Tiga hari tiga malam, kami menikmati perjalanan menjelajahi pelosok Bali bersama. Sehingga aku dan Emanuel harus selalu berdampingan. Dari pagi hingga malam, besok pagi lagi sampai malam lagi. Perjalanan ini. Benar-benar berkesan. Aku pun tak ingin melewatkannya. Maka. Momen-momen ini benar-benar harus di abadikan. Melalui kamera pribadi. Dengan rancangan khusus, memiliki password tersendiri untuk mengaksesnya. Sehingga Helin tidak bisa bertingkah. Ya, sejak awal mula media sosial bermunculan, gue pun tak pernah membuat akun pribadi. Jadi tidak mungkin foto-foto ini gue sebar luaskan kepada orang lain melalui medsos. Itu terlalu konyol, menurut gue.
Tak terasa memang, kami melewatkan kebersamaan beberapa hari ini. Hingga pada akhirnya berujung perpisahan. Kami berdua kembali ke Jakarta, sedangkan keluargaku ke Semarang. Keluarga Emanuel kembali bekerja keras di Singapura.
"Emanuel! Jaga Helin seperti kami mencintainya!"
"Ya!"
"Jika tidak, awas kau Emanuel!"
"Selamat tinggal!"
"Bye!"
"Sampai ketemu lagi!"
"Lain kali main ke kampung kami!"
"Iya, ji pe! Hati-hati di jalan!"
"Beri kabar kalau kalian sudah sampai!"
"Da-dah, iie!"
"Da-dah, cici Lin!"
"Helin, kau memang beruntung. Memiliki suami mapan dan bertanggung jawab, juga menggemaskan seperti Emanuel. Jaga dirimu baik-baik! Dan juga suamimu ini!"
"Ditunggu ya, untuk kelahiran keponakan-keponakanku yang menggemaskan!" Ujar ncim sambil mengelus perutku. Aku jengah.
"Dah!"
***
"Ish! Jauh-jauh loe dari gue!" Geram Helin ketika rombongan keluarganya pergi. "Gue mau istirahat, jadi jangan coba-coba ganggu gue!" Lalu, dengan mantap dia mengacungkan kepalan tangan. "Paham!"
***
Ini adalah pertama kalinya aku menginjakkan kaki di apartemen mewah Emanuel. Bergaya minimalis. Dengan balkon yang luas. Bahkan aku tak percaya ini, ada kolam renang segala di dalamnya. Yeah, walaupun itu tidak besar, namun ini aneh. Bagaimana bisa? Karena yang aku tahu, di mana-mana, fasilitas ini digunakan untuk umum. Ya! Aku kembali mendelik sebal. Dasar orang kaya! Gayanya selangit.
"Kamarmu ada di sana."
"Biar saya bantu, non."
"Oh nggak usah repot-repot, bibi Nur! Saya bisa sendiri!"
Bibi Nur terkejut. Perempuan ini berbeda dari yang lain. Masya Allah. Saya akhirnya paham. Pantas tuan Emanuel tergila-gila hingga rela melepas lajang bersama perempuan ini. Pun. Seandainya saya yang menjadi tuan, pasti saya akan jatuh cinta pada pandangan pertama. Mabuk kepayang dibuatnya. Karena sumpah demi apa, non Helin begitu cantik, sederhana apa adanya, juga rendah hati. Benar-benar istri idaman.
"Tapi kok tuan dan non Helin beda kamar? Bukankah kalau sudah menikah, kalian seharusnya tidur bersama?"
"Sssttt! Tolong kali ini saja, bibi bantu saya untuk merahasiakan ini! Kami akan pisah ranjang hingga Helin siap! Oke, bi?"
Bibi Nur kembali terkesima. "Masya Allah… Terima kasih, Allah. Engkau telah mengabulkan doa saya… Agar tuan Emanuel mendapatkan jodoh sakinah mawaddah warahmah. Aamiin yaa rabbal 'aalamiin!"
