Finally. Pernikahan kami di depan mata. Semua persiapan sudah matang, yeah. Walaupun secara keseluruhan buah pikiran berikut embel-embelnya, semua diserahkan kepada Wedding Organizer. Sedangkan Helin tidak pernah membantah sama sekali. Pasrah. Baiklah. Kalau begitu, biar gue yang turut andil. Konsep pernikahan kami harus sederhana adanya. Serba putih. Namun anggun. Indah bak pernikahanan negeri dongeng. Kami hanya mengundang beberapa keluarga dan kerabat terdekat. Juga, Emanuel telah menyiapkan pesawat pribadi untuk menjemput saudara-saudara Helin dari Semarang. Ssstt! Tentu saja, ini kejutan!
***
"Ya ampun! Aku nggak nyangka, besok lusa keponakanku akan menikah!"
"Anak itu… Tidak ada kabar, jarang pulang, tahu-tahu malah kasih undangan pernikahan…"
"Nasib baik kau, Liu He Lin!"
"Aku juga sudah tidak sabar mau ketemu Liu Da Lan!"
"Hei! Hei! Itu, lihat! Nama kita!"
"Benar! Itu pasti orang yang akan mengantar kita ke tempat penginapan…"
"Tidak-tidak! Aku ingin bertemu keponakanku lebih dulu!"
"Selamat siang, tuan dan nyonya! Selamat datang di Jakarta! Saya yang akan mengantar anda ke rumah nyonya Liu He Lin!"
"Apa? Rumah? Yang di daerah kumuh itu? Apakah kita akan tinggal di sana untuk sementara waktu?"
"Tidak, nyonya! Lebih tepatnya, di Pondok Indah!"
"Hah!" Empat belas orang. Semuanya melongo. "Pondok Indah, katamu?"
"Baiklah! Jangan banyak bicara lagi! Ayo kita berangkat!"
***
Pintu gerbang utama terbuka. Aku tersentak. Siapa gerangan yang datang siang-siang begini? Biasanya jika Emanuel yang datang, dia memberitahuku sebelumnya. Padahal aku sedang sibuk dengan laptop. Satu-satunya aset yang aku punya saat ini. Dari sinilah, aku mencari bisnis sampingan. Seperti menawarkan menu-menu makanan sehari-hari ke media sosial, juga marketplace. Sekarang, aku punya beberapa pelanggan. Bahkan ada pesanan katering acara ulang tahun anaknya teman instagramku di Jakarta Barat, yang berlangsung dua minggu kedepan. Aku pun bergegas keluar. Melihat siapa gerangan yang berkunjung.
Nampak tiga mobil berjejer berhenti di depan pintu utama yang disambut pilar-pilar besar. Ketika mereka turun, aku terkejut. Mereka itu, saudara jauhku. Mereka datang langsung dari Semarang. Mustahil. Bagaimana bisa!
"LIU HE LIN!!"
"Ape! Ncek! Ncim! Sa pe! Sa em! Ya ampun, sepupu-sepupuku! Sekarang sudah pada besar kalian, ya!"
"Cici He Lin!"
"Iie Lin!"
"Halo, iie…"
Haru. Mereka semuanya lengkap, datang ke Jakarta menghadapku. "Ayo masuk-masuk!"
"Jadi ini rumah baru kau, Lin?"
"Bukan!"
"Apakah calon suamimu yang membelinya untukmu seorang?"
"Bukan begitu… Tapi ncim, tahu dari mana aku akan menikah?"
"Emanuel Pradipto. Dia yang mengirim undangan pernikahan kalian kepada kami!"
"Hei, anak-anak! Jangan nakal, ya!"
Rumah ini mendadak ramai. Keponakanku ada yang sudah remaja namun ada juga yang masih kecil. Mereka bermain seperti berada di taman bermain. Mengitari seisi rumah ini dengan riangnya. Bahkan ada yang nekad terjun ke kolam renang. Ya lah. Terserah kalian mau apa. Sampai kalian puas.
"Kalian boleh bermain, asalkan jaga perabotan yang ada di sini, jangan sampai ada yang pecah! Hei, dengar itu anak-anak!"
Mereka serentak bilang, "Iya, iie galak!"
"Ish! Kalian ini!"
Ponselku tiba-tiba saja berdering. Loh kok, bisa? Bukannya ponselku dulu sudah hancur lebur? Ya, ini aku yang beli sendiri. Dengan sisa tabunganku. Tentu saja si keparat itu sempat kesal. Tapi masa bodo, dia mau bilang apa. Aku tidak peduli. Hingga akhirnya dia kembali baik kepadaku. "Halo!"
