Chereads / Heaven's Mandate Wedding / Chapter 12 - Pernikahan Macam Apa ini! Pernikahan Kontrak?

Chapter 12 - Pernikahan Macam Apa ini! Pernikahan Kontrak?

"Oh, sudah bangun rupanya." Celetukku, ketika pintu kamar terbuka. Aroma parfumnya begitu menusuk. Tidak mungkin, biasa dia selesai bersiap-siap mulai jam tujuh pagi. Sedangkan sekarang, masih jam setengah enam. Lagipula, bukankah dia semalam mabuk? Air mataku tak kuasa mengalir. Hanya tidur beberapa jam, sekarang mau ke mana lagi dia? Aku menyekanya, agar El tidak merasakan kesedihanku.

"Tuan… Mau ke mana pagi-pagi begini? Bawa koper segala? Mau kemping?"

"Saya akan tinggal di hotel untuk beberapa hari ke depan… Jadi, tolong jaga Helin baik-baik, bi!"

"Hotel? Apakah ada urusan pekerjaan?"

Emanuel dingin. "Itu bukan urusanmu!"

Tidak biasanya dia seperti itu jika berhadapan denganku. Namun aku tetap berusaha baik kepadanya. "Sarapan dulu!"

"Aku tidak selera…"

"El!"

"Minggir!"

"Ada masalah apa sebenarnya, sehingga kau melakukan ini? Kau sengaja ingin menyakitiku, El?"

Lin.

Kau berusaha keras setegar ini. Tapi tidak, kau menangis lagi. Gue pun berpaling. Agar hati ini tidak semakin rapuh. "Lebih baik aku pergi, daripada selalu membuatmu menderita…"

"El! Berhenti!"

Gue tetap melangkah. Sejauh mana kau menghalangiku, aku akan tetap pergi, Lin. Agar aku pun memiliki ruang untuk sendiri dan berpikir dengan jernih. Lagipula. Ini demi kebaikan kita bersama, Lin. Supaya tidak ada lagi yang tersakiti. Antara kau dan aku. Juga cinta pertamamu itu.

"Jalan!"

Pak Brandon menurut. Miris. Tuannya yang gagah akhirnya rapuh juga. Beliau tak henti-hentinya menangis selama perjalanan. Meratapi nasib hubungannya dengan Helin.

I love you so much, Lin. Tapi dia adalah cinta pertamamu. Sedangkan benar sejak awal, kau membenciku. Walaupun sejuta cara aku berusaha untuk menjaga hati ini untukmu, sepertinya itu tiada arti. Apakah ini saatnya aku melepaskanmu?

***

"Bagaimana, bu He Lin?"

"Hah?"

"Project ini? Sudah fix?"

"Ya… Fix!"

"Apakah perlu anda pelajari dulu konsep kami?"

"Tidak usah! Kalian atur saja, sebaik mungkin! Aku percaya dengan pekerjaan kalian..."

Tim agensi kreatif itu tampak bingung. Tidak biasanya Helin tak berselera seperti ini. Dia selalu energik dan penuh ide. Tapi kali ini, Helin terlalu sering diam. Bahkan tatapannya cenderung kosong.

"Baik. Kalau begitu, kami akan develop ini semua, jika sudah selesai, kita bicarakan lagi langkah selanjutnya…"

"Oke!"

Dari kejauhan. Itu dia, Helin. Gue langsung bergegas menghadap. Untuk memeluknya lagi.

BRUGH!!

Brandon yang menyelinap di antara pengunjung kafe, tiba-tiba saja menghantam David. Agar tidak lagi mendekati nyonya-nya.

"Ayo, non! Kita pulang!"

"Brandon! Bagaimana bisa kau di sini! Sementara sejak kemarin saja, kau susah dihubungi! Bagaimana kabar Emanuel? Apakah dia baik-baik saja?"

"Nanti saja saya jelaskan, jika kita sudah sampai di mobil!"

"Bisakah kau antar aku ke rumah sakit? Oh, tidak-tidak! Dia bilang, dia sedang menginap di hotel… Bisakah kita ke sana? Sekarang juga?"

"Percuma! Tuan sedang berada di luar kota!"

"Apa!"

***

"Terima kasih sebelumnya, anda meluangkan waktu untuk saya, tante."

"Ya, David Cello! Cepat bicara saja! Tak usah bertele-tele!"

"Saya adalah teman sekolah Helin… Jadi saya tahu betul asal usul Helin. Dia adalah anak kandung dari Liu Da Lan dan Liu He Na. Mereka bercerai tujuh tahun yang lalu, dan He Na menikah lagi dengan Christoper Riyadi Helu. Lalu berganti nama menjadi Sandara Helu. Ini adalah buktinya!"