Ketika memasuki kamar itu, aku terkesima. Tidak percaya, ruangan ini penuh dengan perabotan peninggalan rumah yang ada di bilangan Glodok. Semuanya ditata dengan sangat baik. Juga foto-foto kenanganku bersama dengan Liu Da Lan. Pigura-pigura itu. Aku tak kuasa menahan perasaan. Emanuel memang pandai membuat perempuan mana pun meleleh. Namun aku berusaha teguh. Aku pun sudah memikirkan matang-matang tentang perasaanku. Setelah aku membayar hutangku sepenuhnya, aku akan pergi darimu, El. Untuk selamanya.
***
"Non Helin benar-benar istri idaman!"
"Biasa saja, bi!"
"Tapi bener loh, non. Coba kalau ada perempuan yang lain datang ke sini. Udah datang seenak dengkul, tidur di kamar tuan, pakai acara mabok lagi!"
"Saya nggak heran."
"Tapi selama tiga bulan terakhir, sifat tuan mulai berubah, non. Duh, rasanya saya mau peluk non." Aku pun dengan leluasa memeluk bibi Nur. "Saya tidak tahu harus berapa banyak harus mengucapkan syukur. Berkat non, tidak ada lagi perempuan jalang datang ke sini. Berkat non juga, beliau tidak pernah keluyuran malam-malam, kecuali dinas. Berkat non…" Bibi Nur tidak bisa membendung perasaan. Entah sudah berapa banyak kesaksian dari berbagai kalangan orang yang mengenal Emanuel sebelumnya, mereka melakukan hal yang sama. Mereka mengucapkan terima kasih kepadaku. Aku pun semakin iba. "Saya sangat berterima kasih, berkat non… Akhirnya, tuan tulus mau bertobat. Beliau selalu berdoa di sana, non…" Tunjuk bibi Nur, ke sebuah altar kecil. Itu adalah altar Tuhan. "Terima kasih, non… Telah mempertemukan beliau kembali kepada Tuhan…"
"Amin, bi. Amin…" Aku pun sebenarnya terharu. Namun aku tidak sampai hati dibawa perasaan yang makin mendalam. "Tolong potes ujung daun seledrinya ya, bi. Biar penataannya semakin cantik, kayak bibi!"
"Astaga, non. Cantik dari mana sih saya? Dari Hongkong?"
Aku tersipu. "Punya cucu?"
"Lima!"
"Puji Tuhan! Tinggal di mana, bi? Saya dari Semarang."
"Di Brebes, non!"
"Masih tetanggaan dong, ya."
"Iya!"
"Istriku!" Tegur Emanuel yang baru saja bangun. "Morning!"
Aku tak membalasnya seperti layaknya perempuan centil lain pada umumnya. Aku acuh tak acuh. Sambil melirik jam. Sudah jam berapa ini? Oh arlojiku menunjukkan pukul tujuh kurang tiga menit. Aku pura-pura sibuk membuat sarapan. Padahal semua sudah matang dan siap di hidangkan. "Biar saya saja, bi!"
"Mau kubantu, Lin?"
"Nggak usah! Kau duduk saja di meja makan, duduk yang manis!"
"Apakah kita akan ujian, bu Helin?"
"Ish!" Dikira aku seorang guru yang sedang membagikan kertas ujian.
Emanuel tersipu. Sambil duduk santai di meja makan. Fokus membaca koran digital. Helin dan bibi Nur menghidangkan sarapan terbaik di dunia menurut gue. Bubur. Salah satu sarapan favorit gue. Namun. Kali ini, aromanya lebih pekat. Dan rasanya, hm! Bak hidangan restoran bintang lima.
"Lin! Duduklah di sini, temani aku!"
Helin mendelik sebal. "Manja!" Aku pun duduk di hadapannya. "Bi Nur! Kau belum sarapan juga kan? Ayo, makan bareng, bersama kami!"
"Oh, tidak, non! Terima kasih!"
"Terus, bibi mau makan di mana?"
"Biasa beliau makan di belakang… Di dapur."