"Lin! Apakah keluargamu sudah tiba di rumah?"
"Ya!"
"Bagus! Aku akan datang dalam waktu lima menit!"
Celaka. Pria itu akan segera sampai. Aku harus apa? Tentu saja harus bertindak tegas kepada keluargaku, dan menenangkan suasana seisi rumah. Tapi mereka seolah tuli. Sebuah klakson terdengar begitu lantang. Itu Emanuel. Mati aku, mati.
"Liu He Lin!"
***
Suasana mendadak beku. Semua mata tertuju kepada pria tampan dari balik pintu utama. Lalu terkesima seolah bertemu soerang artis sinetron favorit mereka. Emanuel salah tingkah. Sambil terkekeh. Dan menyambut mereka dengan tangan terbuka. Tanpa harus pedulikan porak-porandanya rumah ini.
"Oh ya! Di mana Liu Da Lan?"
Emanuel tersentak. Apakah Helin tidak pernah memberitahukan apa yang telah terjadi selama ini?
"Oh itu… Hm…"
Helin kembali sedih. Namun Ia tampak lebih tegar dari sebelumnya. Aku menunjuk ke sebuah altar Tuhan. Di sana, ada foto Liu Da Lan. Berwarna hitam putih.
"Tidak mungkin…"
"Itu tidak benar kan, Lin!"
"Jawab pertanyaanku! Bagaimana bisa beliau… Oh Tuhan, apa yang sedang terjadi sebenarnya di sini, Lin!"
Helin pun tak kuasa menceritakan pengalaman pahitnya satu bulan terakhir. Sebenarnya, aku yang bersikeras menyembunyikan semua ini, dari keluargku, agar tidak membuat mereka semakin sedih dan kecewa. Namun tak disangka, Emanuel malah mengundang mereka ke Jakarta. Datang ke sini, untuk menyaksikan pernikahanku dengan pria itu. Yang jadi pertanyaan bagiku adalah, tahu dari mana dia tentang keluargaku di Semarang? Aku pun mengajak Emanuel ke ruangan yang sepi, jauh dari bising. Untuk bicara empat mata.
"Oh itu… Aku…"
"Jawab! Jangan bertele-tele! Cepat!"
"Bahkan aku tahu tentang perceraian orang tuamu tujuh tahun yang lalu, Lin. Liu He Na, dia kini menetap di Singapura."
"Apa yang loe katakan?"
"Maafkan aku, telah diam-diam memanipulasi informasi tentang siapa dirimu yang sebenarnya kepada orang tuaku. Mereka berdua tidak tahu menahu Liu He Na adalah orangtua kandungmu yang berujung perceraian dengan Liu Da Lan, lalu menikah lagi dengan Riyadi Helu. Sang penguasa properti terbesar di Singapura dan negara Asia lainnya. Mereka bersaing dengan perusahaan orangtuaku. Mereka rival kami, Lin! Jika saja mereka tahu yang sebenarnya, hubungan kita tidak akan sejauh ini!"
"Heh! Bedebah! Asal loe tahu satu hal! Gue menderita seperti ini juga berkat ambisi loe! Dan gue di sini, bertahan, itu demi apa! Demi siapa?" Helin kembali menetaskan air mata, "Demi siapa gue tanya!"
"Look at me!"
Emanuel menatapku tajam, dan lekat. Tidak-tidak. Perasaan ini tidak pernah ada sebelumnya. Sudah kupastikan, aku merona. Matang seperti tomat. Belum lagi, denyut nadi ini. Berdetak cepat sekali, bagaikan habis lari marathon. Tidak ada cara lain selain aku berpaling. Namun tega kau, Emanuel. Dengan sekali sentuh, pandangan kami kembali menyatu. Aku pun tak kuasa membendung perasaan meluap ini. "Please, El!"
"Liu He Lin! Kau di mana?"
"Iya, Sa em! Aku di sini!"
Helin cepat-cepat mendorong tubuh Emanuel, jauh-jauh darinya. Kemudian mengontrol emosinya dan menghapus air matanya.
"Kau ini… Kenapa tiba-tiba menghilang? Hai, tampan! Apa yang sedang kalian lakukan di sini, berduaan? Oh, aku maklum! Lusa juga kalian akan resmi menikah…" Delik Sa em genit. "Sebenarnya aku tidak mau menganggu waktu kalian berdua… Tapi bisakah kau antar kami ke pemakaman Liu Da Lan?"
