Chereads / Heaven's Mandate Wedding / Chapter 14 - The Truth Of Happiness

Chapter 14 - The Truth Of Happiness

Ya. Benar. Jika saja ingat saat pertama kali bertemu, dengan segala perjuangan yang kulakukan, hingga menebus dosaku, itu adalah hal yang tulus, asal kau tahu. Aku mencintai segala kelebihan dan kekurangan darimu, Lin. Termasuk sifat ketusmu itu. Selalu saja acuh tah acuh, sehingga aku tidak menyadari sejak kapan kau mulai mencintaiku. Namun, see. Aku tetap bertahan. Belajar menjadi imam yang baik, kuat sekuat melebihi baja menghadapimu, Lin.

Hingga perasaanku sempat goyah, berkat David Cello. Keparat itu. Sampai aku lupa diri, hingga lagi-lagi harus membuatmu sesedih itu, Lin.

Namun, berkat kebodohanku malam itu, akhirnya aku tahu isi hatimu kepadaku, Lin. Aku tahu kau mencintaiku, di saat kau telah pergi meninggalkanku dan juga Adhira. Tega kau, Lin. Benar-benar tega, kau telah menguras habis perasaan dan emosiku.

Sekarang. Mana bisa, aku tinggal diam. Aku akan datang menjemputmu pulang ke Jakarta, sampai ke ujung dunia pun, aku akan mengarunginya! Untuk membina kembali bahtera rumah tangga kita yang sempat tak karuan, Lin.

See. Atas nama Bapa di surga, aku menemukanmu. Di sini. Besok, kita akan kembali ke Jakarta, Lin. Bukan hanya kami yang senang, kau akan kembali pulang. Tapi, ingatkah kau kepada bibi Nur? Bibi Ndas? Harianto? Bryn? Brandon? Mereka pasti senang setengah mati, melihat nyonya kesayangan mereka kembali.

Gue semakin semuringah. Liu Da Lan. Apakah kini Engkau sedang berada di samping beliau, Tuhan? Tolong sampaikan, rasa terima kasih ini kepada beliau. Entah harus berapa banyak aku mengucapkan rasa syukur kepada beliau, bahkan menghitung ribuan bintang-bintang di langit pun, itu tidak akan cukup bagiku untuk berbalas budi. Tanpamu, Liu Da Lan, aku tak akan mungkin bisa bersama dengan Liu He Lin, putri semata wayangmu ini, sampai detik ini. Entah sudah berapa banyak air mata yang mengalir deras, emosi ini yang sulit terkontrol, terkadang naik, terkadang turun, hingga berujung frustasi sampai hati ingin mengakhiri hubungan, namun pada akhirnya kami bisa melalui masa-masa sulit itu. Karena pada akhirnya, kami saling mencintai satu sama lain. Dia, istriku telah membalas perasaanku dengan tulus. Sumber kebahagiaan sejatiku.

Berkat-Mu pula, Tuhan. Hal yang paling mustahil pun, harus terjadi. Atas rukunnya keluarga Pradipto dan Riyadi Helu.

Gue semakin khusuk. Tuhan. Kumohon sekali lagi, jagalah Liu Da Lan di sisi-Mu, selayaknya aku mencintainya seperti orang tua kandungku sendiri…

"Amin." Gue membuka mata perlahan, dan masih mendapati istri gue dengan khusuk memanjatkan doa di hadapan-Mu. Baiklah. Gue harus bersabar lebih lama lagi, berdiam di sini, sambil menunggunya selesai mengutarakan perasaannya kepada Tuhan.

Tuhan. Aku berserah kepada-Mu. Jagalah Liu Da Lan di sisi-Mu. Titip salam kepadanya, Tuhan. Bilang kepadanya, kini aku sudah bahagia. Juga, Tuhan. Terima kasih akhirnya Engkau mengabulkan doaku selama ini, agar dipertemukan aku kembali dengan He Na. Melihatnya saja, walau hanya sebentar, aku sudah bahagia. Apalagi, bisa memeluknya erat seperti sedia kala. Terima kasih Tuhan…

"Lin…"

Aku dapat merasakan ketulusanmu, Lin. Kau menangis bukan karena menderita seperti sebelum-sebelumnya. Kau nampak bahagia. Gue pun penuh kasih, menghapus air matanya dengan sapu tangan. Tak ada perlawanan yang berarti. Dia tetap berdoa.

