keduanya yang melangkah.

Kecuali yang menjaga pintu ruang VIP.

"Lain kali, kasih tahu gue dulu sebelum dateng. Paham?" nada mengintimidasi milik Wendy membuatnya merinding.

Pokoknya roller coaster. Kadang dia takut, kadang nyaman dan aman saja. Yang pasti, ini berbahaya.

Ghania memutar otak.

Alasan apa dia ditarik ke dalam lingkaran ini? Dia ingin bertanya. Tapi bibirnya terkatup rapat. Takut. Bagaimana kalau orang-orang ini menusuknya tepat saat dia membuka mulut karena alasan tak hormat?

"Dah dateng lo?" Suara itu terdengar kesal.

Wendy melebarkan senyuman, tertawa. "Sorry sorry, niatnya ngajak Zania tapi tu anak malah nggak angkat telpon."

"Kamu bawa apa?" pertanyaan halus itu keluar, bersamaan dengan sosok mungil dengan pakaian tradisional yang tidak pernah dia lihat.

Itu semacam baju tradisional Jepang, bedanya tidak ada Obi atau ikat pinggang. Matanya juga sangat mengintimidasi. Warna ungu gelap. Walau tersenyum, Ghania bisa merasakan aura tidak menerima yang besar.

"Ini Ghania, dia yang mau dicalonin kak Rinjani."

"What? Yang ini?" Perempuan dengan rambut cokelat gelap mengernyit dalam dengan ekspresi menilai.

"Kamu bisa apa, dek?" pertanyaan itu membuat perempuan berambut cokelat itu mendelik lagi. Itu dari seorang perempuan dengan rambut berwarna lebih gelap, dengan kacamata google yang dia jadikan bando.

Ghania mau pulang.

Serius.

Dia bisa merasakan tangannya saling bertaut di belakang, kaki-kakinya yang mulai melemas karena berdiri dan gemeteran dan suaranya yang susah untuk keluar.

"Kak Rinjani loh ini."

"Ini yakin Rinjani nggak mabok? Tapi ini anak bahkan nggak masuk standar Wacana bahkan dari auranya!" tegas perempuan itu.

"Mis, elah. Kali aja dia lebih pinter dari Zania ya kan?" ucap Wendy dengan nada agak tidak yakin juga.

Siapa pula Zania?

"Hah masa deh? Kamu juga ranking satu ujian nasional?" tanya perempuan dengan kacamata google tadi, terlihat antusias.

Ghania berusaha menggeleng, "ti—tidak. Tapi ak—"

"Kalau begitu, tidak. Apa dia bahkan seorang ningrat? Tingkahnya benar-benar mencerminkan orang rendahan," cemooh perempuan mungil dengan baju tradisional.

Ghania tertohok. Matanya panas. Kenapa dia susah berbicara dan malah di bully lagi di sini? Inikah alasan utama Nyonya Rinjani memilihnya?

"Hei! Itu tidak sopan, Santia!" tegur perempuan dengan kacamata google.

Perempuan mungil itu tetap tersenyum. Tapi matanya menatap Ghania dingin, mengusirnya.

"Wajar aja sih menurut gue kalau kita nggak suka orang kayak dia, ini first impression lagian? Tapi gue bener-bener nggak yakin sama ni anak. Lo liat aja cara dia berdiri. Nggak kayak wacana banget."

"Mis, bentar deh. Setidaknya tanya dulu pendapat dia. Kalau begini malah entar bisa-bisa elo yang kena marah Helena."

"Hm."

"Menurut kakak gimana?"

Ghania menoleh pada Wendy dengan matanya yang sudah berlinang air mata. Bibirnya berusaha agar tidak terlihat menyedihkan. Wajah panik Wendy tertutup genangan.

Ghania mengumpulkan keberaniannya, menatap dua orang yang tadi mencercanya juga, mencoba menghapus air matanya tanpa sisa.

"Apanya? Kalian bahkan nggak menjelaskan apa yang lagi terjadi dan kenapa saya dibawa ke sini. Mungkin saya memang burung kenari murahan yang gampang ditangkap sampai berakhir begini. Apapun tawaran kalian. Maaf. Dengan hormat dari orang rendahan ini, saya menolak."

Dia membungkuk, "saya permisi."

Ghania buru-buru keluar, menghapus air matanya lagi—yang malah keluar makin deras diiringi isakan. Telinganya bisa menangkap teguran dari perempuan dengan kacamata google kepada Miselia dan Santia.

Tapi... memangnya itu akan menyembuhkan sakit hatinya?

"Kak! Biar aku anter!"

Wendy...

Bagaimana pun dia tidak bisa membenci perempuan di sampingnya.

Atau orang-orang yang terlihat waspada apa yang akan terjadi.

"Aku minta maaf..."

Ghania tidak menjawab.

Malam itu, permintaan maaf terdengar seperti makian di telinganya. Walau... ini adalah pertama kalinya dia mendapat ucapan maaf dengan nada sesesal itu.

Dia juga merasa tidak perlu peduli dengan pendapat orang di dalam ruangan itu.