Chereads / Heaven's Mandate Wedding / Chapter 15 - Kupersembahkan Bakti Untukmu, Liu Da Lan

Chapter 15 - Kupersembahkan Bakti Untukmu, Liu Da Lan

Aku bersungguh-sungguh menggarap proyek ini secara maksimal. Tentu saja harus dibawah naungan suamiku. Hingga tak terasa, tahu-tahu sudah tiga bulan berlalu. Enam bulan… Sampai acara tujuh bulanan pun, aku masih bekerja keras. Namun dua bulan kedepannya, aku harus rehat sejenak dari pekerjaan demi kebaikan janin buah hati kami yang akan siap lahir di dunia. Tahap akhir restoran kami, diambil alih oleh El.

Rencananya, aku akan menjalani lahiran normal. Itulah sebabnya, dengan kesabaran ektra, suamiku itu membimbingku hingga sejauh ini. Hingga pada akhirnya, malam itu, tepat jam dua belas malam, perutku mengalami kontraksi hebat. Aku langsung dilarikan ke ruang persalinan. Tidak perlu menunggu waktu lama untuk pembukaan kesepuluh, aku diarahkan Emanuel, untuk melahirkan buah hati kami.

"Atas nama Bapa, Putra dan Roh Kudus. Telah lahir di dunia, putri kami… Sebagai penghormatan kami kepada Liu Da Lan, kami memberikan nama Liu Jia Li. Sebagai salah satu penerus marga Liu. Yang berarti, gadis cantik."

"Puji Tuhan!"

Aku sangat terharu. Anakku… Setelah dibersihkan, dia kini berada di sisiku, sambil mencari puting susu. Sakit rasanya, El dengan telaten sedang menjahitku. Namun aku tak mau kelihatan manja dihadapan suamiku. Aku harus kuat. Sambil memanjatkan puji syukur tiada taranya, di kala Jia Li telah berhasil menemukan puting susu. Dan kini, lihatlah, dia sedang berusaha menyeruput agar mendapatkan ASI terbaik.

"Selesai!"

Emanuel telah menyelesaikan tugasnya dengan sangat baik. Dia lalu pergi ke ruang sebelah, untuk bersih-bersih. Begitu pula denganku. Dibantu perawat, aku dibersihkan dari segala kotoran-kotoran berupa darah segar. "Kau sangat hebat, nona!"

"Kau begitu kuat melawan rasa takutmu itu, nona! Dan itu luar biasa!"

"Jarang-jarang ada perempuan zaman sekarang, yang mau repot-repot lahiran normal seperti ini…"

"Itulah! Yang saya suka darimu, nona. Kau memang hebat!"

"Itu sudah kewajibanku sebagai seorang ibu, sus…"

Perawat itu terharu. Baru kali ini, mereka melihat seorang pasien yang sangat kuat dan sehebat nona Liu He Lin, yang tidak lain adalah istri presdir. "Baiklah, nona. Sudah hampir selesai. Setelah ini, anda akan dipindahkan ke ruang rawat. Sementara Jia Li pun, harus ikut mendapatkan perawatan intensif."

"Baiklah…"

"Lin!"

"Ya!"

Emanuel mengecupku penuh dengan kasih. Dia sudah tampan sekarang. "Terima kasih, sayang! Kau memang luar biasa!"

"Itu pun berkat kau!"

"Lihatlah… Anak kita…"

"Cantik, bukan?"

"Dia mirip sekali denganmu…" Dia mengecup Jia Li penuh kasih. Sambil, merengkuhku. "Bagaimana? Apakah ASI-nya lancar?"

"Sepertinya begitu."

"Nona Liu He Lin. Sudah siap?"

"Ya…"

Emanuel lagi-lagi terkesima. Istriku. Kau tegar sekali. Di saat kau harus berpisah dengan Jia Li pun, tak sedikit pun tersirat kemelekatan yang berarti. "Kini, kau bisa beristirahat dengan tenang, Lin…"

"Ya. Aku sebenarnya pusing sekali…"

"Aku tahu itu." Ujar Emanuel masih setia menemaniku sampai ke bilik. "Untung saja, kau mau mendengar semua nasehat-nasehatku agar tekanan darahmu stabil! Lihatlah! Kau telah melakukannya dengan sangat baik! Bahkan sekarang, di kala kondisimu melemah pun, kau masih bertahan demi mengASIhi Jia Li…"

"Liu He Lin!"