Foto-foto ini. Kenangan Helin kecil bersama orangtuanya. Hingga dewasa ini, wajah Sandara tidak pernah berubah. Tidak… Ini tidak mungkin. Mustahil, ini pasti jebakan.

"Ya, bisa saja Helin sengaja mendekati putramu hingga berujung pernikahan, hanya untuk memata-matai anda…"

Aku kesal. Tanpa sadar, meremuk foto Liu He Lin bersama Sandara Helu. Kurang ajar! Beraninya kau, He Lin!

"Lalu, apa yang kau inginkan dariku?"

"Tidak ada! Saya lega sekarang, telah jujur dihadapan anda. Boleh, saya pamit?"

"Silahkan!"

Gue dapat merasakan aura kebencian menyirat dari lubuk Adhira Batari Pradipto. Ya! Mati kau kali ini, Emanuel! Liu He Lin… Ini kan, yang kau mau? Percerai kalian sudah diujung tanduk. Nikmatilah!

***

Teror pecahan telur, ikan laut dan serpihan darah segar dari botol kaca yang sengaja di lempar hingga pecah, kini berceceran di mana-mana menghiasi pintu utama apartemen Emanuel Pradipto. Bibi Nur langsung menghubungi Brandon agar segera datang ke apartemen sekarang juga, karena tuannya tidak bisa dihubungi. Sungguh. Kami sangat takut.

Ini pertanda tidak baik. Helin dalam bahaya. Maka sambil menunggu Emanuel datang, Brandon mengajak Helin dan bibi Nur pergi dari apartemen. Ke sebuah Vila pribadi terpencil yang sukar akses sinyal, di kawasan Puncak-Bogor. Ketika bersiap pergi, tiba-tiba saja Adhira datang menghadap.

PLAK!!

Brandon dan bibi Nur terkejut. Dhira menampar Helin dihadapan mereka berdua.

"Ma!"

"Mau ke mana kau, jalang?"

"Ma!"

"Apa ini? Koper? Apakah ini isinya aset keluarga kami? Oh atau kau tahu kode brangkas Emanuel?"

"Apa yang sedang anda bicarakan, nyonya?"

"Jangan belagak bodoh kau, jalang! Aku tahu kau adalah putri kandung Liu He Na! Alias Sandara Helu!"

Tuhan.

Cobaan apalagi ini? Siapa Sandara Helu?

"Maaf, jika saya punya salah dengan anda dan putra anda, nyonya yang terhormat, saya sangat menyesal! Jika kalian ingin saya pergi, saya akan pergi!" Aku tak bisa membendungnya. "Oh ya, pak Brandon. Bibi Nur. Cukup sampai di sini saja pertemuan kita. Terima kasih, kalian selalu menemani saya, menjadi teman yang baik untuk saya selama ini. Terima kasih sekali lagi, selamat tinggal!"

"Tapi non Helin…"

"Tak usah khawatirkan saya! Bye!"

Aku pergi meninggalkan mereka. Menolak mentah-mentah tawaran Harianto untuk mengantarku. Dan aku akan segera memproses perceraian kami. Dengan begitu, tidak akan ada masalah lagi di antara kami.

Sesampainya di lobi utama, aku masuk ke dalam taksi yang lewat. Menuju terminal bus. Aku akan berangkat ke Sukabumi. Karena jika saja aku kembali ke Semarang, Emanuel akan lebih mudah mendeteksi keberadaanku. Di Sukabumi, aku akan menemui seorang teman yang kebetulan dulunya kuliah Hukum. Semoga dengan begini, proses perceraian kami mendapatkan titik terang.

Baru saja taksi melintas, Emanuel datang. Ia tidak tahu Helin ada di taksi yang baru saja pergi meninggalkan apartemen. Pria itu panik, langsung bergegas ke atas.

"LIU HE LIN!"

***

Terlambat. Helin sudah pergi. Emanuel mati rasa. Separuh jiwanya kini sudah tiada di sisinya. Penderitaan pun belum berakhir. Banyak pertanyaan dari Adhira terlontar, salah satunya adalah kenapa kamar kami masing-masing? Sebenarnya, pernikahan macam apa ini?

"Baiklah! Bukankah kau yang selalu memaksakan kehendak agar aku menikahi Liu He Lin! Aku lakukan itu, ma! Aku lakukan, hingga aku jatuh cinta kepadanya! Karena apa? Karena benar katamu, dia orang yang sangat baik! Tapi sayangnya, dia tidak mencintaiku! Itulah masalahnya! Aku pikir, dia hanya butuh waktu untuk belajar mencintaiku. Tapi aku salah…"

"Apakah kau tahu dia anak kandung Liu He Na, alias Sandara Helu!?"

Emanuel tersentak. "Dari mana kau tahu itu, ma!"

