Kondisiku sudah mulai membaik. Karena dokter yang menanganiku bilang, aku harus tenang. Tidak boleh banyak pikiran. Jika tidak, itu hanya mampu melemahkan daya tahan tubuhku saja. Ya. Baiklah. Aku kuat. Aku kuat.
Kini. Seharusnya aku di opname. Namun aku bersikeras agar tetap berada di sini. Agar dapat menunggu tindakan operasi beliau di ruang tunggu.
Ya sudah, kalau begitu caranya, Emanuel bisa apa. Dia tak bisa menolak. Karena bukan haknya memaksakan kehendak agar Helin tetap di bilik dan bersabar menjalani pengobatan yang maksimal. Dia hanya mampu memberikan yang terbaik bagi Helin saat ini. Baiklah. Gue harus pamit sebentar. Karena gue harus bekerja, melayani pasien-pasien di poliklinik. Namun gue tak usah khawatirkan keberadaan Helin. Kini, dia sedang ditemani oleh perawat-perawat dibawah naungan gue, yang sangat cekatan, baik hati dan murah hati dibandingkan yang lain, menurut gue. "Jaga Helin baik-baik, saya pergi dulu!"
Kami sebagai perawat di rumah sakit ini, telah bekerja selama bertahun-tahun, dan baru kali ini kami merasa terkesan. Mustahil, seorang presdir selayaknya Emanuel bisa memperlakukan kami seperti orang-orang normal pada umumnya, tidak lagi bak seorang perempuan jalang. Kami terharu. "Terima kasih, nona Liu He Lin… Kami sangat berterima kasih kepada anda, presdir kami kini telah berubah… Dan itu berkat anda… Terima kasih banyak, nona… Kami sangat berhutang budi…"
Aku terkejut. Kenapa dua orang ini begitu terharu? Hingga secengeng ini dihadapanku? Salah satu diantara mereka, bahkan memelukku tiada henti mengucapkan syukur. Yang satunya lagi, tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih.
"Sejak dua tahun yang lalu, pak Emanuel berubah menjadi sosok yang berbeda dari sebelumnya. Beliau menjadi lebih beringas. Bahkan sangat tidak manusiawi. Senangnya hura-hura, sering membawa perempuan jalang ke dalam kantornya. Yang paling menyebalkan adalah, beliau sering kali bertingkah genit kepada kami. Jika saja kami menolak atau memberontak, beliau pasti akan mengancam kami."
"Itu namanya pelecehan seksual! Seharusnya, kalian tidak boleh takut! Bahkan kalau bisa, ancam dia balik!"
"Kami takut, akan kehilangan pekerjaan. Bukan itu saja, beliau pun selalu mengancam kami harus ganti rugi puluhan juta rupiah, jika keinginannya tidak terpenuhi. Atau jika tidak, kami akan dilaporkan kepada pihak polisi…"
"Ish! Dasar! Mafia! Kalian tenang saja, aku yang akan pasang badan untuk kalian! Kalau perlu, dia yang harus mengganti rugi atas prilakunya yang menyebalkan itu!"
"Jangan, nona… Kami tidak ingin membebani anda."
"Tidak apa! Dia memang pantas diberi pelajaran!"
Salah satu diantara mereka, kembali terkesima. "Nona, kau sungguh hebat!"
"Kita sebagai perempuan, memang harus bersikap tegas terhadap semua lelaki yang ada di muka bumi ini, apalagi pria bedebah macam Emanuel! Pria macam itu, memang senang menerkam mangsanya jika kita tidak punya prinsip. Lemah. Terutama, jika sudah berkaitan soal duit. Benar? Kalau saja kita berani ambil sikap, dia pasti akan berpikir seribu kali untuk melecehkan kita! Paham!"
"Paham!"
"Bolehkah saya memeluk anda sekali lagi, nona?"
"Dengan senang hati!" Aku melebarkan kedua tanganku, siap menerima pelukan hangat untuk mereka berdua. "Hug…"
"Semoga, hubungan anda dengan presdir langgeng…"
"Ish, kalian ini! Tidak adakah doa lain yang lebih indah untuk di dengar?"