"Sepertinya, itu mama mertua…"

Ya. Adhira. Yang selalu cepat tanggap datang lebih dulu setiap kali orang-orang terkasihnya mengalami hal baik maupun terburuk. seklipun. Yang selalu memberikan terbaik yang Ia bisa, untuk menyenangkan orang-orang terkasih disekelilingnya. Kali ini, beliau tampak senang, dapat melihat cucunya secara langsung. "Sherine…"

"Jia Li, ma."

"Kau ini, El! Kenapa tidak menurut kepadaku, kali ini saja!"

"Papa mertua lebih membutuhkan penghormatan kami, ma…"

"Dengan marga beliau?"

"Ya…"

"Maafkan aku, ma…"

"Bukan masalah, Helin sayang… By the way, congratulation! Oh… Puji Tuhan! Lihatlah! Cucuku ini, cantik sekali… Bolehkah aku menimangnya?"

"Tidak! Dia butuh perawatan. Tunggulah dua jam lagi, ma! Sambil Helin memberikan ASI berikutnya!"

"ASI, katamu?" Adhira makin semuringah. "Kau memang hebat, sayang!"

"Berkat siapa dulu…"

"Kau memang yang terbaik, nak!"

Emanuel tersenyum lebar. "Ayo, kita ke ruang perawatan!"

"Dengan senang hati! By the way, aku dengar He Na juga akan ke sini! Dia sedang on the way, katanya…"

"Seharusnya, kalian tak usah repot-repot, ma!"

"Repot apa? Kami ke sini, demi ingin menimang cucu kami!"

"Tapi…" Aku merengkuh Emanuel, agar berhenti mengolok-olok orang tuanya. Gue mendelik sebal. "Ya lah, terserah kalian…"

"He Lin!"

"He Na! Besan!"

"Ish! Kau ini, ce'em! Selalu saja menyebutku He Na! Kita ini sedang di ruang publik! Panggil aku Sandara!"

"Sssstt!! Jangan berisik, ma!"

"Mau ke mana kalian?"

"Ke ruang perawatan…"

"Ke bilik, maksudmu?"

"Ya!"

"Oh, jadi ini rumah sakit milikmu, El!"

"Bagaimana, menurutmu, He Na?"

"Sandara! Panggil aku Sandara!"

"Ya, ya, ya, Sandara!"

"Bagus! Bahkan ini rasanya, aku sedang berada di rumah sakit setara di Singapura!"

"Oh… Tentu saja! Itu sudah pasti! Bahkan penanganan di sini pun, lebih canggih daripada di sana!"

"Benarkah itu!"

Dasar ibu-ibu. Jika sudah bertemu, tingkat kebawelnya itu makin menjadi. Mereka tak henti-hentinya saling sahut sampai ke ruang perawatan. Tapi gue tak akan membiarkan istirahat Helin terganggu. Maka gue mengajak mereka berdua ke ruang kerja gue. Di sana, mereka bisa lebih leluasa lagi mengobrol tanpa henti.

Sementara itu, gue kembali ke bilik, menemani He Lin yang rupanya sudah tertidur. Dia pasti sangat lelah.

***

Hari berganti hari, aku sangat menikmati masa-masa menjadi seorang ibu seutuhnya. Mengurus anak tanpa membebani seorang suster. Aku benar-benar bahagia, bisa merawat Jia Li dengan sangat baik. Walaupun terkadang Emanuel merasa kasihan dan mendesakku agar dibantu perawat khusus saja, aku bilang, "Tidak perlu repot-repot! Di sini juga ada bibi Nur dan bibi Ndas. Kalau aku kewalahan, aku bisa minta bantuan beliau, kan. Sudahlah, tak usah khawatir yang berlebihan!"

