Beberapa jam yang lalu.
Arjuna dan Claudya hanya terdiam tanpa suara saat satu persatu orang yang ada di gedung tersebut mulai meninggalkan tempat itu. Ucapan selamat datang kepada mereka dari beberapa tamu yang entah benar-benar ikut bahagia dengan pernikahan Arjuna, atau hanya menjadi penjilat supaya mendapatkan perhatian dari laki-laki itu.
Arjuna merupakan sosok yang disegani, posisinya sebagai pewaris sah Dirgantara membuat banyak yang mengidam-ngidamkan untuk menjadi pendamping Arjuna. Namun, semua itu harus kandas karena laki-laki tersebut sudah menikahi perempuan lain.
"Arjuna, ayo kita pulang!" Arabel yang masih di sana menarik tangan Arjuna.
"Arabel!" tegur Dirgantara melepaskan dengan kasar genggaman Arabel kepada Arjuna.
"Apa?!" teriak Arabel kesal.
"Lebih baik kita pulang sekarang, biarkan Arjuna bersama Claudya di sini," ujar Arjuna.
"Untuk apa lagi, Pa? Arjuna sudah mau menikahi perempuan ini, lalu apa lagi yang dia inginkan?"
Claudya menatap mertuanya dengan pandangan takut. Dia sadar, kalau wanita itu tidak menyukai dirinya.
"Justru karena Arjuna sudah menikah dengan Claudya, jadi sudah sepantasnya dia di sini bersama istrinya!"
Sejujurnya Dirgantara lelah dengan sikap Arabel. Perempuan itu selalu menginginkan semua keinginannya terwujud, bahkan jika ada hal yang tidak dia sukai, dia akan memperlihatkannya secara terang-terangan.
"Pokoknya Arjuna harus ikut pulang," sentak Arabel yang tidak mau mengalah.
"Jangan membuat masalah," tegur Dirgantara yang berusaha meredam amarah karena perbuatan sang istri.
"Aku tidak membuat masalah!"
"Kita pulang!" Dirgantara menyeret Arabel dengan kasar, tidak peduli istrinya itu terus memberontak.
"Lepaskan aku, Dirga! Kamu ini apa apaan!"
Mulut Arabel tidak berhenti mengoceh. Mengungkapkan kekesalan karena Dirgantara terlihat membela perempuan asing itu.
Sayangnya Dirgantara tidak akan mengalah untuk kali ini, tenaga yang dia miliki cukup untuk menyeret Arabel pergi dari sana. Hingga menyisakan sepasang suami istri yang baru sah tersebut.
-----
"Kamu bisa lihat sendiri kalau mamaku tidak menyukai keberadaanmu," ucap Arjuna dingin.
Claudya terdiam membisu.
"Aku harap kamu bukan seperti wanita-wanita yang ada di luar sana, aku sudah memilihmu jadi jangan kecewakan aku."
"Kalau saja presiden itu tidak terjadi, pasti semua tidak akan seperti ini," jawab Claudya merasa kalau Arjuna merendahkan harga dirinya.
"Semua sudah terjadi, tidak ada yang dapat diubah lagi. Yang aku harapkan, cukup jangan membuat aku kecewa karena memilihmu."
Setelahnya, keadaan terasa canggung, Claudya terlalu takut untuk membuka suara. Sejujurnya dia merasa tidak nyaman berdekatan dengan Arjuna, kejadian malam itu yang menimpa dirinya selalu tangiang-ngiang dalam pikirannya.
Arjuna pun terlalu malas untuk sedikit mengajak perempuan yang telah menjadi istrinya itu berbincang lagi. Cukup dengan memberi peringatan, supaya Claudya tahu diri.
Deringan ponsel membuat Arjuna segera melihat siapa yang menelepon. Sesaat Arjuna mandiri pada kau dia yang menatap ke arah lain, Dia kemudian bedehem pelan.
Mendengar deheman tersebut membuat Claudya sontak menatap Arjuna.
"Kamu tunggu di sini sebentar," ucap Arjuna kemudian melangkah pergi dari sana tanpa mau mendengar jawaban dari Claudya.
Sementara Claudya hanya dapat melihat langkah Arjuna yang perlahan menjauh. Ingin rasanya Dia memanggil laki-laki itu, akan tetapi dia merasa sungkan walau sekarang Arjuna sudah sah menjadi suaminya.
-----
Arjuna melangkah ke parkiran hotel. Mencari tempat yang cukup sepi untuk memakan panggilan telepon dari Arabel.
Setelah menemukan tempat yang cukup sepi, Arjuna terus berdering sejak tadi.