"Semoga kalian berbahagia selalu, nona…"
"Diberikan kemudahan dalam menjalin hubungan. Hingga sampai ke pelaminan!"
"Amin!"
Aku mendumel dalam hati. Mereka tidak tahu saja, hubungan ini hanyalah sebatas tameng. Karena mana mungkin, aku mau menikah dengan mafia macam pria brengsek itu! Aku pastikan, tidak akan mungkin pernikahan itu terjadi, camkan itu baik-baik! Atau sama saja aku menjerumuskan diri ke lubang hitam. Apa bedanya aku dengan perempuan jalang lainnya, jika itu benar-benar nyata.
***
Cukup tiga jam gue bersabar di poliklinik. Selesai sudah. Gue bisa bernafas dengan lega. Sambil sesekali merenggangkan tubuh.
"Dean."
"Ya, El?"
Perempuan jalang itu. Selalu saja berulah dalam kondisi yang tepat. Dia bertingkah begitu menggoda, di ruang praktek. Di saat sepi. Tidak ada siapa pun di sini. Hanya antara gue dan asisten pribadi gue ini. Dia dengan lihainya mengunci pintu rapat-rapat, lalu mulai mendekat. Duduk dihadapan gue, sambil membuka kancing satu persatu. Tangannya mulai menggerayang. Shit!
Dulu, gue sangat menikmati moment yang paling ditunggu-tunggu ini. Setelah pekerjaan kami selesai, sambil melepas penat. Namun please, El. Tidak! Jangan lakukan! Ingat Liu He Lin!
Namun. Persetan dengan gadis menyebalkan itu. I don't care! Gue pun tak kuasa menahan desah ketika perempuan jalang ini jatuh di dalam pelukan gue. Sambil mengecup bibir gue, "Liu He Lin…"
Shit! Bagaimana bisa di saat gue sedang bercinta dengan orang lain, hanya kau seorang yang terus terngiang di benakku, Lin! What the hell! Mendadak, gue ingat Liu Da Lan. Betul juga. Beliau sedang berjuang antara hidup dan mati di ruangan operasi. Dengan tegas, Emanuel pun melepaskan diri dari Dean. Merapihkan penampilan gue. Sialnya, ada bekas noda bibir merah si jalang itu, di kemeja bagian atas. Untung saja di ruangan ini ada beberapa kemeja lain yang bisa di ganti tukar. Gue pun bergegas. Namun Dean tak mau beranjak. "STOP IT! DEAN!!" Gue murka. "LOE ANGKAT KAKI DARI SINI SEKARANG JUGA, LOE DI PECAT!"
***
"Liu He Lin!"
"Presdir."
Emanuel memberikan isyarat agar kami berdua pergi, agar segera meninggalkan beliau dengan Liu He Lin. Kami pun pamit. Kini, hanya ada antara kau dan aku, nona Liu. Wait. Jika diperhatikan, gadis itu, kenapa makin hari semakin cantik mempesona? Walaupun sederhana apa adanya, penampilannya sangat baik. Auranya makin terpancar, walaupun tidak berias. Tuhan, godaan macam apa ini?
Tidak ada sepatah kata pun yang terucap di antara kami berdua. Hening. Menit berganti menit. Jam berganti jam. Dia tetap diam. Hingga sebuah telepon berdering, begitu mengejutkan. Dari Bryn, orang kepercayaan Adhira. Biasanya, beliau akan menghubungi gue jika ada masalah yang berarti. Gue pun menjauh, untuk menerima telepon.
Ish. Sebal. Kenapa tidak sedari tadi saja dia enyah dariku, hah? Sehingga aku dapat bernafas dengan leluasa. Fiuh! Leganya.
"Halo! Bryn! Ada masalah apa!"
"Tuan muda. Maaf menganggu, apakah ada waktu luang untuk bertemu? Berdua saja! Hanya anda dan saya. Karena ada hal penting yang ingin saya sampaikan. Ini ada kaitannya dengan nona Liu He Lin."