He Na. Beliau sehat walafiat dan sangat cantik, pa. Kini beliau memiliki kehidupan yang baru bersama keluarga barunya yang berbahagia. Bersama Christoper Riyadi Helu, dikaruniai dua orang anak laki-laki yang menggemaskan. Pun. Mandatmu ini, telah aku laksanakan, pa. Kau benar, kau tidak salah memilih yang terbaik untukku. Dia. Kini ada di sampingku. Sedang berserah dihadapan-Mu. Aku sangat bahagia bersamanya, pa… Tidak lagi harus merasakan kesepian. Jika aku susah, sedih, dialah yang selalu ada disisiku selama ini. Yang selalu siap siaga. Dengan perhatian-perhatiannya yang tulus kepadaku. Emanuel Pradipto. Aku mencintainya, seperti aku mencintaimu, pa.

"Lin…"

Ya. Kami sedang berada di gereja dekat desa ini. Setelah ini, kami akan pergi ke kantor temanku, untuk mencabut perceraian kami.

"El…" Aku mengapus air mataku. Dibantu Emanuel. Lalu, kami saling merengkuh satu sama lain.

"Sudah selesai?"

"Ya."

"Sudah siap?"

Emanuel memperkuat rengkuhannya. Setia menggiringku, berjalan dengan mantap, lurus ke depan, saling berdampingan satu sama lain.

Aku sangat mencintaimu, El. Sekarang. Mari kita tata kembali kehidupan ini bersama-sama, dalam suka maupun duka, aku tetap akan bersamamu. Selamanya. Jadi kumohon, jaga perasaan ini baik-baik, seperti aku yang sedang belajar menjaga perasaan untukmu seutuhnya, El.

"I love you so much, Lin."

"I know, I know…"

Kemudian, dalam sekejap, aku sudah berada dalam pelukannya. Oh tidak, tingkah nakalnya mulai meradang. Dia lagi-lagi mengecupku. "I love you."

"Aku tahu itu! Kau ini! Menyebalkan sekali! Kalau ada orang lain yang lewat lalu melihat kita, bagaimana?"

"Peduli apa?"

"El!"

Kau ini, tak bisa kah bersabar sedikit saja? Malah getap sekali menggendongku sampai ke mobil. Lalu dia mengecupku lagi. "Apakah kau merasa pusing?"

"Ya, sedikit…"

"Apakah kau merasa mual?"

"Ya, sedikit…"

"Lin! Kau tampak pucat. Apakah perlu kita ke rumah sakit sebentar saja untuk memeriksa janinmu?"

"Apa?"

"Aku tidak tahu, proses pembuahan di dalam tubuhmu itu, akan secepat ini…"

"Maksudmu, aku hamil?"

"Karena aku tahu betul, gejala-gejala awal yang kau rasakan, Lin!"

"Tapi bagaimana bisa? Kita baru saja melakukannya dalam waktu tiga hari yang lalu?"

"Itulah. Berarti kau dalam kondisi subur! Ayolah, kita harus periksa kandunganmu!"

Aku semuringah. Benarkah itu? Aku hamil? Aku tidak menyangka, ini akan secepat membalikkan telapak tangan. Aku mengelus perutku penuh kasih. Aku terharu. Sebentar lagi, aku akan menjadi seorang ibu.

"El… Tiba-tiba saja, aku merasa mual!"

"Bertahanlah, sayang!"

