"Kau tidak akan kenyang jika makanannya hanya kaulihat saja."
Alea kembali menegang, makan malamnya sangat tidak menenangkan jantungnya. Tidak ada suara selain dentingan sendok garpu yang bergesekan dengan piring, dan juga suara Felix yang terus mencerewetinya.
Berbeda dengan Felix yang menikmati nasi goreng buatannya, Alea malah sama sekali tak menikmati nasi gorengnya. Jantungnya ingin lari dari tempatnya.
Tatapan mata Felix yang tajam menghunus bagai elang menatapnya. Beberapa kali Alea mengerlingkan pandangannya ke arah lain menghindari manik mata hitam legam dari Felix.
Seratus kali Alea mencoba menghindari mata Felix, seratus kali juga Alea tak bisa menghindarinya. Sejak tadi siang, perlakuan Felix kepadanya menjadi berubah 180 derajat.
Ponselnya yang sudah dia banting ke lantai, kini telah dibuang Felix begitu saja. Deretan detik yang terus berjalan, menyeret Alea sampai ke sepuluh menit kemudian, namun makanannya belum juga surut.
"Orangtuamu kemana?"
Alea memejamkan matanya erat, berusaha bersabar karena Felix terus saja kepo dengan dirinya. Karena kejadian tadi siang pula, Alea menjadi sedikit emosi dengan Felix.
"Kau mendengarkanku bicara tidak?"
Alea membuka matanya, lalu bola matanya tepat bertubrukan dengan bola mata Felix.
Alea mengangguk.
"Mengapa tidak menjawabnya?"
Alea membuang napas panjang, lalu mengacak nasi gorengnya dengan asal. Wajahnya menunduk hanya melihat ke arah piringnya yang masih penuh.
"Orangtuamu akan pulang malam ini?"
Alea menghiraukannya lagi, dia memilih mengambil segelas air putih yang sudah tersedia di meja makan.
Mata Alea berpijar mengikuti langkah Felix yang berjalan menuju kitchen set dan mencari sesuatu di sana. Alea berusaha tak acuh, tapi tak bisa. Matanya tetap memperhatikan gerak-gerik Felix.
"Dimana kau simpan camilanmu yang waktu itu? Aku menginginkannya lagi," pinta Felix, membuka laci-laci di kitchen set nya.
Tak mendengarkan jawaban dari Alea, Felix akhirnya menutup semua laci itu kembali. Dia berbalik badan dan melihat Alea yang juga sedang melihatnya.
"Orangtuamu akan pulang malam ini?"
"Alea, aku butuh jawabanmu."
"Kesabaranku bisa habis jika kau terus berdiam diri begini," ucap Felix sambil menghela napas. Dia berjalan dan duduk di kursi makan samping Alea.
"Kau tidak tuli 'kan? Tidak bisu juga?"
Alea menggeleng.
"Kalau begitu orangtuamu--"
"TIDAK! TIDAK, FELIX," jawab Alea berteriak, "orangtuaku tidak pulang malam ini, sekarang berhentilah bicara," lanjut Alea emosi.
Felix memiringkan kepalanya lalu tersenyum miring meremehkan. "Aku tidak akan berhenti bicara," tolak Felix.
"Bagus kalau orangtuamu tidak pulang malam ini," ucap Felix lagi. Dia menopang dagunya dengan tangan dan sikunya bertumpu di atas meja makan.
Alea segera membesarkan matanya mendengar sahutan Felix, sepertinya dia salah menjawab. Alea melirik Felix yang duduk di sampingnya. "Bagaimana jika orangtuaku pulang malam ini?" sergah Alea, berusaha menghilangkan jawabannya yang telah dia ucapkan tadi secara spontan.
"Tidak akan mengubah apapun, mau orangtuamu pulang, atau tidak."
Alea membuang wajahnya kembali. Dia semakin mengacak-acak nasi gorengnya.
"Kenapa tidak dimakan? Mau aku bantu habiskan?" tawar Felix dengan suara seraknya yang menggoda Alea.
Napas Alea tersekat saat Felix menggeser kursinya untuk lebih dekat kepadanya. Dia melihat Felix yang menyendok nasi goreng miliknya dengan lahap.
Sampai nasi goreng itu habis dan tidak menyisakan apapun. Alea menggeram.
"Kau masih lapar?" tanya Felix. Dia memajukan wajahnya agar lebih dekat dengan Alea.
Alea menautkan alisnya, bagaimana tidak lapar jika dia belum makan dan makanannya malah dihabiskan Felix, jika saja sedari tadi Felix tak memperhatikannya selama makan malam, Alea bisa saja menambah satu porsi nasi gorengnya dan makan dengan nikmat.
Alea mengangguk. "Lapar," sahutnya.
Felix menyeringai, lalu dia membuka mulutnya dan menampilkan nasi gorengnya yang belum ditelan tetapi sudah dikunyah.
"Ambil dari mulutku lagi, nih!" sela Felix masih membuka mulutnya lebar.