Emanuel tersentak. Bagaimana bisa Bryn tahu siapa nama gadis incarannya itu? Gue pun mengendap semakin menjauh. Walaupun begitu, gue masih bisa memantau Helin dari kejauhan.
"Ya! Apa yang terjadi, Bryn!"
"Nyonya Adhira baru saja memberikan perintah kepada saya, untuk segera mencari tahu informasi tentang gadis bernama Liu He Lin. Bagaimana? Apakah tuan ada waktu untuk kita bertemu?"
"Tidak bisa sekarang… Saya tidak bisa meninggalkan dia sendirian di sini…"
"Dia? Nona Liu He Lin? Anda sedang bersama beliau?"
"Ya!"
"Baiklah, saya akan mengirimkan dokumen-dokumen penting itu, kepada anda sekarang juga."
"Ide yang bagus!"
"Saya akan menyiapkannya dengan segera."
"Baik! Terima kasih!"
***
Satu jam berikutnya, kami masih setia menunggu. Masih dalam keheningan. Gue mempergoki Helin, menguap beberapa kali. Memang butuh keberanian lebih untuk menegurnya. Namun pada akhirnya, gue memilih untuk diam. Tapi. Tidak. Ini tidak benar. Helin pasti lelah. Dia butuh istirahat. Maka, gue mengahadapnya. "Lin. Kau lelah?"
Helin melengos. "Itu bukan urusan loe!"
"Lebih baik aku antar kau ke bilik. Karena sepertinya, tindakan operasi di dalam sana masih sangatlah lama."
"Apa pun yang terjadi, gue akan tetap di sini. Sampai lampu itu berhenti menyala. Paham loe!"
"Sudahlah, Lin. Jangan keras kepala!"
"Lebih baik, loe yang pergi dari sini!"
"Di sini tidak ada siapa-siapa selain kita berdua…"
"Suruh Ghea dan Lulu kembali ke sini, untuk menemani gue!"
Sebuah notifikasi email masuk. Gue ingin sekali mengecek dokumen yang telah dikumpulkan Bryn tentang nona ini, dengan segera. Namun gue harus lebih bersabar ekstra, gue harus menemani gadis keras kepala ini, di sini.
"Loe sibuk, kan? Urus saja pekerjaan loe! Jangan sok-sokan belagak peduli sama gue! Lagipula, gue tidak butuh perhatian loe!"
"Hai, El!"
"Lorennt!"
"How are you!"
Gue melengos, ketika Lorennt ingin memeluk gue. Berusaha berjaga jarak. Karena gue tidak ingin Helin makin meradang. "I'm fine, thank you!"
"Holly shit! Bisa loe menghindar dari gue sekarang, hah!" Lorennt kemudian mendelik. "Siapa?"
"Bukan siapa-siapa…"
"Really?"
"What are you doing here?"
"Gue tadinya tuh, mau jenguk teman gue… Tapi sepertinya, gue kesasar deh. Loe bisa antar gue, kan?"
"Sorry. I can't."
Lorennt tersipu, lalu menepuk bahu Emanuel. Gemas rasanya. Baru kali ini, the king of playboy here, bersikap berjaga jarak seperti ini. Tidak mungkin kalau gadis itu hanyalah teman biasa. Sebal rasanya.
"It's okay, tuan. Saya bisa kembali ke bilik sendirian."
"Hei, nona!" Gue pun mengejar Helin yang menggerakan kursi rodanya sendirian menuju lift. "By the way, Rennt. Thank you so much."
"Thank you for what! Cepat kejar dia, nona loe itu pasti sedang terbakar cemburu… Go!"
Emanuel semuringah. "Bye!"