Emanuel siap siaga, memberikan sebuah kantong yang di khususkan orang mabuk jalan. Biasanya, gue merasa sebal melihat pasien-pasien gue yang sedang mual pada saat pemeriksaan rutin di rumah sakit El Pradipto Jakarta. Tapi kali ini. Kena batunya, kau El. Gue baru saja merasakan bagaimana jadinya seorang suami siaga yang setia menemani sang istri. Hingga sampai di klinik terdekat.

"Ini dia, El!"

"Tidak-tidak! Ini hanya klinik!"

Lalu mobil kembali melaju. Hingga ke jalan besar di perkotaan. Dibantu oleh peta online, kami pun tiba di rumah sakit yang lumayan besar. Kebetulan, dokter yang menangani masih ada jadwal hingga dua jam ke depan. Kami pun harus bersabar. Masih ada dua puluh orang lain yang menunggu. God. Inikah rasanya menjadi seorang pasien?

"El… Duduklah! Tenang!"

"Bagaimana aku bisa tenang!"

"Bagaimana jika kita test pack dulu saja!"

"Tidak-tidak!"

Itulah, suamiku. Tetap saja keras kepala. Namun perhatiannya itu, yang membuatku makin terkesima. Dia tetap mendampinginku, walaupun hati tak tenang.

***

Dokter itu memeriksaku begitu detail, namun pertanyaan yang dilontarkan Emanuel tak kalah mendetail. Sampai sang dokter Sp.Og itu pun kebingungan. "Bagaimana bisa kau mengetahui setiap detail soal dunia kedokteran, tuan?"

"Suamiku ini juga seorang dokter kandungan, jadi maaf jika itu merepotkanmu, dok. Harap maklum…"

"Oh, pantas! Kalian baru saja berbulan madu?"

"Ya… Kurang lebih begitu."

"Selamat sekali lagi, untuk kalian berdua! Nona Liu He Lin positif."

"Sudah kuduga…" Emanuel terharu. Memeluk erat Helin. "Puji Tuhan!"

"Kau memang hebat, tuan. Cepat tanggap sekali dalam menghadapi masalah ini… Saya akan memberikan beberapa resep agar kau tidak terlalu mual, nona."

"Baik, dok! Dia memiliki tekanan darah rendah dan gejala mag."

"Oke. Saya akan menyesuaikan dosisnya."

Setelah keluar dari ruangan pemeriksaan, Emanuel menggiringku secara perlahan. "Setelah ini, lebih baik kita makan siang dulu!"

"Tapi ini masih jam sepuluh pagi…"

"Bukan masalah! Yang penting kau makan dulu! Barulah minum obat!"

Aku menghela napas panjang. "Baiklah, pak dokter!"

"Jangan mengejekku seperti itu! Aku serius! Setelah itu, aku antar kau pulang ke penginapan. Biar aku saja yang menyelesaikan masalah perceraian kita itu!"

"Tapi…"

"Tidak ada tapi-tapi!"

"Kau ini…"

Emanuel merengkuh jemariku, sambil mengecupku. "Menurutlah kali ini, sayang. Aku hanya tidak ingin hal-hal yang tidak diinginkan terjadi… Istritahatlah! Ya?"

"Ya… Yang terbaik menurutmu saja…"

Lagi-lagi, aku belajar mengalah. Inikah rasanya berumah tangga? Tidak hanya sekedar saling menjaga satu sama lain, namun juga harus belajar menurunkan ego kami masing-masing di saat itu perlukan, demi kebaikan bersama.

Aku pun menurut. Dan lihatlah, ekspresi keluarga kami ketika mengetahui aku hamil. Mereka sangat histeris. Seperti menang lotre. Tiba-tiba saja aku terkejut di dalam pelukan He Na dan Adhira. Sebersit cahaya tiba-tiba saja merasuki diriku. "Lin."

Papa. Itukah kau?

"Aku di sini, Lin. Apakah kau bisa merasakannya?"

Aku semakin terharu. Papa.