"Oh, jadi selama ini kau coba membodohiku, ya… Bagus! Bagus sekali! Demi ambisimu, kau rela melakukan semua ini, nak? Hebat kau ya, hebat sekali…"

Ambisi!? Ya, mungkin aku rela berkorban mempertaruhkan segalanya, hanya demi ambisi… Bukan atas dasar cinta. Tapi hati ini, kenapa rasanya pedih sekali?

"El… Kau menangis demi perempuan jalang itu? Sungguh, terlalu, kau ya!"

"Ma! Tahu dari mana kau tentang masa lalu Sandara Helu?"

"Itu bukan urusanmu!"

"Siapa?"

"Yang pasti, dia sedang berusaha untuk mendapatkan cintanya kembali…"

Paham. "Cello…"

Bangsat.

***

Emanuel menggeledah isi apartemen di hadapan Adhira langsung. Semuanya masih utuh tak tersentuh. Bahkan isi brangkasnya tak hilang sedikit pun. Dokumen-dokumen penting ini, masih tersusun rapih. Seperti sedia kala. Juga ketika masuk ke dalam kamar Helin, gadis itu tak membawa apa pun. Termasuk pakaian-pakaian pemberian Emanuel. Perhiasan ini, cincin pernikahan kami, bahkan dokumen restoran barunya yang masih dalam proses kreatif awal. Dia tidak membawanya sama sekali. Secuil pun, tidak.

"Apa ini!" Adhira benar-benar kesal. Beliau tidak percaya, bahwa pernikahan yang dikiranya ini adalah sungguh-sungguh sakral, rupanya hanya sekedar tameng. "Pernikahan Kontrak?"

"Ya! Dia yang buat itu semua, berisikan tentang peraturan-peraturan yang sengaja dibuatnya, demi menjaga kehormatannya!"

Adhira melemas. "El… Dia masih perawan?"

Emanuel tertunduk, sambil tak kuasa menitikkan air matanya. Adhira makin lemah. Tuhan. Helin benar-benar orang baik. Apa yang telah kau lakukan! Tangan ini. Telah menodainya.

Wait. Ada hal yang menganggu gue. Foto Daniel Cello di tempat sampah. Di sobek-sobek sedemikian rupa.

Apa yang terjadi sebenarnya selama gue tidak ada di sini? Apakah hubungan mereka kandas ditengah jalan, maka Cello merencanakan teror ini dan sengaja menemui Adhira untuk membeberkan apa yang terjadi sebenarnya tentang kehidupan masa lalu kelam Helin?

Gue mulai panik. Pria itu, sudah gila rupanya. Dia ingin Helin kembali kepadanya dengan cara sampah seperti ini!? Aku tak akan membiarkanmu jatuh ke dalam pelukan Cello sekali lagi, Lin.

"Ma! Lihat ini semua! Helin pergi, tidak membawa satu pun benda berharga dari sini! Itu berarti, dia tidak mengincar harta keluarga kita! Juga, aku diam-diam mempelajari bisnis kalian di pasar. Bukankah saham properti milik Riyadi Helu sedang dibawah perusahaan kau! Namun ada beberapa surat yang hilang. Yaitu akta pernikahan kami."

Adhira memutar bola matanya. Ada benarnya juga. Aku makin terpuruk. Menangis sejadi-jadinya, meminta maaf kepada Liu Da Lan. Aku tidak becus menjaga Liu He Lin. Tidak becus…

"Ma!"

"Mama salah…"

***

David Cello pun pada akhirnya menjadi buronan. Dengan hukuman pasal pencemaran nama baik ditambah kasus peneroran kemarin. Sedangkan gue, sudah mendengar kesaksian bibi Nur, Harianto dan Brandon. Mereka sampai hati menangis saking sedihnya mendengar curahan hati Helin di saat Emanuel tak ada di sisinya. Salah satunya adalah saat malam itu. Helin tidak tidur sama sekali, gelisah sampai tuan pulang. Dan yang sangat menyedihkan lagi, non Helin malah melihat tuan pulang tak karuan dini hari. Lalu paginya, tuan dengan sinisnya pergi begitu saja meninggalkan Helin.

"Kasihan non Helin, tuan. Kalau saja beliau tak punya perasaan apa-apa terhadap tuan, untuk apa beliau sampai hati terpukul menghadapi tuan yang acuh tak acuh saat itu?"

Adhira pun makin terenyuh. Terharu mendengar kesaksian mereka. Helin benar-benar baik. Aku salah. Aku menyesal telah berpikir buruk tentangnya. Tuhan. Kumohon. Kali ini saja. Aku berharap, dapat bertemu dengannya sekali ini saja, Tuhan. Memeluknya erat. Erat… Sekali. "Baiklah! Karena aku salah, aku akan mencari tahu di mana keberadaan Helin, sebelum dia pergi ke Pengadilan Negeri untuk mengurusi perceraian kalian!" Aku menghubungi seseorang. "Bryn! Ada tugas untukmu…"

***