Alea mengangkat teflonnya, lalu membawanya ke meja makan. Dia menuangkan mie carbonaranya pada piring flat yang cukup lebar. Senyum kecil pun terbit melihat Kenneth yang menarik piringnya agar lebih mendekat padanya.
Dia kembali menuangkan sisanya pada piring miliknya, lalu menyimpan teflonnya di wastafel. Kakinya kemudian bergerak lagi untuk duduk di meja yang berhadapan dengan Kenneth.
"Merasa lebih baik?" tanya Alea. Dia mengambil dua buah sendok dan dua buah garpu. Menaruhnya di piring Kenneth juga di piringnya.
Alea memiringkan kepala. "Maaf," ujarnya lagi. Alea menunduk, entah mengapa semua rasa bersalahnya seakan ditampung oleh Alea.
Tangan kanan Kenneth mulai bergerak, mengambil sendok dan mulai memainkan sendoknya dengan mienya. Tatapan Kenneth datar, mungkin rasa sakit ditambah perih itu belum hilang total.
"Aku tahu Felix salah, tapi rasanya mustahil jika dia mengucapkan kata 'maaf' padamu. Untuk itu aku mewakili Felix lewat maafku," jelas Alea.
Tangan Alea maju, memegang tangan Kenneth yang menggenggam sendok. Lalu tangan Alea menggerakan tangan Kenneth untuk menyendok sesuap mienya, kemudian menyuapkannya pada mulut Kenneth.
"Dimakan, kalau mau cepat pulih." Alea membuang napasnya dengan cepat, dia kembali menyendok mienya dan menyuapkannya pada Kenneth.
"Bagian mana yang masih sakit?"
Kenneth menggeleng kecil, lukanya di leher membuat dirinya kesulitan mengangguk dan menggeleng. Namun, lidah Kenneth rasanya masih kelu untuk bicara.
"Kamu di sini saja dulu, biar aku tanggung jawab rawat kamu," pinta Alea. Dia mengusap punggung tangan Kenneth dengan gerakan lamban. "Ya?" tanyanya lagi.
"Enggak," tolak Kenneth.
Alea memutar bola matanya, lalu tangannya kini dia tarik lagi. Namun, saat tangan Alea ingin menggapai sendok, tangannya diraih Kenneth lagi.
Alea mengerutkan dahinya.
Kenneth yang saat itu paham kini membuka suara lagi. "Usap lagi."
Alea menahan senyumnya. "Usap saja sendiri, aku mau makan!" elaknya.
Kenneth mencebikkan bibirnya dengan kesal. "Aku juga mau makan." Kaki Kenneth tanpa sadar menendang udara.
Alea terkekeh kecil. Kemudian berdiri dan melangkah memutari meja makan. Dia duduk di samping Kenneth sambil memegang piring dan sendok milik Kenneth.
"Sekalian, ya?" Alea menyendok lagi, lalu mengarahkan pada mulut Kenneth. Seketika Kenneth sempat membeku, tapi setelahnya dia hanya pasrah menerima perlakuan manis dari Alea yang di luar dugaannya.
Alea juga memakan mienya sendiri. Dia tampak serius melilitkan mienya pada garpu. Tanpa sadar Kenneth memperhatikan Alea dengan dalam, bahkan hampir tak berkedip.
Lalu, saat Alea membuka mulutnya dan memasukkan garpunya ke dalam mulut, saat itu juga Kenneth memutuskan pandangannya. Dia memilih untuk menoleh ke arah lain dengan cepat. "ARGH! ASRRR—"
"KENNETH!"
Gerakan tengkuknya yang cukup cepat membuat Kenneth kembali meringis. "Kamu nakal banget, sih!!" gemas Alea. Kini Alea berdiri lagi dan melangkah ke sisi lain Kenneth. Dia memperhatikan leher Kenneth yang kembali mengeluarkan darah.
Alea tanpa sadar ikut merintih melihat, ngilu. "Itu pasti sangat sakit." Alea menggigit lidahnya dengan kencang, lukanya kembali basah dan Alea terlihat panik kembali.
"Kenneth, kamu lebih baik ke rumah sakit," saran Alea.
"Enggak, sebentar lagi sembuh—hahss." Kenneth menggertakkan tangan kanannya yang tak luka, mengelus lehernya dan kini tangannya penuh dengan darah.
"Ini hanya luka kecil," sahut Kenneth.
Alea memukul meja makannya cukup kuat. "Luka kecil kaubilang?! Lihat! Tanganmu bahkan penuh darah seperti itu!" sergah Alea, "kupinjam ponselmu!"
Alea merogoh saku jaket Kenneth, lalu dengan gegabah dia menelpon seseorang. Mungkin ambulans? Kenneth yang melihatnya hanya membuang napas pasrah.
"Alea, kamu berlebihan."
**
Alea menggerakkan kakinya yang menggantung. Apakah dia masih sangat pendek sehingga ujung kakinya tak menyentuh tanah ketika duduk di kursi taman?