"Oh, itu! Jangan berpikiran aneh-aneh, Sa em! Kami hanya sekedar mengobrol…"
"Sudahlah, jangan dipikirkan terlalu berlebihan! Aku sangat paham!"
"Ish! Sa em ini!"
"Hei, Lin! Aku cari sampai ke atas-atas… Ada di sini ternyata… Kata Sa em, kita mau ziarah ke makam Da Lan? Benar?"
"Benar!" Tegas Emanuel. Gue merengkuh jemari Helin. Dan memberikan kode agar Ia menurut kali ini. Demi kebaikan bersama. "Ayo! Kita berangkat sekarang!"
"Baiklah, ayo!"
"Astaga! Mesranya kalian berdua ini…"
"Bikin iri saja!"
Aku menarik napas dalam-dalam. Dan menghembuskan perlahan. Sabar, Lin. Sabar!
***
Doa untuk Liu Da Lan begitu khusuk di kumandangkan. Aku bisa merasakan kehadiran beliau di sini. Walaupun aku tidak dapat melihatnya dengan jelas, namun hati ini begitu lapang. Menandakan beliau telah berbahagia. Tiba-tiba saja, ncim histeris. Menangis sesegukan. Maklum, keluarga yang paling dekat dengan Liu Da Lan adalah beliau. Teman berbagi senang maupun susah. "Ko Da Lan… Pantas aku telepon, tidak pernah diangkat! Tahunya, kau sudah tiada… Lalu, bagaimana denganku?"
"Masih ada kami, ncim!"
"Aku harus curahkan hati kepada siapa lagi, jika bukan dengan kau, ko Da Lan!"
"Kami siap mendengar curahan hatimu, ncim! Iya kan, semuanya?"
"Tapi… Tapi… Beda! Kalian beda dengan koko!"
"Tenang, ncim! Tenang…"
"Ini karena kau, He Lin! Seharusnya sejak awal kau bilang kepada kami! Kalau sudah begini, lalu bagaimana?"
BRUGH!
"Ncim! Cim!"
"Beliau pingsan!"
Petir menyambar. Awan mendadak gelap. Gawat. Pertanda sebentar lagi hujan akan turun. Maka, mau tidak mau kami pamit kepada Liu Da Lan untuk pergi, mengurus ncim.
"Semoga kau berbahagia di sana, pa… Aku pergi dulu! Besok pagi aku akan kembali… Aku sayang Papa. Sampai bertemu besok!"
***
"Adikku, Liu Da Liem!"
"Da Lan? Benarkah itu kau, koko?"
"Ya, aku di sini…"
Silau sekali. Ini di mana? Hatiku. Kenapa lapang sekali?
"Itulah yang kurasakan sekarang, Liem!" Oh, demi Tuhan. Senyuman itu, aku sangat merindukanmu, ko Da Lan. Bahkan kini beliau begitu ikhlas. Dan makin tampan. "Aku baik-baik saja di sini, di sisi Tuhan… Jadi kau tenang saja, adikku! Tak usah kau khawatir berlebihan!"
"Puji Tuhan!"
"Pesan dariku untuk kalian. Tetaplah menjalani hidup sebagaimana mestinya! Harus semangat! Jangan banyak mengeluh! Terus berusaha! Tekun! Besarkan anak-anak kalian, dengan sepenuh hati! Jangan terlalu di manja, kalau tidak mau menyesal di kemudian hari!"
"Koko…"
"Jangan terlalu terlalut dalam kesedihan, adikku sayang, jikalau tidak ingin membuatku menderita berkat kesedihan kau di dunia…"
"Koko…"
"Ingat, jangan bersedih! Tersenyumlah!"
"Ya, ko! Baik!" Da Liem berusaha mengukir senyum terindahnya. "Terima kasih, kau masih mengingatkanku untuk tersenyum dalam kondisi segenting ini… Terima kasih, ko…"
"Ya… Ya… Sekarang, bangunlah! Jangan membuat mereka khawatir!"
"Baik…"
Liu Da Lan memberikanku pelukan hangat. Seketika, kesedihanku sirna. Bergantikan rasa ketenangan yang tiada taranya.
"Bagaimana, Liem? Apa yang kau rasakan sekarang? Sudah jauh lebih dari tenang?"
Liem semakin lapang. Dan mengangguk tegas. "Baiklah, ko! Aku mengerti sekarang…"
Liu Da Lan kembali tersenyum penuh arti. Kemudian, beliau menghilang begitu saja.