Astaga. Playboy kelas kakap idaman gue sudah bertobat rupanya. Memang ya, kalau sedang di mabuk asmara, sejuta repotnya. Good luck, El! By the way, ini ruangan apa? Hm. Ruangan… Operasi? Tuhan. Sekarang, gue harus ke mana agar bisa menemukan ruangan teman gue? Peta ini seharusnya memudahkan, bukannya malah menyusahkan. Ugh! Sebal! Ini berkat kau, El! Seharusnya loe buat rumah sakit itu, nggak perlu aneh-aneh bentuknya! Tapi ya sudahlah, nasi sudah menjadi bubur. Apa daya. Dia sudah memiliki tambatan hati lain, gue harus terima itu. Gue memperlambat langkah, mengikuti jejak Emanuel sampai keluar dari ruangan operasi. Setelah itu dia ke kiri, ya gue ke kanan saja. Gue harus move on sekarang. Dan harus relain elo. Bye, El! Kita berpisah sampai di sini saja! Long lasting ever! Lalu ada beberapa orang yang lewat. Gue pun bertanya kepada mereka, hingga menemukan bilik teman gue.
"Oh, itu di sana!"
"Di mana?"
"Lorong itu…"
"Benarkah!" Gue semuringah. "Thank you, om! Permisi!"
"Panggil saya, Sam!"
"Oh…" Kapan lagi gue ketemu cowok ganteng begini. Dengan mantap, gue membalas uluran tangan beliau. "Lorrentia"
"Senang berkenalan dengan anda."
"Sama-sama, om…"
"Sam!"
"Iya, Sam. Salam kenal…"
"Mau makan siang?"
"Makan siang bareng?"
"Ya…"
Dengan senang hati. Jodoh nggak ke mana. "Tapi maaf, saya harus ketemu teman saya dulu…"
"It's okay. Aku akan tunggu kamu di lobby. Boleh saya minta nomor telepon? Agar mudah dihubungi?"
Dengan senang hati.
***
Rumah Sakit ini memang megah sekali, dirancang khusus oleh arsitek ternama, karya anak bangsa. Dengan sentuhan modern, dan butuh peta tersendiri sebagai pemandu, agar para pengunjung tidak tersesat. Namun gue salut dengan Helin. Gue sedang berada di belakangnya, memperhatikannya dari belakang Jujur. Gue takjub. Dia benar-benar pintar. Memiliki daya ingat yang kuat. Bahkan letak biliknya pun, dia tahu tanpa bertanya.
"Ghea! Lulu!" Tegur Helin ketika sampai di dalam bilik. Aku lega. Untung saja ada mereka berdua. Aku jadi tidak terlalu canggung tersesat sendirian di rumah sakit ini. Sedangkan lihatlah, bedebah itu. Sedari tadi kerjaannya hanya mengintaiku saja. "Kalian ada di sini rupanya!"
"Nona…"
"Saya senang bisa bertemu dengan anda lagi…"
"Baiklah! Ghea, Lulu! Mulai detik ini, mereka lah yang akan merawatmu hingga dinyatakan pulih."
"Benarkah itu, presdir?"
"Ya!"
"Terima kasih, presdir."
"Sama-sama. Saya ada urusan sebentar, saya tinggal dulu…"
"Baik, pak."
"Bye!"
"Ish! Dia itu, sok sibuk banget sih."
"Nanti juga, kalau sudah selesai pekerjaannya, dia akan kembali ke sini, nona…" Ujar Ghea, sambil membantu Lulu membaringkan Helin di atas ranjang yang super canggih ini.
"Ngantuk ya, non?"
"Panggil saya nama saja!"
"Nggak ah, nggak sopan…"
"Kita kan seumuran. Sama saja!"
"Tidak-tidak. Saya lebih suka memanggil anda, nona. Itu lebih keren!"
"Ish! Kalian ini. Sama saja. Keras kepala! Ya sudah, terserah kalian saja!" Aku menguap. "Aku ngantuk sekali…"
"Tak apa tidur sebentar saja, nona. Istirahat. Supaya, setelah operasi tuan Da Lan selesai, anda sudah segar seperti sedia kala!"
"Ya… Tapi saya mau mengobrol lebih lama lagi dengan kalian, gimana dong?"
"Kalau memang sudah lelah sekali, jangan di paksa, non!"
Helin lagi-lagi menguap. "Begitu ya?"
