Sinar matahari pagi yang hangat itu menelusup masuk ke dalam piyama gadis cantik itu. Dia menggeliat, merasakan sinar matahari telah terbit. Alea mendudukkan dirinya di atas ranjang.
Dia menoleh pada jendela rumahnya. Lalu mengernyitkan alis. Mengusap matanya dan mengedipkan berkali-kali. "Kenapa aku sudah di rumah?" tanyanya pelan.
Gadis itu menghela napasnya, tak Inging menghiraukan dan berjalan menuju kamar mandi. Membersihkan dirinya dan tak lupa menyikat giginya. Dia tersenyum di cermin kamar mandinya. "Hari ini harus lebih baik daripada kemarin!" Ucapnya dengan sedikit keras.
"YA! DAN PASTINYA AKAN LEBIH BAIK!"
Alea menegang mendengar suara itu, dia menengok ke pintu kamar mandinya dengan horor. Bagaimana tidak? Orang
tua Alea sedang bisnis ke luar negeri, tidak mungkin pulang tanpa memberi kabar terlebih dahulu.
Alea berjalan dengan ragu, dia menggigit bibir bawahnya, detak jantungnya terasa lebih cepat. Tangannya menggapai kenop pintu dan perlahan memutarnya.
"Hah," kaget Alea melihat Felix yang berdiri tegap di depan pintu kamar mandinya, menggunakan jas yang rapi dan tataan rambutnya yang seperti baru habis dicukur, membuatnya semakin elegan.
Felix tersenyum simpul. "Terkejut akan kehadiranku?" tebak Felix, dia memegang dagu Alea dan menariknya agar menghadap wajahnya. Karena Felix lebih tinggi daripada Alea, membuat Alea harus mendongak.
Senyuman Felix berubah menjadi smirk. Dan sukses itu membuat Alea merinding, "Kenapa kau ada disini? Sedang apa kau? Darimana kau tau rumahku? Sejak kapan kau datang? Kau mengambil kunci rumahku? Atau jangan-jangan aku lupa mengunci—"
"Diamlah!"
Alea tersentak karena Felix yang tiba-tiba meninggikan suaranya, tangannya terkepal kuat, menghadapi pria yang bahkan belum dia kenali itu.
Felix melepaskan tangannya pada dagu Alea, dia berjalan dan duduk di tepi ranjang. Melihat Felix yang tidak keluar dari kamarnya itu, membuat Alea mengencangkan handuk yang melilitnya.
Semuanya hening, tidak ada yang membuka suara. Bahkan napas mereka berdua terdengar sampai akhirnya Felix membuka mulut, "Cepatlah pakai baju, kita akan berangkat 15 menit lagi!" tekan Felix, laku mengeluarkan ponsel dari saku celana bahannya.
Alea membulatkan matanya kesal. "Hey Tuan sok ngatur! Bagaimana aku akan pakai bajuku jika kau masih terus mengoceh disini? Keluarlah dari kamarku, sialan!" maki Alea kesal.
Mendengar Alea yang melontarkan kata-kata tak pantas itu, membuat Felix menaruh ponselnya, tatapannya menajam dengan rahangnya yang ikut mengeras. Felix mengepalkan tangannya diselingi dengan amarah. Dadanya naik turun, dan dia berjalan menghampiri Alea.
Alea menatap wajah Felix tanpa takut kali ini. "Mau ap—" Mata Alea melebar, bahkan seperti hampir keluar dari tempatnya.
"Kumohon," lirih Alea, lalu menggeleng.
Felix yang memegang handuk Alea kini tersinis. "Lakukan apapun kalimat yang keluar dari mulutku, aku sama sekali tidak menerima bantahan!" gumam Felix di telinga Alea.
Lalu melepaskan tangannya dari handuk murahan itu, bahkan handuk itu tidak senada harganya dengan dasi yang dia pakai.
Alea menelan ludahnya dengan susah payah. Ini ke sekian kalinya dia melihat wajah garang itu yang entah mengapa setiap Felix marah, itu malah membuat wajah arogannya semakin ingin di puja.
"A-aku akan mengganti pakaianku dan kau tetap di sini?" tanya Alea horor, untuk memastikan.
Felix berdecak kesal. "Apa aku harus mengulang kalimat perintahku?" cetus Felix, dia berdiri lagi dan berjalan menuju lemari Alea, mengambil satu gaun yang menutupi sampai area lutut. Gaun dengan warna biru yang bahkan Alea tidak tau jika dia memiliki gaun seelegan itu.
Felix menyodorkannya pada Alea, tanpa berkata sepatah katapun. Dia kemudian berjalan ke arah pintu dan keluar dari sana. Meninggalkan Alea yang berdiri terkatung dan bingung.
