Bagaskara menyerobot masuk lewat jendela yang kordennya baru saja digeser. Membuat bayang-bayang yang memberi kesan aesthetic di kamar gadis yang ranjangnya diisi dua orang berbeda gender itu.
Secerah mentari pagi itu, secerah itu juga hati Felix. Dia menatap Alea yang masih berpetualang dalam alam mimpi.
Napas Felix berembus kencang merasakan angin yang keluar dari AC yang terasa dingin. Jari-jari kakinya bergerak merasakan lantainya yang ikut dingin.
Tentu pemandangan pagi yang sangat indah bagi Felix, lekukan wajah Alea yang damai saat tidur, justru membuat Felix terangsang. Felix menyibak selimut yang dipakai Alea sampai terjatuh dari ranjang. Dia memeluk gadisnya, mengganti kehangatan selimut dengan dekapannya.
Felix mengusap pipi Alea yang halus tanpa celah, senyum kecil pun terbit di wajahnya. Beberapa kali Felix menelan salivanya karena matanya melirik ke leher jenjang Alea yang terekspos jelas. Bola matanya terus turun, menelusuri dada Alea yang bergerak ke atas dan ke bawah sesuai ritme napasnya. Lagi, Felix hanya bisa menjilat bibirnya yang kering.
Tatapan mata Felix seakan menelanjangi Alea, bibirnya seakan mendamba kulit Alea yang halus putih bersih bagai nirmala. Ingin sekali Felix meraup dan memasukkan bibir mungil Alea ke dalam bibirnya dan saling bergulat lidah, tapi Felix masih menahannya.
"Pagi, darling!" sapa Felix sat menyadari Alea yang mulai bergerak gelisah. Perlahan mata Alea terbuka, mungkin suara serak Felix yang mendukung Alea untuk bangun.
Alea berdeham, lalu mengerutkan keningnya. Matanya masih menyipit untuk menyesuaikan dengan penerangan di kamarnya.
"Felix!" Saat mata Alea terbuka sepenuhnya, dia terkejut menyadari jaraknya dengan Felix sangat dekat, bisa saja hidung Felix yang mancung menyentuh wajahnya.
Bulu kuduk Alea meremang merasakan ada lilitan di pinggangnya yang semakin kencang.
Felix tersenyum miring melihat Alea terkejut dengan perlakuannya. Dengan sengaja, Felix semakin menarik pinggang Alea agar jaraknya semakin terpangkas. Dan benar, bayangan paling buruk Alea saat itu terjadi, hidung Felix menelusuri setiap lekukan wajahnya.
"Awas!" sergah Alea. Dia mencoba bangun, tapi tangan Felix di pinggangnya terus menekannya membuat Alea tak bisa bangun. "Felix aku harus sekolah," ucap Alea berusaha menjauhkan wajahnya dari Felix yang tengah menyentuh rahang bawahnya.
"Aku tau."
Alea membuang napas kesal.
"Di sini dulu sebentar, aku masih nyaman," elak Felix, kini satu tangannya mendorong tengkuk Alea agar kembali mendekat padanya.
Alea mendengus, lalu memutar kepalanya ke arah lain, bukan ke arah Felix.
Felix berdeham serak. "Lihat aku, Alea," pinta Felix, kini tangannya kembali memegang pipi Alea dan mengubah wajahnya Alea menjadi menghadapnya.
Tanpa dosa, Felix juga mengubah posisi Alea menjadi miring, Felix yang satu tangannya masih di pinggang Alea pun berubah posisi jadi miring. Kini, satu kaki Felix naik sampai betisnya ada di paha Alea seakan Alea adalah guling yang akan dipakainya kembali untuk tidur.
"Felix, bisa hentikan ini?" geram Alea, dia mendorong dada Felix agar menjauh, tapi bukan Felix namanya jika menurut.
Felix malah mengendus di leher Alea. "Tidak bisa, sayang. Saat ini kau terlalu menggoda untuk disia-siakan," balas Felix, dia mulai mengangkat kepalanya, dengan cepat Felix menjilati belakang telinga Alea hingga daun telinganya.
Sekuat tenaga Alea menahan untuk tidak mendesah saat lidah Felix menelusuri ke leher Alea dan memberikan kecupan-kecupan serta gigitan kecil penuh kehati-hatian dari Felix.
**
"Selangkah lagi kau melangkahkan kakimu, bayar hukumannya nanti malam," tekan Felix, matanya mengintimidasi Alea yang baru saja mandi dan berjalan menuju lemari untuk mengambil seragam sekolahnya.