***
"Emanuel!"
"Ncim!"
"Kau sudah siuman?"
"Jaga Helin baik-baik! Jika tidak, habis riwayat kau, Emanuel Pradipto!"
"Kau ini, Liem! Baru saja sadarkan diri! Langsung memaki seperti ini!"
"Masalahnya, aku baru saja bermimpi bertemu Da Lan!"
"Benarkah? Apakah kau sedang bergurau?"
"Tidak! Beliau sudah bahagia di sana…"
"Puji Tuhan!"
"Kau dengar kan, Emanuel?"
"Iya, ncim! Aku paham sekali! Aku tak akan mengecewakan siapapun… Aku berjanji…"
"Kau juga, Liu He Lin! Dengar! Jangan mengecewakan kami juga! Awas kau ya!"
Aku menghela napas panjang. Kini aku harus apa? Aku benar-benar merasa terjebak. Padahal, aku sudah berniat untuk membuat surat kontrak pernikahan kami. Bahkan kini, sudah kuselesaikan dengan lebih dari seratus peraturan. Tinggal ditanda tangani kedua belah pihak, beres. Dengan begitu, aku akan merasa lebih aman, kelak jika tinggal satu atap dengan Emanuel. Dan aku berharap, kelak jika sudah waktunya kami pasti akan berpisah.
"Satu hal lagi! Yang paling penting, Lin! Berikanlah kami keponakan yang lucu dan menggemaskan!"
Aku tersedak. Begitu pula dengan pria yang selalu setia berada disisiku ini.
"Minum, Lin! Kau juga minum, Emanuel!"
"Kenapa kalian berdua bisa tersedak seperti ini, sih?"
Kami saling salah tingkah satu sama lain. Membayangkan tidur satu ranjang saja, aku geli. Apalagi punya anak darinya? Itu mustahil!
"Hm! Untuk kalian, saudara-saudaraku… Aku juga mau minta maaf kepada kalian…" Kami semua tertegun. Liem. "Aku telah bersikap manja kepada kalian… Selalu menyusahkan saja…"
"Liem!"
"Ncim…"
"Aku berjanji setelah ini, aku akan merubah sikap manjaku ini… Aku berjanji…"
"Mama…"
"Sayang…"
"Kami sayang mama…"
"Aku juga sayang kalian…"
"Sudah seharusnya kau berubah, Liem! Harus tetap semangat, dan banyak-banyaklah bersyukur! Agar kelak kau berhenti mengeluh sepanjang waktu!"
"Iya, ko. Benar kata ko Da Lan di dalam mimpiku… Beliau bilang hal sama seperti yang kalian katakan…"
Aku tertegun. Papa. Ternyata benar, beliau masih ada didalam hatiku, begitu pula sangat berkenan dihati keluarganya. Bahkan kini dunia kami sudah berbeda, namun papa tak pernah kenal lelah untuk mengingatkan kami agar tetap menjalani hidup dengan lapang, tidak boleh terlalu banyak mengeluh, atau itu sama saja membuat beliau resah di sana.
Maaf, pa, jika aku juga kurang bersyukur dalam hidup ini. Selalu menyalahkan keadaan, melawan takdir. Maaf, pa… Maafkan aku.
"Lin…" Gue terkejut, ketika Helin tiba-tiba meraih jemari gue. "Apa yang kau lakukan!" bisik Emanuel. Namun, aku tak berkata apa-apa lagi. Gue semakin tidak paham, apa yang terlintas dibenak gadis ini, hah! Bahkan, lihatlah. Dia dengan leluasanya bersadar di pundak gue. "Lin…" Gue pun memperkuat rengkuhan ini. Tidak ada perlawanan yang berarti.
El. Aku memang membencimu. Tapi, aku tidak ingin mengecewakan mendiang kali ini. Pelan tapi pasti. Walaupun itu sulit. Aku akan belajar untuk menerima kenyataan ini, jika benar kau adalah takdirku.
***
"BALI!" Seru keluarga Helin, sesenang itu. Jadi, kami menginap di rumah He Lin semalam, siangnya langsung berangkat ke pulau Seribu Dewata ini. Dan bergerak cepat untuk mempersiapkan segalanya. Ya. Kami akan melangsungkan pernikahan di sini. Pesta kebun. Di tepi pantai.
"Oh, aku pikir He Lin akan menikah di salah satu gedung di Jakarta, bernama Bali. Ternyata, kita benar-benar ke sini!"