"Tidak-tidak! Mulai detik ini, bibi Nur makan bareng bersama kita!"
"Tapi…"
Emanuel beranjak dan tersenyum lebar. Sambil menarik kursi yang kosong di samping Helin. "Duduklah di sini, bi! Kita makan bersama!"
Berkat kehadiran Liu He Lin di apartemen, suasana menjadi hangat dan bersahabat. Tidak ada lagi kata jenuh. Hidup pun. Penuh canda dan tawa. Walaupun selalu saja ada pertengkaran tiada arti, itu tidaklah masalah. Karena saya tahu betul, Nona Liu He Lin pasti memiliki perasaan yang sama dengan tuan. Namun, namanya juga anak muda. Pasti ada rasa gengsi. Benar kata tuan, hanya butuh waktu bagi He Lin untuk membuka hatinya sepenuhnya untuk beliau. Kalau sudah begitu, sungguh saya tidak punya alasan lain untuk mencari kebahagiaan sejati.
***
Hari ini adalah perdana meeting bersama orang kreatif yang akan membantuku menggarap proses branding restoran. Tanpa Emanuel. Karena dia harus bertugas di rumah sakit. Namun sebelum ke sana, dia yang mengantarku ke sini. Sebuah kafe dekat El Pradipto Hospital. Agar nanti jika di selang waktu luang, dia bisa datang untuk bergabung.
Kami membicarakan rencana dan konsep awal restoran. Kemudian mereka merekam apa saja yang aku mau, dengan menulis di notes. Setelah itu. Barulah mereka brainstorming. Lalu membeberkan ide-ide mereka dihadapanku. Itu adalah alternatif nama-nama restoran kami. Aku harus memilih salah satunya.
Ketika dibicarakan lebih dalam lagi, akhirnya nama yang kupilih adalah. Da Lan Canzhuo. Bagaimana menurutmu? Artinya meja makan untuk Da Lan. Sebagai penghormatan kami kepada beliau. Agar seolah kami bersungguh-sungguh menghidangan makanan favorit di setiap meja pengunjung, seolah sedang menjamu untuk Liu Da Lan seorang.
"Fix!"
***
"Liu He Lin!"
Aku menoleh. Pria itu. Kenapa tiba-tiba dia ada di sini? Dia kelihatan lebih tampan, dengan gaya rambutnya yang baru. Dia tampak lebih fresh. Kemudian. Dengan mantap, dia mengumbar senyum lebar, sambil melambaikan tangan. Seolah siap melepas rindu. Oh tidak. Debaran ini, aku tak bisa mengontrolnya. Bahkan, ini diluar kendaliku. Rasa ini, lebih menghantam daripada sebelumnya. "David Cello!"
"How? Your meeting?"
Aku menarik lengan Cello keluar dari restoran. Lalu masuk ke dalam celah lorong antara gedung satu dengan gedung lainnya, di dekat sini. Tidak boleh ada yang tahu, kalau saat ini kami sedang bersama.
"Apa yang kau lakukan di sini?"
"Aku tadi menunggumu…"
"Bagaimana bisa kau ada di sini?"
"Karena kau, Liu He Lin!"
"Gue?"
"Aku sudah lama sekali menunggu hari ini, pertemuan kita yang kedua kalinya di sini, Lin!" Cello kemudian memelukku. "Aku merindukanmu…"
***
"Tidak! Ini, tidak benar!"
"Why!"
"Aku sudah menikah!"
"Dengan playboy kelas teri itu?! Lin! Aku tahu semua tentang dia! Emanuel Pradipto bukan orang sembarangan! Semua orang tahu dia! Dan…" Gue tak bisa membendung perasaan ini. Mustahil. Pria yang kukenal begitu maskulin, menangis dihadapanku. "Kau! Kenapa kau menikahinya? Bukankah orang yang kau tunggu adalah aku! Kau menyukaiku sejak dulu, kan! Kenapa kau malah mengkhianati rasa ini, Lin!"