"Kenapa jadi pakai baju ini?! Dasar tuan sok ngatur! Aku kan—"
"Aku mendengar semuanya."
Alea memilih merapatkan mulutnya dan berganti pakaian di toilet dalam kamarnya. Dua mendengus kesal, dan tetap memakai gaun itu.
"Apa kau bodoh? Aku ingin berangkat ke--"
Felix mendengus sinis, lalu dengan cepat memotong ucapan Alea. "Apakah kau bisa diam? Hari ini kau harus pergi denganku!" Paksa Felix, lalu berdiri dari sofa merah milik Alea.
Alea memijat keningnya yang sedikit pusing, dia menghela napas beberapa kali berusaha untuk bersabar. "Kau tau? A—"
"Aku tidak tahu, tidak ingin tau juga," balas Felix sebelum Alea menyelesaikan ucapannya.
"Aku bahkan belum selesai bicara!" desis Alea, memajukan bibirnya ke depan dan memasang wajah cemberut.
"Hm? Katakan."
"Aku bahkan belum mengenalmu, siapa kau? Kenapa tiba-tiba kau masuk dalam kehidupanku?"
Felix mengernyitkan alisnya, dia tersenyum tipis sambil berjalan menuju meja makan. Tangannya dimasukan kedalam kantung celananya. Hembusan AC membuat beberapa helai rambut Felix tersangka membuatnya semakin tampan.
"Cukup panggil aku Felix, dan turuti semua perintahku, hidupmu menjadi lebih mudah bukan?" Felix membuka kulkas, dan mengambil segelas selai kacang dan selai coklat. Lalu mengutak-atik lemari makanan disana, membawa beberapa lembar roti dan duduk kembali di meja makan.
Alea membuka mulutnya dengan syok, lalu menggaruk lengannya yang tidak gatal, dia memutar bola matanya jengah. "Felix, apa kau kenal yang namanya sopan santun?"
"Tidak, teman-temanku tidak punya nama jelek seperti itu," sombongnya.
"Itu roti milikku, dan ini rumahku. Tidakkah kau bisa bersikap seakan-akan kau adalah tamu dan aku tuan rumahnya?" jelas Alea, lalu ikut duduk di meja makan. Bersampingan dengan Felix dan terus mengoceh.
"Makan."
Satu kata, hanya satu kata respon dari Felix setelah Alea mengoceh panjang lebat tentang kesopanan. Karena kesal, Alea menggebrak meja, walaupun tidak kencang.
"Kubilang makan."
"Aku tidak mau! Jawab dulu pertanyaanku! Apa kau tidak bisa—"
"Makan atau aku yang menyuapimu dengan mulutku sendiri."
Seketika, Alea bungkam mendengar ancaman maut yang mustahil dia lakukan. Alea memilih diam dan memakan rotinya.
Diam-diam, Felix memperhatikan Alea yang serius dengan rotinya, tanpa sadar senyuman yang hanya segaris itu muncul. Alea merasakan napas Felix berhembus di dekat pipinya, merasa curiga.
Dengan sengaja, Alea memutar kepalanya. Felix yang ketahuan malah salah tingkah dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Felix segera berdiri dan keluar dari rumah Alea. "Cepatlah, acaraku 37 menit lagi akan dimulai," jelas Felix.
Alea yang baru selesai dengan rotinya, kini ikut berdiri. Langkah kakinya bergerak menghampiri Felix yang sedang membenarkan jam tangannya didepan pintu rumah Alea.
Alea menghela napas pelan, lalu perlahan membuka pintu itu, wajahnya berubah terkejut setelah melihat siapa yang berdiri didepan pintu rumahnya.
"Kenneth?"
Kenneth hanya melontarkan senyum manisnya, tangannya menggapai tali tas nya yang ada disamping pinggangnya, namun tak lama senyum Felix berubah menjadi heran. "Kenapa tidak memakai seragammu?"
Alea yang tidak bisa menjawab hanya terdiam didepan pintu. Beberapa saat kemudian Felix ikut keluar dan berdiri dibelakang Alea. Alisnya mengernyit mengenali siapa pria ini, ya pria yang dihajarnya kemarin.
"Kau lagi? Mau ap—" Ucapan Kenneth terhenti, dan matanya melebar saat Felix menarik pinggang Alea dan memeluk pinggangnya. Menghimpit tubuh Alea agar lebih menempel pada tubuh kekarnya.
Alea yang merasakan bahwa tangan Felix melingkar di pinggangnya, hanya dapat mematung dan menahan napasnya di sana.
"Bajingan! Lepaskan tanganmu dari pinggang Alea!"
Senyum mengerikan itu kembali tercetak jelas. "Mau main-main? Jangan sampai lupa aturan mainnya, ya! Minimal kau koma di rumah sakit, maksimal hidupmu bukan koma lagi, tapi titik!"