Brak!
Felix menoleh ke arah pintu dengan cepat. Matanya dikejutkan dengan seorang wanita dengan dress selutut. Tanpa basa-basi lagi wanita itu berlari maju ke depan dan mendorong Felix supaya menjauhi Alea.
"Berengsek!" teriak wanita itu.
Wanita itu dengan cepat membantu Alea untuk berdiri, dia menarik tangan Alea lalu membenarkan tataan pakaian yang Alea gunakan saat itu. Sangat berantakan, dan itu karena Felix.
Wanita itu memapah tangan Alea di lehernya, lalu membawanya menuju kamar lain di lantai yang sama. Tubuh Alea terasa bergetar, sungguh seumur hidup Alea tak pernah diperlakukan seperti itu.
"Hey, cobalah untuk rileks kembali," ucap wanita itu, "Sherly," lanjutnya sambil menepuk bahu Alea.
Sherly kembali berdiri saat sudah mengamankan Alea di ranjang kamar lain, dia juga mengunci kamar itu. Sherly berlari, menuju tempat kejadian tak senonoh itu, kamar Felix.
Sherly kembali membanting pintu, lalu berjalan cepat pada Felix. "Kau gila? Atau otakmu belum selesai diservis?" maki Sherly dengan matanya yang melotot.
Namun, Felix malah mendorong Sherly sekuat tenaga. Membuat wanita itu mundur beberapa langkah. "Diam, kejantananku terekspos karenamu!" balas Felix keluar konteks.
Sherly menggeram sebal. Dia memungut segala pakaian Felix yang sudah tercecer di lantai. Benar, saat ini Sherly melihat Felix yang telanjang bulat. Bahkan benda besar berurat itu pun tidak lepas dari pandangannya.
Oh ayolah, Sherly bukan wanita penggoda seperti kebanyakan wanita yang memuja berbaring di bawah kukungan Felix, lagipula mereka sepupu.
Sherly melempar semua pakaian Felix yang sudah ada di tangannya dengan kencang. "Gila ya?! Kau bisa mencoreng nama baik keluarga Andromalius kalau sampai buat anak orang hamil!"
Sherly berbalik badan, kemudian keluar dari kamar itu dengan kembali membanting pintu.
Siapa sangka? Felix yang mendengar ocehan Sherly malah tertawa lepas. Di melirik pintu kamarnya yang baru saja dibanting oleh Sherly. "Kaukira aku peduli? Kesenangan lebih penting, wanita sok suci!"
Felix menendang pakaian yang tadi dilempar Sherly, dia menendangnya ke arah tempat sampah. "Sudah kotor," ungkapnya. Kemudian Felix berjalan menuju toilet, membersihkan dirinya yang sebenarnya masih bersih.
Tentu, permainannya bersama Alea tadi belum mulai. Mengapa selalu saja ada yang mengacaukannya. Kalau begini, sudah dari dulu sejak dia menginap di rumah Alea, Felix memperawaninya.
Felix berdecih meremehkan. "Sepertinya tidak, aku tidak akan melepaskan Alea dari genggamanku. Gadis itu berbeda," gumamnya disertai seringai tajam.
Sekitar 15 menit berkutat dengan alat mandi, Felix keluar dengan handuk yang melingkar di pinggang. Dia menyisir rambutnya sebelum mengambil pakaian baru dalam lemarinya. Felix juga menatap pantulan dirinya di cermin, tak pernah mengecewakan, selalu elegan.
Felix mengambil set kaos hitam polos dengan celana boxer sepaha. Dia melangkah ke luar kamar, dan lagi-lagi matanya menangkap Sherly yang tengah berada di dapur.
Felix memperhatikannya dari lantai atas, memang rumahnya punya akses untuk melihat ke lantai dasar dari lantai 2. Lama-lama tatapannya semakin tajam, Sherly seakan mengikatnya dengan selalu mengatur pergerakannya.
"Pergi," sergah Felix.
Sherly yang mendengarnya pun sontak menengok ke atas. "Aku harus memantaumu," balasnya.
Felix menyeringai kemenangan. "Kau akan masuk dalam list orang-orang yang paling kuperhatikan, Sherly." Felix segera memutar otaknya saat itu juga.
Sherly sempat menegang, tapi dia berusaha tetap santai. "Jati dirimu akan mempan padaku?"
Benar, jati diri seorang Felix ....
Psikopat.
**
Felix mengetuk kembali, napasnya sudah terdengar pasrah. Ketukan pintunya semakin keras karena kesabarannya menipis. Padahal, Felix baru saja sekitar berdiri di depan pintu itu sekitar 20 detik yang lalu.