"Iya… Tenang saja, non. Kami tidak akan ke mana-mana…"
"Baiklah… Hanya sebentar saja ya, tapi."
"Iya. Istirahatlah yang cukup."
"Tolong bangunkan aku jika orang tuaku sudah selesai tindakan."
"Oke!"
"Lin!"
Aku kesal. Dia lagi, dia lagi. Sudah selesai kerjanya, pak presdir terhormat? Aku pun tak menanggapi. Malas berhadapan dengannya. Jadi, pura-pura tidur saja.
"Oh. Sudah tertidur rupanya." Gue senang melihat kinerja dua orang perawat ini. Mereka sangat cekatan. Cepat penangannya. Dan tepat. Infusan pun sudah terpasang. Gue bisa merasa tenang sekarang. "Ghea. Lulu. Kerja yang bagus! Kalau begitu, setelah ini, setelah kondisi He Lin semakin membaik, kalian berdua punya tugas penting! Yaitu, merawat tuan Liu Da Lan secara ekslusif. Tak usah khawatirkan soal intensif! Gaji kalian akan naik lima kali lipat! Bagaimana?"
"Serius, pak presdir?"
"Kok tumben, baik banget?"
"Jangan berlebihan seperti itu! Ini berkat kinerja kalian yang baik."
"Terima kasih, banyak, presdir!"
"Terima kasih, presdir…"
"Sama-sama! Saya ke sini hanya ingin memastikan calon istri saya dalam kondisi baik. Sekarang, saya bisa tenang. Maka saya pamit, untuk menunggu proses tindakan Liu Da Lan di ruang operasi."
"Baik, pak presdir…"
"Bye!"
***
Ghe dan Lulu berdecak kagum. Tak henti-hentinya tersipu. "Calon istri?"
"Aku benar-benar tidak menyangka, presdir kita pada akhirnya akan melepas lajang!"
"Nona Liu, kau sangat beruntung!"
"Bukan-bukan, bukan begitu Ghea! Justru presdir kita lah, yang beruntung!"
"Kalian ini. Sebenarnya sedang membicarakan apa? Menyebalkan sekali…"
"Nona Liu? Kau sudah bangun?"
"Aku tidak bisa tidur kalau mendengar ocehan kalian saja, aku sudah merinding! Bisakah kalian antarkan aku ke ruang operasi?"
"Jangan sekarang, nona."
"Iya, nona kan masih butuh istirahat…"
"Oh, saya tahu. nona pasti ingin bertemu dengan calon suami, kan?"
"Susahnya sepasang kekasih kalau sedang berada di tempat yang berbeda."
"Padahal, baru saja bertemu. Tapi sudah kangen!"
"Ish!" Aku sebal. "Berisik!"
***
Pada akhirnya, aku memilih untuk mengurung diri saja di bilik. Padahal aku sangat mengkhawatirkan Da Lan. Namun bagaimana bisa aku ke ruang operasi, jika dua kurcaci ini selalu saja meledekku. Sebal. Sebal!
Sementara itu. Emanuel ada di sana, sedang duduk termenung. Karena baru saja dia mendapatkan email Bryn. Gue sudah membacanya dengan seksama. Intinya, ini gawat. Jika saja Adhira tahu masa lalu Liu He Lin yang kelam, maka semua rencananya akan runyam.
Shit!
Rupanya. Orang tua Helin telah bercerai tujuh tahun lalu. Sementara ibunda kandungnya kini telah menikah untuk ke dua kalinya dengan rival perusahaan properti Pradipto Group.
Kini, mereka dikaruniai dua orang anak laki-laki, bersama-sama menetap di Singapura. Adhira sangat membenci Christoper Riyadi Helu. Mereka bersaing satu sama lain secara ketat untuk mendapatkan predikat terbaik sejagad raya Asia.
Rasanya, dada ini begitu sesak. Sambil merunduk meratapi nasib. Pria itu merasa Tuhan tak adil kepadanya. Ini sama saja boomerang bagi gue, dan jalan untuk melepaskan Helin, makin terbuka lebar.
***