Saat senja mulai tampak hampir gelap, tampak mobil yang dikemudikan pak Steven sedang menyusuri jalan mencari sebuah rumah makan yang nyaman untuk makan bersama.
Selang beberapa menit setelah Itu, akhirnya mendapatkan sebuah rumah makan di pinggiran kota, dekat dengan area persawahan dekat pegunungan yang sejuk.
Setelah mereka duduk dan memesan beberapa makanan dan minuman, obrolan pun mereka mulai.
"Jadi, bagaimana cerita pak Herdi kok bisa bersama dengan bapaknya Lera?" pak Steven membuka obrolan.
"Saat siang menjelang sore seperti waktu yang jadi kesepakatan kita, saya standby dengan mobil saya di sebarang hotel, lurus pintu masuk. Saat saya mulai merasa kelamaan menunggu, saya hubungi kontak Fiko. Namun yang datang orang tadi itu!" ungkap pak Herdi.
"Saya bingung saat dia langsung marah yang saya gak jelas makdudnya. Sementara saya sedang berpikir orang ini siapa, dia memaksa saya untuk masuk mobil bersama dia. Kemudian saya harus mengikuti ke mana dia mau?" lanjut pak Herdi.
"Kenapa pak Herdi tidak mencoba memberikan perlawanan pada dia?" tanya Fiko.
"Saya terpaksa harus menuruti perintah dia mau belok ke mana mobil itu, karena di leher saya sudah ditempelkan pucuk senjata api, dan senjata itu ditempelkan terus tanpa lepas sedikitpun sepanjang jalan!" jawab pak Herdi.
"Lalu bagaimana kecelakaan itu bisa terjadi?" tanya pak Steven.
"Saat pak Steven telepon saya, di mobil sempat terjadi rebutan Hp. Saya sempat panik saat mobil oleng kemudinya, namun dia tetap kesulitan merebut karena satu tangannya berusaha untuk tetap mempertahankan senjatanya!" ungkap pak Herdi.
"Terus?" tanya pak Steven.
"Saya juga merasa harus mempertahankan Hp saya, sehingga saat saya merasa benar-benar sulit mempertahankan karena sambil mengemudi, kemudian saya berharap ketemu pohon besar untuk saya tabrakkan mobil nya. Dan saat ketemu, saya langsung tabrakkan ke pohon itu!" ujar pak Herdi.
"Jadi ini bukan tabrakan dengan kendaraan lain?!" tanya pak Steven.
"Bukan pak!" jawab pak Herdi.
"Sebentar pak, kenapa memutuskan menabrak pohon?" tanya pak Steven lagi.
"Kalau saya menabrak kendaraan lain, pasti akan menimbulkan kasus baru. Jadi ini pilihan satu-satunya yang bisa membuat saya bisa lepas dari sandra'an dia!" ungkap pak Herdi.
Sesaat kemudian pelayan rumah makan tersebut datang dengan beberapa makanan dan minuman, lalu menyajikan.
"Silahkan pak, selamat menikmati!" kata sang pelayan.
"Terima kasih!" sahut pak Steven.
Setelah itu mereka semua makan sambil sesekali mengomentari masakan makanannya.
Dan seusai makan, mereka melanjutkan obrolannya.
"Sebaiknya kita sekarang bagaimana?" pak Herdi membuka obrolan.
Bagaimana pak kalau kita selesaikan yang individu, kemudian yang bersama?" Sahut Fiko kemudian.
"Maksudmu bagaimana?" tanya pak Steven.
"Pak Steven kemarin keluar kantor urusan pertemuan dengan tamu. Terus kalau pak Herdi dan kami satu rombongan rencana ketemuan di tempat pak Steven pertemuan!" ungkap Fiko.
"Lantas, bagaimana?" Sahut pak Herdi.
"Baik pak Steven maupun yang lain, pertama-tanya konfirmasi atau minimal kirim kabar ke tempat masing-masing, dengan maksud agar tidak mengundang berbagai pertanyaan; Mengapa kok belum kembali juga begitu!" ungkap Fiko.
"Iya, itu betul. Terutama pak Herdi kalau pulang dalam keadaan seperti ini, pasti juga membuat kagèt keluarga. Dan saya akan balik untuk buat laporan hasil pertemuan di sini tadi!" kata pak Steven.
"Lantas bagaimana urusan Kontrak Job kami? Apakah bisa kita lanjut pak?" Kalau sekiranya memungkinkan bagi bapak besar harapan kami untuk bisa membantu berlanjutnya Kontrak JOB itu!" Sahut Fiko.
"Itu sudah ada dalam agenda management kami. Cuma pihak kami harus terlebih dulu membantu menenangkan pak Benny!" ujar pak Steven.
"Kenapa pak?" tanya teman Fiko.
"Tetkait masalah Job kalian di Hotel yang saya kelola, memang saya yang menanda tangani agreement, namun pak Benny adalah pemilik hotel. Jadi... bagaimanapun keadaannya, saya harus konfirmasi dengan beliau!" jawab pak Steven.
