Chereads / Imaginary Devil / Chapter 10 - 1O Kenneth Menjadi Korban Felix

Chapter 10 - 1O Kenneth Menjadi Korban Felix

Felix mengembuskan napas dalam, dia tersenyum miring khas akan evilnya. Dalam hati dia bersorak gembira rencananya menyeret Kenneth dari keramaian, berhasil. Kini waktunya Felix melancarkan aksinya.

Pelan, langkah yang hampir tak terdengar. Perlahan, sepatu yang Felix gunakan menapaki tanah dengan lamban. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah ....

Setiap langkah Felix rasanya sudah membekukan persendian Kenneth. Kenneth menggerakkan bola matanya ke arah lain, mencoba mencari celah untuk kabur dari iblis di depannya.

"Merasa takut, hm?" gumam Felix, seakan menggoda. Namun, sama sekali tak menarik Kenneth untuk tergoda.

Jarak keduanya semakin terpangkas, bersamaan dengan Felix yang terus berjalan maju, Kenneth tak tinggal diam. Kenneth juga terus mundur, sampai punggungnya menyentuh tembok yang semennya tidak rata.

"You're stuck."

(Kamu Terjebak)

Felix semakin melebarnya senyumnya. Ia mulai mengangkat pisau kecilnya, seakan memamerkannya pada Kenneth. Felix bahkan menjilat ujung pisau itu dengan lidahnya. "Rasanya pasti sangat manis jika pisau ini berlumuran darah dari tubuhmu," ucap Felix tanpa dosa.

Apa? Apa yang dia maksud darahku?

"Kau gila!" teriak Kenneth, tangannya mulai terulur untuk mencegah Felix semakin mendekat padanya. Menahan dada Felix sambil sesekali mendorong tubuh Felix agar menjauh.

"Kau benar." Felix memiringkan wajahnya, lalu menautkan alisnya. "Sepertinya akan sangat manis jika pisau ini menancap di lehermu," ungkapnya.

"Gunakan otakmu! Sialan," maki Kenneth, kini tanpa takut Kenneth mendorong kasar bahu Felix sampai Felix mundur tiga langkah dari tempatnya semula.

Felix menggeleng kecil. "Kuingin menggunakan otakmu saja, bisakah pisau ini membelah kepalamu? Dan kuambil otakmu dari sana," racau Felix, "sepertinya tak bisa, kuharus menghancurkan tengkorak kepalamu dulu, baru kusobek kulit kepalamu."

Kenneth merasakan bulu kuduknya meremang. Apa yang dia hadapi saat ini?

"Pergi!"

Felix menaikkan satu alisnya. "Bahkan permainanku belum dimulai, Kenneth ...," bisik Felix di telinga Kenneth. Rasanya seperti diterkam serigala, tapi Felix bukan serigala biasa. Felix bagai serigala dari neraka.

Dengan lihai, Felix mulai memainkan pisaunya di bagian lengan Kenneth. Rintihan kecil mulai terdengar, walau Kenneth menahannya setengah mati.

Refleks, Kenneth menjauhkan kepalanya dari wajah Felix yang masih dekat dengan lehernya. Namun, bukan Felix namanya jika dia membiarkan mangsanya melakukan sesuka hati.

Tangan Felix meraih surai Kenneth dengan kasar. Bahkan, saat ditarik kepala Kenneth berbunyi klek seperti dua tulang yang saling tertabrakan.

"Ssttt, arsghss," ringis Kenneth. Tangannya mencengkeram bahu Felix, sesekali menusukkan kukunya. Darah segar yang warnanya merah pekat sudah membanjiri lengannya. Felix menyayat dengan pisau itu dari lengan atas sampai ke arah telapak tangan.

Tangan Felix yang tadinya memegang rambut Kenneth, kini mencengkeram dagu Kenneth dengan keras. Membuat Kenneth semakin histeris tertahan. "Sekarang waktunya bermain dengan tengkuk dan kepalamu ini," sergah Felix dengan suaranya yang serak.

Felix terus menguliti tengkuk Kenneth hingga darahnya mengucur deras. Mengalir sampai membasahi pakaiannya dan juga mengotori tangan Felix. Pisaunya kini penuh dengan gumpalan darah pekat.

Felix menggeram saat dia kesulitan untuk merobek kulit belakang telinga Kenneth. Benar, pisaunya tumpul, tapi itulah Felix. Dia memilih yang tumpul agar mangsanya bisa menikmati rasa sakitnya lebih lama.

Tanpa belas kasihan, tanpa perikemanusiaan, Felix menekan pisaunya sampai kulitnya memerah dan akhirnya darah dari belakang telinga Kenneth mulai keluar. Felix tersenyum puas.

"Nikmati semua ini, berengsek!"

Felix kembali menguliti Kenneth tanpa ampun, membabi-buta seakan tak ada hari esok lagi untuk menamati hidup Kenneth. Kenneth hanya bisa terus meringis, sama sekali tidak bisa dia nikmati sayatan-sayatan di kulitnya.

"FELIX! Hiks-hentikan ini!"

Felix menegang, mendengar suara menggemaskan yang seakan merusak adegan psikopatnya. Dia merasakan bahwa kakinya sedikit melemas, tidak. Tidak. Tidak. Apakah dia akan berada di posisi bahaya jika Alea tahu bahwa selama ini Felix adalah psikopat?