Pa… Aku bahagia sekarang. Bahagia sekali…

He Na semakin histeris. "Sayang…"

"Terima kasih kau tetap menjani kehidupan ini bersama Emanuel, sayang, walaupun pedih, itu adalah pembelajaran untukmu kelak menjadi orang yang lebih dewasa lagi. Yang menggiringmu semakin yakin terhadap Tuhan. Dan menjadikanmu sebagai wanita hebat yang kuat."

Terima kasih, pa.

"Jagalah janin ini seperti kau mencintaiku!"

Aku tak bisa menahan linangan air mata ini. Masih dalam pelukan He Na dan Adhira. Aku mencintaimu, pa… Sangat!

***

"El. Kau memang hebat!"

"Apakah ada trik khusus agar Helin cepat hamil seperti itu?"

"El. Papa mertuamu ini mau bertanya. Apakah aku masih bisa melakukannya, dan membuat He Na hamil dalam waktu dekat?"

"Ish! Kalian ini… Aku memang benar seorang dokter kandungan. Tapi aku tidak punya trik khusus seperti itu… Ini hanyalah sebuah kebetulan. Tidak lebih!"

"Kau ini, El!"

"Bisa saja!"

"But, congratulation, El! Kau memang putra terbaikku! Aku salut kepadamu…"

***

Sepulang dari Sukabumi, orang tua kami kembali ke Singapura untuk melanjutkan pekerjaan mereka yang menumpuk. Sementara itu, El. Dia diam-diam sudah mempersiapkan rumah minimalis yang tidak terlalu luas namun nyaman untuk di tempati, sebagai rumah baru kami. Sedangkan apartemen itu, kini ditempati oleh keluarga bibi Nur dan pak Harianto yang telah berjasa selama ini. Brandon dan Bryn pun sebenarnya sangat berjasa. Namun mereka sudah makmur dengan tunjangan-tunjangan yang diberikan setiap bulannya. Mereka sudah memiliki rumah dan fasilitas yang mewah tersendiri, dan hidup berbahagia bersama keluarga mereka masing-masing.

"Kau ini, seharusnya tak usah berlebihan!"

"Tapi rumah ini begitu nyaman menurutku, dengan lingkungan yang sangat baik dan mendukung. Tentu saja, di sini aku tak usah khawatir jika kau harus ke dapur, ruang tengah, atau ke kamar. Tidak usah repot-repot naik turun tangga…"

"Ya…I know… I know… Terserah kau saja! Yang terbaik untukmu!"

"Lebih tepatnya, yang terbaik untukmu, istriku!" Emanuel gemas, menciumku lagi untuk kesekian kalinya. Memang dasar. Kalau sudah begini, dia bisa begitu leluasa mencuri kesempatan dalam kesempitan. Boleh-boleh saja dia melakukannya, asal dalam batasan wajar, dan hanya dilakukan di sini, di dalam rumah ini, tidak di luar sana. "Oh ya, sayang. Kapan kau akan memulai kembali bekerja? Sampai restoranmu rampung?"

"Mungkin, besok lusa. Aku sudah membuat janji kepada mereka, untuk bertemu."

"Tidak! Lebih baik, mereka yang datang ke sini!"

"Kau ini, El! Aku ini masih gagah! Lagipula, aku di antar pak Harianto…"

"Jika kau bertemu dengan mantanmu lagi, bagaimana?"

"Aku yang seharusnya was-was! Aku hanya punya satu mantan! Tidak sepertimu!"

"Aku hanya mengkhawatirkanmu, Lin."

"Ya sudah, aku akan meeting bersama mereka di sini!"

Emanuel tersenyum lebar. Istriku. Sudah mulai bisa menyesuaikan diri rupanya. Sudah terbiasa mengalah di saat yang tepat. Bagaimana aku bisa berpaling darimu, Lin? Sementara kau semakin dewasa, semakin hebat dan kuat. Juga kinerjamu yang tidak bisa diragukan lagi.

"Bekerjalah dengan sungguh-sungguh, Lin!" Gue melirik jam. "Sudah waktunya aku ke rumah sakit." Gue mengecup Helin, "See you this afternoon! Bye!"

***