Chereads / Imaginary Devil / Chapter 9 - O9 Felix Berbahaya

Chapter 9 - O9 Felix Berbahaya

Alea menghentakkan kakinya dengan kesal, dia berjalan menuju ruang tamu dan menjatuhkan bokongnya di karpet bulu yang cukup besar itu. Punggungnya bersandar pada sofabed yang ada di ruangan itu.

"Bisakah kau diam, Felix?!" teriak Alea kesal. Sedari tadi Felix terus saja mengikutinya kemana pun, bahkan saat Alea ingin membuang air kecil saja Felix memaksa untuk ikut. Benar-benar tidak waras.

Sekarang, Felix duduk di sofa, tepat di atas Alea yang duduk di karpet bawahnya. Dengan usil Felix meraba-raba tengkuk Alea membuat Alea tidak nyaman.

"Kau! Bisakah diam tanganmu?" geramnya, Alea memutar tubuhnya dan memegang tangan Felix dengan kencang. Setelahnya Alea membuang tangan itu dengan kasar.

"Tidak bisa, Alea," jawab Felix. Tangannya yang tadi terbang di udara akibat Alea kini menopang dagunya.

"Kau cantik sekali," ucap Felix setengah sadar.

Alea membulatkan matanya, dia membuang wajahnya ke arah lain dengan tempo lambat. "Aku tahu!" balas Alea menghilangkan meltingnya.

"Kau tambah lucu," ungkap Felix lagi.

Alea merasakan buku kuduknya meremang, apa lagi maunya Felix? Sudah cukup Alea kembali bolos sekolah karenanya, dan jangan buat suasana di rumah Alea semakin buruk.

Buruk karena hanya ada mereka berdua. Hanya mereka berdua yang ada. Yang ada di rumah Alea.

Yang artinya itu, itu sangat membahayakan Alea. Felix yang nampak seperti om-om itu ....

"Argh! Diamlah, Felix!" sergah Alea. Kini dia kembali merasakan bahwa tangan Felix yang ada di puncak kepalanya menarik kepalanya ke samping hingga miring.

Itu yang membuat Alea merasakan lidah Felix yang basah di lehernya. Felix sengaja memiringkan kepalanya agar memudahkan dirinya untuk menjamah leher Alea.

"Felix .... " Alea memejamkan matanya, berusaha tidak mengeluarkan suara laknat seperti semalam.

Bola mata Alea hampir saja keluar saat lidah Felix turun sampai ke tulang selangkanya. Rasanya gelenyar aneh itu kembali menghantuinya. Napas Felix yang memburu pun terasa di bahu Alea.

Alea menggeram. Dia memegang kepala Felix dan menjambaknya agar kepala Felix segera menjauh.

Sekitar beberapa menit memanjakan leher dan bahu Alea, Felix akhirnya menjauh. Dia menatap Alea kembali dengan datar.

"Felix, kenapa kau jadi suka seperti ini?!" tanya Alea sambil menautkan alisnya. Dia segera berdiri dan duduk di sofa lainnya untuk menjauh dari Felix.

"Semua pria juga menyukai seperti itu, munafik jika dia berani bilang tidak," sahut Felix, kini dia melipat kedua tangannya di atas kepala untuk dijadikan sandaran kepalanya.

"Apa kau tidak punya pekerjaan lain? Apa kau pengangguran?!"

Felix tersenyum miring, dia melirik Alea dengan ekor matanya. "Iya, pengangguran banyak uang," jawabnya sombong.

Alea bergidik. "Kau! Karena kau aku kembali bolos, apa kata dosenku nanti?!"

"Orangtuamu kemana?"

"Jawab pertanyaanku!"

"Pertanyaanku dulu!"

Alea membuang napas kasar. "Menyebalkan!" Alea memutar wajah ke arah lain. "Orangtuaku penggila bisnis."

"Gurumu akan kusogok lagi nanti."

Alea menengok dengan cepat. "GILAA! KAU MAU MEMBAYAR ABSEN?!"

"Apalagi?" jawab Felix santai. Kakinya melurus di sofa.

Drrrrtttt drrrt

"Ponselmu," ujar Felix memberitahu.

Alea mengerutkan keningnya. "Ponselku baru saja kubanting kemarin, jelas-jelas itu ringtone milik ponselmu," omel Alea, melipat tangannya di depan dada.

Felix terkekeh kecil. "Ambilkan," pintanya.

Alea membuang napas kasar dengan geram. Dia mengambil bantal sofa dan melempar bantal itu tepat di wajah Felix.

"Hei? Kau tidak perlu mengodeku untuk meminta tidur kembali denganku," sela Felix.

Alea melotot. "Siapa yang ingin tidur denganmu?! Mulutmu mau aku cabein?!"

"Jangan, dicabein tak ada rasanya. Dicium baru mau."

"Ihh, dasar om-om mesum!!!"

"Mesum-mesum gini juga tetap tampan 'kan?"

Drrrrtttt drrrt

"Ponselmu berdering lagi!"

"Kau cemburu banyak yang menghubungiku, ya?" goda Felix.

Alea menggembungkan pipinya, dia berdecak sebal, lalu berucap, "Felix!! Kau membuatku geram!!!"