"Mmm, pak Steven... sebelum kita berpisah, bisa minta tolong sekali lagi?" tanya pak Herdi.
"Silahkan, apa itu pak?" tanya pak Steven balik.
"Antarkan saya cari mobil dèrèk untuk membawa mobil saya yang masih parkir di jalan tempat kecelakaan tadi!" kata pak Herdi.
"Ooh itu, gak apa-apa!" jawab pak Steven.
Kemudian...
"Bagaimana Fiko dan teman-teman? Kita bisa jalan sekarang?" tanya pak Steven kemudian.
"Baik pak, daripada nanti keburu terlalu malam!" sahut Fiko.
Setelah itu mereka meninggalkan restaurant dan menuju tempat parkir mobil pak Herdi.
*Dua hari kemudian...
"Selamat pagi pak!" ucap Fiko dan Robi pada Receptionis Hotel.
"Pagi mas. Ada yang bisa saya bantu?" tanya si Receptionis.
"Bisakah saya ketemu pak Herdi?" tanya Fiko.
Belum sampai sang Receptionis menjawab, muncul seorang lelaki dari ruang office, lalu...
"Hallo Fiko. Tumbèn nih pagi-pagi!" katanya pada Fiko.
"Eeh, iya mas Andi, mau ketemu pak Herdi!" balas Fiko.
"Kalau gak salah... pak Herdi belum masuk kerja, kabarnya sakit habis kecelakaan. Tapi nanti dulu, saya cek sebentar di ruangnya!" kata Andi.
Sementara Andi menuju ruang pak Herdi, Fiko dan Robi duduk menunggu di Lobby.
Tanpa diduga oleh mereka berdua, saat duduk sambilan bincang-bincang, tiba-tiba suara seorang lelaki 65 tahun bicara agak keras pada mereka berdua:
"Hey kamu, ngapain lagi kamu masih saja masuk hotel kami? Ooh... sengaja kalian lakukan supaya saya diciduk pilisi, begitu?!" orang itu membentak.
Robi mendekat Fiko, lalu..
"Siapa orang ini, kok sepertinya sudah kenal kamu?" bisik Robi.
"Dia ini yang namanya pak Benny!" balas Fiko berbisik.
"Hey, bocah kecil, kenapa kamu malah diam bisik-bisik? Keluar kalian dari sini!" ucap pak Benny keras sambil tangan menuding arah luar.
"Maaf pak, kami berdua tidak ada maksud buruk seperti yang bapak sangka. Berikan kami sedikit waktu untuk menjelaskan!" Fiko memohon.
"Apa... menjelaskan? Kamu anak baru besar kemarin... mau ngajari apa sama saya?!" ujar pak Benny sambil menepuk dadanya.
Lalu pak Benny mendekat dan memegang lengan atas Fiko sembari menarik...
"Sudah, berhentilah bicara nak, saya tidak butuh ajaranmu. Lekas pergi keluar sekarang!" ucap pak Benny geregetan.
Di saat bersamaan, dari arah dalam tampak Andi muncul dan mendekati pak Benny, serta katanya:
"Maaf pak Benny, Fiko ini mau ketemu pak Herdi!"
"Bilang sama pak Herdi, jangan temui bocah ingusan ini. Tidak ada hal yang penting dari anak ini!" sahut pak Benny.
"Tapi pak... !" kata-kata Andi terhenti.
"Tapi apa? Tidak ada TAPI, cukup!" tegas pak Benny sembari tangannya mendorong badan Fiko.
Tampak Andi tetap ingin sampaikan sesuatu dan kemudian...
"Maaf pak Benny, hari ini pak Herdi datang terlambat, saya baru saja hubungi beliau, katanya sebentar lagi tiba!" ungkap Andi.
"Hah, apa, datang terlambat?!" pak Benny kerutkan dahi.
"Iya pak. Karena kaki masih sakit, pak Herdi berangkat ke hotel naik taxi!" jelas Andi.
Baru saja Andi selesai bicara, kemudian...
"Pak Benny... itu pak Herdi baru datang!" kata Andi menunjuk arah pintu.
"Hah, kenapa pak Herdi berjalan memakai tongkat?" gumam pak Benny terkejut.
Lalu...
"Kamu lekas keluar, saya tidak ada lagi urusan denganmu. Saya mau bicara dengan pak Herdi!" ucap pak Benny seraya mendorong Fiko.
Ketika Fiko dan Robi berpapasan dengan pak Herdi di pintu Lobby, mereka saling bersalaman, lalu:
"Ayo kita bicara di sana!" kata pak Herdi sambil menunjuk Lobby.
"Pak Benny mendadak marah melihat kedatangan kami berdua, lalu mengusir pak!" kata Fiko.
"Saya yang akan jelaskan pada beliau!" ujar pak Herdi.
Lalu Fiko dan Robi berjalan mengikuti pak Herdi menuju Lobby. Sedangkan pak Benny yang sedang mendekat juga, sempat menjadi bingung lalu katanya:
"Apa-apaan ini?" pak Benny melotot.
*)bersambung ___