Aku sontak mendorong Cello. Sebagai pertanda betapa aku kecewa kepadanya. "Jika saja kau tahu perasaanku kepadamu, kenapa waktu itu, lima tahun yang lalu, kau hanya diam saja! Kenapa kau acuh tak acuh! Lalu, bagaimana dengan kekasih barumu itu, hah!"
"Karena aku terlalu fokus dengan pelajaran dan kegiatan OSIS, Lin! Kau tahu kan, aku juga kapten basket!" Gue gemas. "Lin! Aku dan Christy tidak punya hubungan apa-apa selain rekan kerja! Jangan salah paham!"
"Ya, terus sekarang loe mau apa! Melawan Emanuel keparat itu, adalah mustahil! Dia bisa saja melakukan apapun, bahkan melukaimu! Jadi, anggap saja kita bukan siapa-siapa! Aku tak mengenalmu, begitu pula sebaliknya!"
"Lin!"
Cello merengkuhku. Kami melekat menjadi satu. Bibir kami menyatu. Hasrat ini, berbeda dengan ciuman pertamaku bersama Emanuel. Cello begitu tulus. Aku dapat merasakan itu. Namun tetap saja, ini salah. Aku pun kembali memberontak.
"Apakah salah, kita saling mencintai? Menikmati kebersamaan ini walau hanya sebentar saja, Lin?"
Aku kembali menangis. "Sudah kubilang berkali-kali, aku sudah menikah, Cello… Please, jangan mempersulit keadaan!"
"Aku dapat merasakan kau menikmati ciuman pertama kita barusan!"
Aku semakin sedih. "Tidak, Cello… Kumohon!"
"Lin! Jawab pertanyaanku! Apakah kau sedang hamil?"
"Tidak… Bahkan kami belum pernah melakukannya… Tidak ada malam pertama diantara kami…"
David mendelik. Helin semakin lama semakin melemas. Dia sepertinya tidak sadar berkata apa barusan. Hingga. Ia terkapar begitu saja.
"Lin! Apa yang kau lakukan! Lin! Liu He Lin!"
Kau pingsan!? Untuk kesekian kalinya? Come on, Lin! Ini konyol!
***
"Lin, kau sudah siuman?"
Aku perlahan membuka mata, kemudian menajamkan pandangan. "El…"
"Iya, sayang! Ini aku! Kau tidak apa-apa?"
Helin memeluk Emanuel dengan sergap. "Syukurlah…"
"Are you okay, Lin?"
Kuharap pertemuanku dengan Cello adalah mimpi.
"Lin…"
"Ya!"
"Apakah ada yang di rasa?"
"Nggak! Eh! Ngapain loe peluk-peluk gue!"
"Kau yang memelukku lebih dulu…"
"Apa?" Aku pun melepas pelukan ini. Dan mengomeli Emanuel, seperti biasanya. Pria itu pun, hanya bisa pasrah sambil tersenyum. Menikmatinya. Seperti layaknya mendengar lantunan indah. Entah mengapa, aku lebih senang kau bertingkah tak bersahabat seperti ini, Lin. Karena itu terlalu menggemaskan. Lalu, Emanuel membenarkan posisi bantal agar aku bisa tiduran dengan nyaman di tempat tidur rumah sakit ini.
"Bagaimana aku bisa ada di sini?"
"Katanya tadi kau pingsan di tengah jalan!"
"Siapa yang mengantarku ke sini?"
"Entahlah. Aku tidak sempat bertemu. Hanya mendapatkan pesan singkat darimu. Katanya kau ada di sini, sedang di rawat karena pingsan. Kau ini, Lin! Kau mengidap tekanan darah rendah. Makanya, kalau sedang ada masalah, jangan terlalu berat memikirkannya! Jika tidak, kau bisa lemah setiap waktu!"
"Bawel!"
Lagi-lagi, aku termenung. Cello. Seharusnya kau yang merawatku di sini. Tapi kenapa kau seolah lepas tangan ketika aku tak sadarkan diri di tengah jalan? Itukah yang disebut dengan pria sejati?
***