Hingga tak terasa, waktu menanggalkan tiga bulan sudah usiamu, nak. Sudah waktunya kau ke rumah Tuhan, untuk di baptis. Keluargaku dari Semarang, pun ikut turut hadir memeriahkan acara spesial ini.

"Astaga, gemasnya…"

"Jia Li, kau cantik sekali!"

"Pipinya itu loh… Gemoy banget!"

"Malahan anteng banget ini bayi. Boleh nggak sih, kita bawa pulang ke Semarang?"

"Iie! Aku sayang Jia Li…"

Oooooo. Aku merasa terharu. Semua orang menyukai Jia Li. Mereka sayang Jia Li, melebihi apapun.

"Kau memang pintar merawat anak rupanya, Lin!"

"Iya, ji em! Terima kasih!"

"Halo, semua…"

Semua orang memberi hormat kepada beliau yang tiba-tiba saja menghampiri. Adhira Batari Pradipto. "Selamat siang, nyonya…"

"Kalian ini, tak usah sungkan! Kita kan keluarga! Jangan kaku seperti itu!"

"Iya, nyonya…"

"Panggil aku besan!"

"Besan…"

Adhira tersenyum lebar. "Nah! By the way, He Lin. Bagaimana kalau kita mulai saja acaranya sekarang?"

"Sekarang, ma?"

"Iya, sekarang! Kau bersiap-siaplah, biar aku yang menjaga Jia Li!"

"Baiklah, ma!" aku menurut. Adhira menjaga anakku dengan sangat baik. Bahkan beliau senang sekali, jika harus menggendong cucunya itu. Tersirat bahagia jika sekali saja aku memasang wajah menggemaskan sambil memanggil namanya, dia ikut tertawa dengan suara khas bayi. Oh, cantik sekali kau ini. Cucunya siapa dulu…

***

Ini memang acara pembatisan Jia Li. Namun ada satu acara berikutnya lagi yang tak kalah spesial. Di hari ini juga. Setelah dari gereja, kami pun sangat antusias bersiap memulai acara yang ditunggu-tunggu selama ini. Yaitu. Acara pengesahan restoran ini, hasil jerih payah kau, Liu He Lin.

"Lin!" Emanuel dengan gagahnya, mendampingi istrinya yang sangat dicintainya, naik ke atas panggung kecil untuk memberikan sepatah dua kata sebagai pembukaan. Lalu, gue berbisik, untuk menyemangati. "You can do it!"

"Ehm!" Semua orang tertuju kepadaku. Aku tak pernah segugup ini. "Selamat siang, kepada orang-orang terkasihku yang telah hadir di sini… Terima kasih, kalian mau menyempatkan waktu untuk datang ke sini… Aku di sini, ingin mengucapkan syukur kepada Bapa di Surga, atas berkat-Nya, akhirnya restoran ini telah rampung!" Emosiku mulai labil. Namun Emanuel tetap berada di sisiku, mendampingiku, merengkuhku penuh kasih, terus memberikanku semangat. "Aku di sini, tidak akan tahu apa jadinya, jika tidak ada suamiku ini… Emanuel Pradipto. Orang yang sangat aku benci dulu, namun berkat kasihnya yang tulus, pada akhirnya dia mampu menyadarkanku tentang apa artinya cinta yang sesungguhnya. Saya banyak belajar darinya. Tentang banyak hal. Dia yang selalu setia mendampingi saya dalam keadaan suka maupun duka, sampai saya bisa melewati segala macam cobaan untuk merampungkan restoran ini. Jadi, tolong beri tepuk tangan sekali lagi untuk suamiku ini," Semua orang mulai histeris. Apalagi ketika El mengecupku di depan semua orang. "Inilah buah hasil jerih payah kami bersama selama ini… Saya dedikasikan restoran ini, untuk Liu Da Lan. Orang tua saya, yang sangat mencintai saya…" Aku pun tak kuasa membendung perasaan. "Beliau yang telah berjasa membesarkan saya dari kecil hingga dewasa. Beliau yang tak pernah mengeluh banting tulang agar saya mendapatkan pendidikan yang layak. Dari upaya beliau yang tak pernah putus asa itulah, mengajarkan saya untuk terus semangat menjalani hidup, tak gentar menggapai cita-cita. Terima kasih, pa… Semoga dengan ini, engkau dapat merasakan betapa aku bahagia sekarang." Kami tak kuasa menahan rasa haru ini. He Lin benar-benar pandai membuat kami menangis. "Papa… Inilah saatnya kami, yang sangat mencintaimu, mempersembahkan, ini semua sebagai tanda jasa yang engkau berikan selama hidupmu… Restoran ini, Da Lan Canzhuo!"