Sambil merasakan semilir angin yang menerpa wajahnya, Alea memejamkan matanya. Dia merasakan bahwa rambutnya beterbangan karena angin yang cukup besar.
Karena dokter bilang akan sedikit lama menangani Kenneth, Alea memilih untuk ke taman. Sungguh, sebenarnya sangat tidak baik seorang gadis duduk di tengah taman rumah sakit, apalagi sekarang sudah malam.
"Ekhm!"
Alea membuka satu matanya dan yang lainnya masih terpejam. Hanya untuk mengintip siapa tadi yang berdeham padanya. Namun, tak lama setelahnya Alea membuka kedua matanya lebar-lebar.
"Felix?!"
Alea kembali melotot saat Felix menarik rambutnya dengan brutal. Tentu itu membuat Alea meringis kesakitan, tapi sebisa mungkin Alea tidak berteriak.
"Ini sakit, argghhh!" Alea dibawa ke sudut ruangan yang sepi, lalu Felix mengapitnya dengan kedua tangan yang mengunci pergerakan Alea.
Felix menggeram serak, lalu lehernya bergerak tiba-tiba sampai tulangnya berbunyi 'kletek' seakan mau patah. "Tidak ada yang mengizinkanmu berkeliaran di rumah sakit ini, gadis kecil," sergah Felix dengan suara beratnya.
Alea berusaha memberontak, melepaskan kedua tangan Felix yang menguncinya. "Aku tidak butuh izinmu!" teriaknya, membalas perkataan Felix.
Felix menyeringai seram. "Sudah berani bertindak?" racau Felix, "tanpa sepengetahuanku pula."
Dengan gerakan kilat Felix menggendong Alea, tatapan matanya tajam menghunus ke depan. Gendongannya seperti seorang kuli bangunan yang menggendong sekarung semen. Ya, Alea bagaikan sekarung semen saat itu.
Tentu, Alea tidak tinggal diam. Kakinya terus bergerak memberontak, menendang-nendang perut Felix, tapi tak mengindahkan apa-apa. Kedua tangannya pun memukuli punggung Felix.
"Diamlah, atau akan kujatuhkan kau di sini!" ancam Felix. Alea tak peduli, dia menggigit bahu Felix sekuat tenaga.
"Anak nakal!" cergah Felix, gigi-gigi Alea tidak berasa. Kulitnya bagaikan kulit badak, dan gigi Alea seperti silikon yang tak terasa sakit sedikit pun.
Felix menjatuhkan Alea di mobilnya. Kemudian dia mengunci pintu mobilnya dan langsung pergi ke kursi kemudi.
"Kau jangan dekat-dekat Kenneth itu lagi!" larang Felix dengan tajam.
Alea yang kini sedang membenarkan posisi duduknya menoleh cepat. Dia melotot marah. "Semuanya terserah padaku! Kau—"
"Diam! Atau malam ini kegadisanmu akan kurenggut paksa!" Felix menancap gas dan menjalankan mobilnya dengan kecepatan tinggi.
Alea tampak tertawa renyah. "Setelah itu? Kau akan membuangku?! Iya kan? Bajingan!" balas Alea, dia menendang kursi kemudi dengan kakinya.
Felix terlihat menyeringai. "Seharusnya permainanku seperti itu. Namun, tidak berlaku padamu, bitch."
"Bunuh aku saja!"
Felix berdecak. "Tunggu tanggal mainnya, sayang," bisik Felix, dengan suaranya yang kecil. Tentu, jika itu yang gadisnya mau, Felix akan menurutinya.
Meski Alea nantinya akan menjadi istrinya.
Setelah sampai, Felix membukakan pintu mobilnya secara kesetanan. Dia menggendong Alea kembali ala bridal style dan langsung membawanya ke rumahnya. Benar, rumahnya.
Bukan lagi ke rumah Alea.
Anggap saja Felix menculik Alea.
Dia membawa Alea ke lantai atas dengan gusar. Tak butuh waktu lama, Felix sampai di kamarnya. Luas, berdominan warna abu.
Felix membanting Alea di ranjang, tanpa membuang waktu lagi, Felix segera menerjangnya.
Tidak, Felix tidak ingin lagi melihat gadisnya bertindak.
Cukup, gadisnya perlu diberi pelajaran.
Felix langsung bermain dengan buah dada Alea, sekuat tenaga Alea menahannya, menendang segala yang bisa dia tendang. Mendorong dada Felix untuk menjauh.
"Aku sedang emosi, jalang. Jangan coba menolakku!"
"FELIX! KAU GILA!"
"DIAM! ATAU AKU AKAN KASAR PADAMU!"
Felix menegakkan tubuhnya kembali dengan cepat, semuanya yang menyangkut di tubuh proporsionalnya dia lepas. Kemeja, jas, dasi, ikat pinggang, dan ini saatnya.
Saatnya kegagahannya keluar untuk melihat dunia.