**

Kenneth memarkirkan motornya di sebuah kafe terkenal di pinggiran jalanan di kota Manila. Dia melepas helmnya lalu menghempaskan rambutnya dengan menggerakkan kepalanya ke arah kiri. Poni yang tadinya menutupi keningnya kini sudah berada di atas kepala.

Langkahnya membawa Kenneth masuk ke dalam sana, sudah lama tidak menongkrong. Karena itu dia memutuskan untuk bertemu teman-teman seperjuangannya untuk kembali menjalin silahturahmi.

Kenneth menggertakkan giginya, melihat tiga orang temannya yang sudah terduduk manis di bangku pojok. Tanpa berpikir dan menunggu lagi, Kenneth segera menggerakan kakinya ke sana.

"Woi! Yoi, kapten kita datang!" teriak salah satu teman Kenneth yang antusias. Masa SMA, memang sering dianggap masa-masa paling indah dalam sejarah persekolahan.

Kenneth membuka bibirnya, menampilkan beberapa deretan gigi putihnya yang rapi tanpa behel. "Sorry, bro! Telat dikit," jawab Kenneth sambil menempelkan bokongnya di bangku tanpa sandaran.

Kafe yang terlihat aesthetic ini memang sering dijadikan tempat nongkrong anak muda di Manila, tak jauh seperti di Jakarta. Khususnya anak gaul. Tidak salah, harga makanan dan minuman yang ramah di kantung anak muda juga menjadi nilai plus kafe ini.

"Santai! Abang Adhit mah udah biasa nunggu!" seru pria dengan kaus hitam serta topi warna abu-abu yang memberikan kesan fuckboy, sebab dari tadi, mata pria itu tidak pernah lengah dari gadis-gadis remaja yang juga nongkrong di sana.

"Eh, cantik!"

Kenneth memutar bola matanya dengan jengah, jengah karena Adhit tak pernah berubah sedari dulu.

"Gila, ni anak masih berulah aja!" cibir Raya, pria yang duduk di samping kanan Kenneth.

Kenneth menggeleng kecil. Dia menyeruput es moka capuccino milik Raya tanpa permisi. "Biarin aja, karma selalu adil," ujarnya.

Raya menoyor kening Kenneth dengan cukup kencang. "BRO! PUNYA GUA!" teriaknya, dengan paksa tangan Raya mengambil alih minumannya.

"Siapa suruh lu semua ga ada yang mesenin gua minum?" sahut Kenneth.

Drrrrttt drrrrtttt

"Ponsel lo, dari Alea?" celetuk Adhit yang duduk di samping kiri Kenneth.

Kenneth berdecak sebal, dia menyesal telah menaruh ponselnya asal di atas meja. Dengan jelas dia dapat melihat nama 'Alea' pada panggilan ponselnya.

"Wah, masih Alea, bro? Udah jadian apa sampe tahap mana?" cerocos Raya setelah mengetahui yang menelponnya Alea.

Kenneth memutar bola matanya dengan sebal. "Berisik lo semua," acuhnya. Dia berdiri lalu menggenggam ponselnya dengan kencang. Melangkah untuk kembali ke luar kafe.

Setelah celingak-celinguk kanan-kiri, Kenneth mulai menggeser ikon telepon berwarna hijau, menjawab panggilan dari Alea yang benar-benar tidak disangka.

Setelah layarnya menempel di telinga Kenneth, ia menautkan alisnya.

"Alea? Kenapa?" tanyanya, nadanya kini berubah cemas.

"Pergi, ke seberang kafe, sekarang!"

Kerutan di dahi Kenneth semakin jelas. "What? Maksud lo?" jawabnya heran.

"Cepat! Waktu lo gak banyak!"

"Gua gak ngerti!"

"Ke seberang kafe!!"

Tut ....

Kenneth membuang napas kasar, karena tak mengerti, dia memilih untuk mengikuti instruksi dari Alea.

Dia menjulurkan tangannya saat ingin menyebrangi jalan raya yang cukup ramai. Dia tidak menyebrang di zebra cross, karena terlalu jauh. Setelah dirasa cukup sepi dan mobil serta motor masih jauh dari jangkauan, Kenneth melangkah.

Sesampainya di seberang, Kenneth memasuki sebuah gang kecil. Tidak ada jalan lagi selain gang itu. Meski sedikit ragu, Kenneth tetap melangkah.

Gangnya sangat sempit. Bagian kiri dan kanan dari gang itu merupakan semen bangunan yang tidak halus, akan menyakitkan jika mengenai kepala pasti.

Kenneth berdecak, gangnya buntu.

"Di belakang."

Kenneth sedikit membuka mulutnya, matanya melirik ke belakang sebelum memutar tubuhnya. Kenneth mengedipkan matanya berkali-kali, mengumpulkan kesadarannya yang dia kira sedang hilang.

Dengan lambat, Kenneth memutar tubuhnya, kakinya langsung tegang saat matanya menangkap ....

Felix.

Benar, Felix!

Ya, itu Felix.

Felix dengan pisau kecil di tangannya yang terlihat tumpul.

Pisau yang sepertinya siap menyambut tubuh Kenneth.

Pisau yang kemudiannya akan, mengakhiri napas Kenneth.