[Arjuna! Kenapa kamu lama sekali mengangkat telepon dari Mama?!] Nada marah Arabel menyambut ketika Arjuna telah menaklukkan masalahnya tepat di telinga. Dia langsung menjauhkan maksud tersebut dari telinganya.
The sisan-kesan keluar dari bilah bibirnya. "Ma, kalau bicara itu yang pelan."
[Bagaimana mama bisa bicara pelan-pelan, Mama saat ini sedang kesal dengan papamu! Kamu juga! Ini sudah jam berapa? Kenapa belum pulang juga?!]
Tanpa bertanya, Arjuna sudah tahu apa yang menjadi pokok permasalahan Arabel saat ini. "Mama itu suka sekali marah-marah dengan Papa."
[Bagaimana mama tidak marah, gara-gara keputusan dia tante Amanda tidak mau lagi berhubungan dengan Mama. Padahal kalau dibandingkan, Agretha jauh lebih baik daripada perempuan itu.]
Arjuna menarik nafas panjang, selalu kalimat itu yang Arabel ucapkan. Dia sudah sangat bosan mendengar semua ini, tetapi kalau Arjuna membantah, pasti Mamanya itu akan mengomel panjang lebar.
"Ma, kita kan sudah membahas ini dari kemarin. Aku menikahi perempuan itu sebagai bentuk tanggung jawab."
[Pokoknya Mama tetap tidak setuju! Lebih baik kamu pulang sekarang dan tinggalkan perempuan itu sendiri di sana!]
"Tidak mungkin aku meninggalkan dia," bantah Arjuna.
[Kamu membantah Mama? Kamu lebih memilih perempuan itu? Dia hanya orang asing! Untuk apa kamu peduli padanya?!]
"Bukan begitu, Ma."
Arjuna menjadi serba salah. Sekarang Claudya merupakan tanggung jawabnya, tetapi membantah ucapan mamanya membuat Arjuna merasa bersalah.
[Pokoknya lama tidak peduli dengan penolakan kamu, kamu pulang sekarang dan gugat cerai perempuan itu hari ini juga! Karena mama tidak mau mempunyai menantu seperti dia.]
Perasaan tidak tega hadir dalam diri Arjuna, meski dia belum mengenal judul bagaimana sosok Claudya, tetapi mencambangkan di hari pertama pernikahan merupakan hal yang tidak patut Arjuna lakukan.
"Aku tidak mungkin melakukan itu. Sudahlah, Ma. Jangan dipermasalahkan lagi, kemarin Mama sudah setuju."
[Mama tidak pernah setuju, tapi Papamu itu yang keras kepala, sehingga mau dia mau harus mengiyakan, padahal sebenarnya Mama terpaksa.]
Tentang hal itu memang benar, tapi semuanya berawal dari kesalahannya sendiri. Arjuna tidak ingin menjadi laki-laki brengsek, yang kabur dari masalah.
"Sekarang aku sudah menikah dengannya, jadi aku mau supaya Mama mau menerimanya sebagai menantu Mama."
[Tidak akan! Yang mau mau kamu ceraikan dia!]
"Aku tidak akan bercerai dengannya, sudah syukur pembicaraan kita kalau Mama hanya menelepon untuk membahas hal ini."
Arjuna menutup panggilan dengan sedikit kasar, sedari dulu mamanya selalu maksakan kehendak. Untuk sekarang, Arjuna tidak dapat melakukan perintahnya.
"Aku hanya ingin menikah sekali seumur hidup," gumam Arjuna.
Prinsip itu sudah dia tekankan sejak dulu, walau Adnan tidak tahu bagaimana alur pernikahannya dengan Claudya nanti. Dia akan mencoba untuk menerima semua dengan lapang dada.
Merasa ininya juga terlalu lama meninggalkan laudya sendiri an di dalam gedung tempat pernikahan mereka dilangsungkan, Arjuna memilih untuk kembali.
Namun, sampai di sana Arjuna tidak menemukan keberadaan Claudya. Alisnya bertaut bingung. "Kemana perginya dia?"
Arjuna mengitari sekeliling, tetapi Claudya tetap tidak dia temukan. Pada akhirnya, Arjuna keluar dari sana, menghampiri resepsionis.
"Mbak lihat perempuan pakai kebaya tidak?"
Pertugas resepsionis itu mencoba mengingat. "Apa dia mengenakan baju kebaya warna putih dengan sedikit bordiran berwarna keemasan?"
"Benar! Mbak lihat dia kemana?" tanya Arjuna.
"Saya tadi melihat dia bersama seorang laki-laki ke lantai atas, mungkin ke kamar pengantin yang sudah dipesan."
Setelah mendapat jawaban Arjuna bergegas menuju ruangan yang dimaksud. Baru saja dia akan memasuki ruangan tersebut, hal yang tidak dia duga terjadi di depan mata.