"Indahnya, Bali…"
"Liu He Lin! Kau ini, diam-diam ternyata menghanyutkan ya! Pandai sekali menemukan jodoh yang tepat! Sungguh, kau beruntung mendapatkan calon suami selayaknya Emanuel, Lin!"
"Biasa saja, ncim."
"Dengar, Lin! Ini pria, bukan sembarang orang! Dia juga kelihatannya tulus mencintaimu. Jadi, aku harap kau bisa jaga hati untuk dia seorang!"
"Jangan sampai apa yang Da Lan alami, kau juga akan mengalaminya!"
"Berjanjilah kepadaku, Lin!"
"Sa em…"
Aku terenyuh. Pernikahan ini, bukanlah kehendakku, jadi tolonglah jangan membuatku semakin terpojok dan merasa bersalah. Bagaimana bisa aku bertahan hidup dengannya, sedangkan hatiku saja, hanya dia seorang yang kurindukan. Cello.
Lin. Cukup! Lupakan Cello!
"Nona Liu He Lin! Kau sudah siap?"
Aku sudah secantik ini, mengenakan gaun putih yang sakral ini, siap mengikat janji suci di hadapan Tuhan. Dengan wajah tertutup kerudung putih, aku mengangguk perlahan. "Ya… Aku siap!"
***
Wedding Organizer yang menangani pernikahan kami, bekerja sangat baik dan profesional. Berkat mereka, acara berjalan sangat khusuk dan indah. Mulai dari pemberkatan yang penuh haru, hingga pesta di pinggir pantai di sore harinya. Kami membaur di tengah pesta. Bersenda gurau. Sambil menikmati pemandangan matahari terbenam di tepi pantai. Sambil dialuni lantunan instrumental lagu-lagu romantis. Hingga berujung kepada acara yang paling ditunggu-tunggu, yaitu wedding kiss.
Tidak-tidak.
Lin. Kau menangis? Di hari bahagia kita?
Baiklah.
Aku pasrah, El. Namun tetap saja, hati ini masih belum siap. Maafkan aku…
Emanuel.
Apa yang kau lakukan! Kau mengecup keningku?
Seruan dari undangan bergemuruh. Gemas karena Emanuel hanya mengecup kening Helin. Hei, El! Bukankah kau sangat lihai memperlakukan perempuan di luar sana dengan sangat baik? Come on!
Emanuel kemudian menoleh kepada para undangan. Sambil terkekeh, lalu menggelengkan kepala. Ia tidak peduli para undangan yang sangat mengenalnya, akan kecewa. Gue tak peduli. Liu He Lin, karena gue tak ingin dia makin terpuruk karena gue harus mencium bibirnya, dan itu adalah hal tabu yang belum pernah dia lakukan seumur hidupnya.
Air mataku lagi-lagi tak bisa dikompromi. Kemudian, Emanuel memelukku. Tidak ada pemberontakkan yang berarti.
"Kau tidak usah khawatir, Lin! Aku akan terus menjaga kehormatanmu dan birahiku hingga saatnya tiba…"
Ya. Aku menghapus air mataku. Terima kasih, El. "Sudahlah! Jangan memelukku seerat ini! Aku sesak…"
"Are you okay?"
"Ya."
"Apa yang terjadi ini? Kenapa mempelai kita malah bersedih?"
"Ini pasti karena El tidak mencium bibirnya!"
"Ya itu pasti benar!"
"Ayolah, El! Di mana jiwa kejantananmu!"
"Tidak… Tidak… I'm sorry. Aku hanya ingin menikmatinya di malam pertama kami!"
"Oh, kau ini memang menyebalkan!"
Gue semakin terkekeh sambil merengkuh Helin sambil berusaha memberikan sedikit celah agar dia bisa bernafas lega dan leluasa. Kemudian. Perlahan. Mata Emanuel terpejam. Seolah sedang berdoa. Tepat di tengah-tengah pemandangan langit jingga.
Oh Tuhan, betapa aku bahagia di hari pernikahanku ini, berkat-Mu, untuk pertama kalinya Helin berterima kasih kepadaku setulus itu. Aku bahagia sekali, Tuhan. Itu adalah hadiah terbaik kami, di pernikahan yang sakral ini. "I love you so much, Lin!"
***
"Shit!"
Emanuel menikah dengan Liu He Lin semalam? Di Bali? Berita macam apa ini? Sedangkan gue, masih sibuk mengurus kepindahan gue di sini. Tentu saja ini akan semakin sulit bagiku untuk merebut hatimu untuk kembali kepadaku, Lin.