Alea berdecak. "Felix, aku tak mau main-main!" teriak Alea, kini dia melangkah tanpa mempedulikan ancaman Felix.
Tanpa sadar, Felix tersenyum miring penuh kemenangan. Dia bersandar pada kepala ranjang Alea dan masih melihat Alea dengan tatapan intimidasi. "Aku juga tak pernah main-main."
Napas Alea memburu karena emosi, dia melirik Felix dengan ekor matanya. Melihat Felix dengan sinis yang tengah tersenyum puas.
"Apalagi soal ancamanku. Tidak pernah, dan tidak akan pernah main-main."
Alea menengok cepat ke arah Felix, tangannya yang memegang hanger seragamnya seketika menguat, mencengkram hanger itu mendengar penuturan dengan suara serak Felix yang menggoda.
"Gila! Aku mau berangkat sekolah! Apa kau memiliki otak yang masih berfungsi?" sindir Alea, berusaha tak acuh dengan apa yang Felix katakan. Alea tidak sebodoh itu, malam nanti dia akan mengunci pintu kamarnya agar Felix tak mengganggu tidurnya lagi.
Lagipula, sebenarnya siapa Felix? Apa tujuan Felix mengenal Alea? Sampai sekarang semuanya masih abu-abu bagi Alea, Felix orang yang tiba-tiba menculiknya di sekolah dan membawanya ke suatu tempat lalu mengaku-ngaku calon suaminya?
"Kau tahu, Felix? Aku sangat--"
"Menikmati kehadiranku di sini?" potong Felix sekaligus menebak dengan percaya diri diambang batas wajar.
Satu alis Alea terangkat meremehkan. "Yang ada kau menggangguku!" elak Alea, dia mulai mengambil pakaian dalamnya dan sontak Felix bisa tau apa warna pakaian dalam yang Alea ingin gunakan saat itu.
"Warna hitam akan mencetak jelas kedua belahan dadamu di seragam putih. Ganti," ucap Felix. Dia memperhatikan gerak-gerik Alea yang sama sekali tak mengindahkan ucapannya.
"Dadamu bisa terekspos, Alea!"
"Terserah aku, bukan urusanmu!"
Felix menggeram, dia mulai menarik punggungnya yang tersandar lalu menjatuhkan satu per satu kakinya ke lantai. Sorot mata elang penuh murka kini mendominasi wajah Felix.
"Jangan salahkan aku jika nanti malam aku bertindak lebih, Alea." Felix berjalan mendekati Alea, lalu memegang handuk yang masih menempel di tubuh Alea.
"Mau apa kau?!" omel Alea saat merasakan bahwa Felix menarik-narik handuknya.
"Terserah aku, bukan urusanmu!" balas Felix mengulangi apa kata Alea tadi.
"Kau gila! Apakah kau tahu nomor rumah sakit jiwa terdekat? Aku ingin telepon sekarang," ungkap Alea, tangan Felix yang ada di handuknya berusaha Alea kelas.
"Kau sendiri bilang aku gila, sekarang kau pikir, apakah otakku berfungsi jika aku gila?"
Alea terkekeh sumbang. "Dari dulu, dari awal kita bertemu otakmu sudah miring!" hina Alea, kini dia menepis tangan Felix dengan memukul punggung tangannya.
Felix membuang napas kasar. "Kau!!" geramnya. "Kenapa dipukul?! Seharusnya kau cium punggung tanganku seperti seorang istri yang menghormati suaminya!"
Alea memutar bola matanya jengah. "Aku bukan istrimu! Lagipula buat apa aku lakukan itu?"
Felix terlihat berpikir. "Tak ada gunanya, sih. Lagipula apa rasanya ciuman hanya di tangan, yang ada rasanya itu di sini." Felix mengulurkan tangannya di bibir Alea yang warnanya merah muda. Ditambah Alea yang baru saja selesai mandi membuat bibirnya masih basah.
Felix sedikit mencubitnya, lalu tersenyum licik. "Aku cium, ya? Mau coba rasa bibir kamu," pinta Felix tanpa dosa. Seakan permintaannya adalah hal wajar.
Ya mungkin wajar bagi Felix.
Tapi tidak bagi Alea.
"Emh, aku minta sedikit kuluman dan gigitan kecil juga, ya?" pintanya lagi. Matanya kini sayu menatap Alea.
"FELIX GILAAA!!"
"ARGH, LAMA!" kesal Felix. Dia segera menarik tengkuk Alea dan menyatukan bibirnya dengan bibir Alea yang basah sekaligus lembut. Ciuman yang mendamba namun lama-kelamaan Felix semakin brutal seakan meminta balasan dari lawannya.
**