Mendadak, suasana menjadi meriah bercampur haru. Semua orang yang berada di sini, mengakui Liu He Lin memang hebat. Karena. Tidak usah heran, jika suatu hari rezekimu akan lancar, Lin, diberikan kedudukan yang terhormat, didampingi pasangan yang baik, memiliki anak berparas cantik dan menggemaskan, juga dikelilingi kerabat dan keluarga yang senantiasa ada di kala kau senang maupun susah. Itulah. Berkah baktimu kepada orang tua, kebaikan yang paling tertinggi derajatnya di mata Tuhan.

"Selamat, Liu He Lin!"

"Congratulation!"

"Bersulang!"

"Aku mencintaimu, Lin…" Bisik El.

"I love you too. Thank you so much for everything…"

Semua orang pun dapat merasakan kebahagiaan yang mendalam ketika Emanuel menciumku, untuk pertama kalinya di depan umum. Suasana semakin meriah, ketika pintu restoran terbuka untuk para undangan. Mereka antusias sekali mengitari setiap sudut ruangan, untuk menganggumi hasil jerih payah Liu He Lin. Interiornya benar-benar tertata rapih dan elegan. Namun tentu saja tidak hilang dari sentuhan adat Tionghoa kuno. Beberapa foto-foto mendiang tersusun di setiap sudut ruangan. He Na sangat terharu. Itu adalah kenangan-kenangan kami. Kau ini, Lin. Bisa saja membuatku secengeng ini.

Kemudian, beberapa pelayan dengan pakaian khas, datang menghadap. Berbaris, siap menjamu para tamu. Inilah yang kami tunggu-tunggu. Menikmati setiap masakan favorit restoran ini.

"Kau ini, Sandara. Kenapa tak berhenti menangis?"

"Ini sama saja mengingatkanku kepada Liu Da Lan… Rasanya, seperti sedang berada di rumah… Aku merindukannya…"

Riyadi memberikan tumpuan di pundaknya. Berusaha tegar dikala istrinya kini sedang merindukan Liu Da Lan.

"Bahkan, masakan-masakan ini adalah favoritnya…"

"Liu He Lin!"

"Iya, om."

"Kau harus bertanggung jawab atas ini semua!"

"Kenapa?"

"Lihatlah, Sandara! Dia tak bisa berhenti menangis, berkat kau!"

"Aku?"

"Suasana restoran ini, membuatnya teringat kepada Liu Da Lan…"

"Oh astaga, ma!"

He Na memelukku, betapa beliau sangat merindukan suasana ini. Benar-benar selayaknya rumah sendiri.

"Namanya juga, berkonsep perjamuan untuk mendiang. Ya, seperti inilah hasilnya… Maafkan aku jika memang itu membuatmu bersedih seperti ini, ma."

"Tidak-tidak… Ini pertanda aku bahagia… Aku bangga sekali kepadamu, Lin…"

"Iya, ma… Sudah ya, jangan menangis lagi jika kau benar-benar bahagia!" He Na pun makin terenyuh, ketika kedua tangan Helin menyeka air matanya. "Demi aku! Demi papa di Surga…"

"Mama… Kenapa menangis?"

"Leon… Oh, ini bukan apa-apa sayang! Mama hanya terharu…"

"Ma, what this is? Rasanya enak sekali… I like it!"

"Really?"

"Itu namanya sapo tahu."

"Sa-po ta-hu?"

"Ya!"

"May I have one more, please?"

Aku semuringah. Leon. Kenapa kau begitu menggemaskan?