Alea bergidik ngeri, ingin rasanya dia menampar wajah tak bersalah Felix yang benar-benar membuatnya emosi. "KAU GILA?!" teriak Alea lagi, sudah tak dapat menahan mulutnya untuk berkata kasar.
Felix lanjut mengunyah nasi goreng dalam mulutnya, lalu mengedikkan bahunya tak acuh.
"Tinggal masukan lidahmu ke dalam mulutku, lalu mainkan sedikit lidahmu dengan lidahku, menukar saliva kita berdua, lalu pindahkan nasi ini ke mulutmu bersama saliva kita yang telah tercampur, apa itu susah?" elak Felix, dia kembali menjauhkan wajahnya dari Alea.
Alea melirik Felix dengan horor, lalu dia mengambil gelasnya lagi dan meminum air putihnya yang masih bersisa sedikit.
Cup.
Alea mendelik geli saat merasakan kecupan di pipi kanannya. "Apa kau perlu kuajarkan dulu cara mengambil makanan dari mulutku, hah?!"
Alea mematung di sana dengan tangannya yang mengelus pipinya tepat dimana bibir Felix tertempel. Napasnya tersengat, atmosfer terasa menjauhinya.
Alea menggerakkan bola matanya ke samping dan tak menemukan ada Felix di sana. Dia merutuki dirinya sendiri yang terlalu jujur jika keluarganya tak pulang malam ini.
**
Alea memeluk kakinya yang tertekuk di atas tempat tidur. Dia menatap tembok dengan alisnya yang terpaut membuat keningnya berkerut. Sebenarnya apa maunya Felix, sih?! Mengapa kehadirannya yang tiba-tiba langsung mengacak skenario hidupnya.
"Memikirkan apa?"
Alea menoleh cepat, lagi-lagi dia melihat Felix yang berdiri dengan tangannya yang masih memegang kenop pintu kamarnya. Tak menunggu lama, Felix langsung melanjutkan langkahnya menuju tempat tidur Alea.
"Memikirkanku? Kenneth? Atau pria lain, hah?" tebak Felix, berbicara sendiri untuk menyindir Alea.
"Aku tak memikirkan siapa-siapa, huh!" sewot Alea sinis.
Felix terkekeh kecil. Dia merebahkan tubuhnya di samping Alea yang duduk di kasur. Sambil rebahan, Felix sengaja meluruskan tangan kirinya ke samping agar lengannya menjadi bantal saat nanti Alea tidur.
"Aku tidak mau tidur denganmu!" omel Alea saat menyadari bahwa kepala Felix telah menyentuh bantalnya.
Tapi, Felix seakan tidak peduli, dia malah memejamkan matanya berusaha untuk tertidur di sana.
Dengan jahil, tangan kirinya yang lurus ke samping memegang pinggang Alea bagian kiri juga. Beruntung Felix, malam ini Alea hanya memakai tank top crop seperut sehingga pinggangnya dapat mudah dia sentuh.
"Felix! Jangan usil!"
Beberapa kali jari Felix bermain di pinggang Alea, sukses membuat Alea kegelian. Dia mengambil satu bantal lainnya untuk menutupi pahanya karena malam ini juga Alea hanya memakai hot pants yang mengekspos jelas paha putihnya.
Alea menengok ke belakang, matanya lagi-lagi menangkap Felix yang nyengir tanpa dosa, dengan gemas, tangan Felix mencengkeram pinggang Alea membuat Alea mendesis.
"FELIX! HENTIKAN ITU!" sergah Alea.
"Keluar dari kamarku, aku ingin tidur sendiri!"
Satu alis Felix terangkat. "Hah? Apa Alea? Mau ditemani tidurnya? Ini 'kan sudah kutemani," sahut Felix yang jelas-jelas jauh dari apa yang Alea katakan.
"TIDAK, FELIX!!"
"Tidak perlu merengek begitu kalau mau ditemani tidurnya. Sini, rebahan!" ajak Felix dengan maksud tersirat.
"Jangan begini, Felix! Kau pasti sudah berpikiran mesum!"
"Kau benar, Alea. Tebakanmu tepat, pintar sekali," puji Felix dengan seringainya.
"Sudah ah, sana keluar! Aku ngantuk!"
"Oh, ngantuk?" Felix mengangkat tangan kanannya, lalu mendorong kening Alea agar terjatuh. Dalam sekali dorongan, Alea sudah terbaring di samping Felix. Sesuai rencana, lengan Felix menjadi bantal bagi Alea.
"Felix! Felix, Felix! Kita tidak boleh seperti ini!" panik Alea berusaha mendudukkan dirinya kembali, tapi tangan Felix masih berada di keningnya membuat Alea tak bisa mengangkat kepalanya.
"Apa? Mau dipeluk?"
Tubuh Alea kembali menegang dan bulu kuduknya berdiri lagi dengan hebat saat merasakan Felix memeluknya dengan kuat serta erat.
"Tidur, calon istriku."