"Kau jahat! Kau benar-benar jahat!" Alea segera berlari. Masuk ke dalam gang itu dan mendorong Felix untuk menjauh dari Kenneth. Alea memeluk Kenneth dengan erat. Tangannya memegangi bagian yang telah berlumuran darah dari tubuh Kenneth.

"Kau tidak punya hati, Felix! Kau jahat! Jahat!" jeritnya. Alea terus saja mengatai Felix jahat, sungguh sama sekali tak terbesit di otaknya Felix akan melakukan hal gila seperti ini.

**

Alea menutup pintunya dengan kasar. Bahkan dinding rumahnya terasa bergetar karena benturan pintunya dengan kusen yang sudah cukup tua itu. Namun, tak mengambil alih keindahannya.

Alea melangkah dengan cepat, mengambil kotak P3K dan dibawanya ke kamar. Di sana ada Kenneth yang terduduk di atas ranjangnya sambil bersandar di dinding.

"Hei, bertahanlah." Alea menuangkan alkohol itu pada selembar kapas saat dirinya sudah duduk di samping Kenneth. Alea mengerutkan keningnya, menatap iba pada Kenneth yang sekarang terlihat tak berdaya.

Alea mulai menempelkan kapasnya, mengusapkan kapas itu ke seluruh lengan Kenneth. "Argghh, itu perih ...," adu Kenneth. Dia hanya bisa memejamkan matanya menahan sakitnya alkohol dan betadine itu yang merembes masuk ke dalam tubuhnya.

"Aku tahu, tahan sedikit," pinta Alea. Ia sendiri menggigit bibir bawahnya, rasanya juga ngilu walau luka itu tidak ada pada dirinya.

Napas Kenneth berembus kencang, kepalanya kini berdenyut nyeri. "Tidak, pusing sekali ...," lemahnya. Tangannya terangkat untuk memegangi telinganya. Luka di belakang telinganya pasti masih basah, bahkan masih ada sedikit darah yang keluar dari sana.

"Maafkan aku, Kenneth." Alea mengambil beberapa lembar kapas, lalu kembali menuangkan alkohol dan betadine ke sana. Dengan penuh kehati-hatian dia mulai menempelkan kapasnya di dekat telinga Felix.

"Arg-aghss ...."

Alea menahan napasnya, dia tau pasti Kenneth sangat kesakitan. "Felix memang tak memiliki akal sehat," hina Alea. Alea menggeleng kecil, lalu mengganti kapas yang dia gunakan dengan kapas baru, karena kapas yang tadi sudah menampung darah.

"Maaf, Kenneth." Alea kembali mengucapkan itu, walau literally ini sama sekali bukan salahnya.

"Kau bicara apa-arh—malaikat sepertimu ... tak kuizinkan untuk mengucap maaf," sahut Kenneth.

Alea membuang napasnya. "Kau harus istirahat, Kenneth. Biar kuperban lenganmu dan kuobati telingamu." Tangan Alea mulai lihai, melilitkan perban putih di lengan kiri Kenneth. Lalu, dia menempelkan lembaran kapas yang cukup tebal di telinga Kenneth dan memberinya plester.

Saat selesai, Alea menurunkan kakinya. "Istirahat dulu, kau tidak mungkin pulang sekarang," jelas Alea, "aku akan pergi ke kamar sebelah, agar kau tidak terganggu."

Namun, saat Alea ingin melangkah, telapak tangannya ditarik Kenneth. Membuat Alea tak jadi menggerakan kakinya. Alea mengangkat satu alisnya, untuk memberikan gerakan tubuh bahwa dia bertanya 'kenapa?'

"Kau, jauhi iblis itu."

**

Felix menatap nanar pintu kayu jati yang terlibat mahal kini tertutup dengan kencang. Dia mengumpat dalam diam, tidak mungkin. Ke mana harga dirinya sampai Felix bisa-bisanya diusir oleh gadisnya sendiri.

Dia menggeram serak, lalu memilih untuk membalikkan badannya. Urusannya dengan Kenneth belum selesai, dia harus menggeser posisi Alea dari pikirannya dulu, dan tuntaskan si biji ketumbar itu.

Felix mulai melangkah, pergi dari sana. Tak butuh waktu lama sopirnya datang. Mobilnya bergerak menuju kantornya. Mungkin di sana ada seseorang yang bisa jadi pelampiasan amarahnya.

Saat mobilnya terhenti, dengan cepat Felix keluar dari sana. Ia melangkah angkuh, menyembunyikan telapak tangannya yang masih tersisa-sisa darah. Mungkin bau anyirnya dapat terasa nanti.

Kakinya membawanya ke lift, lalu mulai naik ke lantai pribadinya. Paling atas. Kini saatnya luapkan emosi tanpa mengenal batas.

Tangannya memegang kenop, kemudian memutarnya. Namun, matanya menangkap si bajingan itu.

"Sialan," umpatnya dengan suara kecil.

"Lemah."

"Bukan urusanmu," sahut Felix lagi.

"Apa bedanya, wanita itu denganku?"

Felix tersenyum miring penuh kebencian. "Di mana adabmu? Masuk ke ruanganku tanpa izin ... apalagi, sampai ... masuk kembali dalam hidupku, bitch?"

Wanita yang diajak bicara itu tertawa sumbang. "Bukan Alin, jika menyerah secepat itu."

"Kurang ajar!"

**