"Tentu saja! Akan aku ambilkan satu porsi lagi untukmu, ya! Tunggu sebentar! Sebentar saja…"

He Na pun ikut gemas. "Kau ini, Leon. Hei, Andy. How about you? Do you like it?"

"I really like it! This is the best dish I've ever eaten!"

Aku semakin lapang. Terima kasih sekali lagi, He Lin. Tak kupungkiri, kau memang hebat. Karena jarang-jarang Leon dan Andy memuji setiap makanan yang mereka santap selama ini.

Kemudian tak lama, Helin datang dengan sepiring sapo tahu. "This is special for you!"

Leon tersenyum lebar. "Thank you, sister!"

"You're welcome!"

"Lin!"

"Ya, om Riyadi."

Beliau mengukir senyum tak kalah lebarnya. "Thank you so much!"

Kemudian, aku merunduk sopan. "Iya, sama-sama om! Maaf, saya harus ke sana sebentar… Permisi! Bye, Leon! Andy!"

"Bye!"

"Dia… Memang benar buah jatuh tak jauh dari pohonnya…" Ujar Riyadi terkesima. "Liu He Lin mirip sekali denganmu, Sandara."

"Riyadi."

"Ya?"

"Bisakah kau berhenti menyebutku Sandara?"

Riyadi terkejut. "Why!"

"Karena aku He Na. Liu He Na."

"Okay. So?"

"Sejak dulu, aku ingin sekali menjadi diriku sendiri apa adanya di depan publik."

"Tapi, kau tahu kan apa akibatnya?"

"I know…"

"Fine! Aku juga lelah harus berpura-pura seperti ini. Lagipula, apalah artinya sebuah hidup jika selalu saja memikirkan keduniawian. Toh kita juga sudah meraih segalanya."

"Ya, dengan aset-aset yang kita miliki… Sepertinya kita masih bisa hidup layak sampai anak-anak kita menua…"

Riyadi Helu tersipu. "Begitu, ya? Lalu, bagaimana dengan proyek kita bersama Edward?"

"Itulah! Aku sudah memiliki konsep yang bagus, dan kupastikan tidak akan mempengaruhi pasar, sekalipun seluruh masyarakat tahu siapa aku sebenarnya…"

Riyadi mendelik. "Really?'

"Ya!"

Itulah. Yang aku suka darimu. Kau pintar melebihi dari segalanya. "Aku mencintaimu, He Na."

***

"Lin! Apakah kau melihat apa yang aku lihat barusan?"

"Mama…"

"Mereka mesra sekali… Sepertinya mereka tak mau kalah dari kita…"

"Ish! Kau ini!"

Emanuel mendelik. "Kenapa kau menghindar dariku, Lin!"

"Kau…"

Bibirku mendadak terkatup. Sekali lagi, aku kecolongan. Please, El!

"Ish! Dasar kau, El! Sudah-sudah! Cukup! Aku mau menemui mama mertua. Sudah waktunya aku memberi ASI untuk Jia Li!"

"Come on…"

Emanuel menarikku ke sebuah tempat yang sepi. "El!"

"Temani aku, sebentar saja, aku ingin sekali menikmati kebahagiaan ini bersamamu! Tak ada salahnya kan!"

"Liu He Lin! Kau di sini rupanya… Lihatlah, Jia Li sudah rewel! Dia sepertinya lapar… Ops!" Adhira menutup mata Jia Li dengan jemari-jemari lentiknya. "Oke… Aku paham! Lanjutkan, lanjutkan! Anggap saja aku tidak ada…"

"Ish! Kau ini! Bandel sekali! Sudah kubilang, aku ingin menemui Jia Li… Sudah waktunya dia tidur siang…"

Emanuel. Bukannya melepaskanku, malah dia semakin jadi. "One minute!"

"No!"

"Okay, five minutes!"

"El!" Aku menepisnya. "Enough!"

Emanuel seperti orang mabuk kepayang saja. Ya, untuk kesekian kalinya, aku jatuh cinta kepadamu, Lin. Dan berharap, kita akan terus seperti ini adanya untuk selamanya, hingga menua bersama. Tetap harmonis. Romantis. Seperti mereka. Panutanku.