Ya, Felix tidak memiliki kesabaran sebanyak orang-orang normal pada umumnya.
Felix kini memutar kenop pintunya, berharap pintunya tak terkunci. Namun, nihil. Sialan, pasti Sherly yang melakukan semua ini.
Felix menoleh ke samping, urusan Sherly dia malas sekali. Felix memilih untuk mengambil benda kecil yang berfungsi besar untuk saat ini.
"Alea, kau yang buka atau aku yang buka?" teriaknya, karena tak dapat jawaban Felix menyeringai senang.
Dia mulai memainkan benda kecil itu di lubang kunci kamar itu. Mengutak-atiknya sampai berbunyi 'klek' yang artinya kuncinya berhasil terbuka..
Tak sabar menunggu lagi, Felix masuk ke sana. Seperti anak kecil, Felix mendorong sebuah lemari yang tidak cukup besar untuk menghalangi pintu itu agar tidak terbuka.
Dalam hati Felix mengumpat, mengapa dia tidak membuat kunci cadangan?
Felix berbalik, tatapannya tajam mengarah gadisnya yang kini sangat ingin dia ambil kegadisannya.
Alea ikut membalas tatapan Felix. Dengan kata sayu yang seakan tidak hidup. "Mau apa?" tanya Alea, seolah-olah dia pasrah jika Felix akan melakukan apa pun padanya.
Felix menerbitkan senyumnya. Dia berjalan pelan sampai terduduk di pinggir ranjang. Tangannya terulur untuk menarik kepala Alea dan membawanya ke dalam dadanya.
Felix memeluk kepala gadis itu dengan kehangatan. "Tidak perlu takut," ucap Felix.
Alea terkekeh sumbang. "Kau jahat, Felix." Alea menggaruk punggung Felix sekuat tenaga, mungkin lebih ke arah mencakar.
"Bagus, kau memijitku," sahut Felix membuat Alea geram.
Felix kini mengangkat kepala Alea, menyuruh gadisnya untuk mendongak dan melihat wajahnya. "Jika malam ini kau penurut, aku tak akan melakukannya Sekarang," cibir Felix.
Dia menjauhkan wajah gadisnya, lalu mendorong perlahan sampai Alea kembali terbaring di kasur luasnya. Kedua sikut Felix bertumpu, agar tubuhnya tidak menindih tubuh Alea yang mungil.
"Jadilah penurut, sayang."
Alea membuang wajahnya ke samping. "Kau mau lakukan apa?"
Felix tersenyum simpul. "Hanya sedikit bermain-main dengan tubuhmu, seperti sebelum-sebelumnya di rumahmu," jawab Felix dia mulai menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Alea.
Gerakan Alea yang membuang wajah ke samping, malah seakan mempermudahkan Felix. Alea menggeram serak, berupaya menahan desahannya yang sudah diujung pita suara.
"Felix, bisakah kau kembali menjadi Felix yang kukenal dulu?" ucap Alea di sela mulutnya yang menahan untuk tak mengeluarkan suara bajingan itu.
"Seperti apa?" Felix menurunkan bibirnya menjadi ke tulang selangka Alea.
Alea menendang paha Felix yang mengapit kakinya. Dia memutar tubuhnya menjadi miring ke hadapan jendela yang belum ditutup juga, padahal sudah malam.
Felix tersenyum miring, gadisnya terus saja menolak dan menghindarinya. Felix kemudian menjatuhkan dirinya, memeluk Alea dari belakang dan dengan jahilnya terus mengecupi punggung Alea yang masih terbalut pakaian Alea.
Tangan Felix satunya berada di atas di perut Alea, dan satunya lagi memainkan rambutnya. Seluruh tubuh Alea bagaikan mainan bagi Felix. Dia mengelusi pusar Alea tanpa peduli bahwa Alea menahan rasa geli yang menjalar setengah mati.
"Felix, kau membuatku berkeringat," ungkap Alea. Karena sedari tadi Alea terus menahan apa yang seharusnya tak ditahan.
"Aku tau," balas Felix, tanpa jijik Felix malah menjilati keringat Alea yang bercucuran di bagian leher dan pelipis Alea. "Pasti lebih nikmat jika keringat ini hasil dari kerja sama kita, bukan keringat karena kepanasan."
"Kuingin kau menyalakan pendingin ruangannya," pinta Alea.
Felix tersenyum simpul, lalu dia menaruh kepalanya di atas bahu Alea, semakin mempererat pelukannya dan semakin mendekatkan dirinya pada tubuh Alea.
"Pilihannya hanya satu, kita membuat kehangatan itu sendiri. Dengan aku yang memelukmu, dan kau juga memelukku. Sama-sama berbagi kehangatan, Alea."