God. Berapa lama lagi gue harus menunggu dokumen-dokumen kepindahan gue selesai? Karena demi apa, gue tidak akan pernah membiarkan Helin jatuh cinta lebih dalam lagi kepada keparat Emanuel. Gue harus bisa merebutnya, apapun yang terjadi. Harus!
***
Ini adalah malam pertama kami. Di Hotel bintang lima, di tepi pantai yang sangat indah pemandangannya. Di kamar VVIP. Aku tidak berhenti berdecak kagum di dalam hati.
"Bagaimana, Lin? Apakah kau menyukai tempat ini?" Celetuk Emanuel setelah mandi. Dia hanya memakai celana pendek.
"AAAAAAAA!!!" Aku panik. Apa yang sedang dia lakukan? Kenapa harus telanjang dada? Bukankah itu menggelikan? Oh God! Six pack! Helin, hei, sadar! Sexy. "AAAARRRRGGGHH!!" Apakah aku sudah gila? Aku pun semakin panik, ketika dia mendekatiku. Langsung aku hantam saja dengan bantal.
Emanuel tergelitik. "Aku habis mandi! Wajar telanjang dada! Dan pakaianku ada di lemari tepat di belakangmu!"
Aku langsung mangkir. Emanuel semakin terbahak. Berkat tingkah Helin yang menggemaskan.
"Diam loe! Jangan tertawa!"
"Bagaimana aku bisa menahan tawa, kalau istriku ini sedang salah tingkah! Kau tenang saja, Liu He Lin! Memang benar ini adalah malam pertama kita, namun aku akan tetap menjaga hasrat ini. Sampai kau siap!" Pria itu mengenakan pakaian kasual seperti biasa. Kali ini lebih santai. Biasa, tapi tetap saja. Tampan. Ya, kan. Lin! Mulai.
Aku mendengus sebal. Kenapa sih, pikiran itu senang banget terngiang-ngiang di dalam hati? Seolah ada yang sedang menghipnotisku. Agar aku tergila-gila kepadanya. Never! Pa. Maaf, aku sepertinya tidak bisa untuk membuka hati kepada pria menyebalkan ini.
"Aku akan menunggumu di lobby utama. Apakah tiga puluh menit cukup untukmu bersiap-siap?"
"Gue males keluar…"
"Dinner di Jimbaran? Kudengar, seafood di sana enak sekali!"
"Gue nggak minat kalau cuma kita berdua yang makan malam!"
"Come on! Keluargamu juga ikut!"
Ponsel Helin tiba-tiba berdering. Dari ncim. "Halo! Ncim! Ada apa!"
"Kami sudah siap berangkat! Kami tunggu kau di bawah, ya!"
Aku langsung terlonjak. Langsung masuk ke kamar mandi.
"Aku tidak bercanda, kan, Lin! Aku ke bawah dulu."
Karena aku tidak ingin membuatmu risih bersolek jika ada aku, Lin. Nikmatilah, cermin ini cukup lebar. Berdandanlah yang cantik, Lin. Dengan gaun malam yang sudah kusiapkan di kotak hitam di atas ranjang.
***
"Lin! Itu kau!?"
"Bukan! Ya iyalah, ncek!"
"Kau… Cantik sekali!"
"Masa sih?"
Aku menatap diri sendiri di depan kaca tembus pandang. Walaupun bayangannya samar-samar, namun lihatlah diriku. Aku saja baru sadar, bagaimana bisa aku berdandan secantik ini. Tidak biasanya. Dan gaun ini. Astaga. Kenapa aku memakainya?
"Lin…"
Pria itu kini ada di hadapanku. Charming.
Aku geleng-geleng kepala. Liu He Lin. Kenapa kau ini? Kenapa semakin lama, pikiran aneh itu selalu saja menghantuiku, melebihi dari batasan normal? Kalau begini terus, lama-lama aku bisa jatuh cinta kepadanya. Tidak-tidak. Ini tidak benar. Lin. Kau harus fokus!
Helin acuh tak acuh. Namun, tidak lama kemudian, dia merengkuh gue. "Ayo berangkat!"
***
"Loh-loh!" Seru Helin ketika di persimpangan jalan. Aku melihat dari kaca spion, mini bus yang membawa keluarganya berbelok berlawanan. Ini benar, daerah Jimbaran. Tapi ke mana mereka? Aku pun menelepon ncim. Untuk memastikan, mereka pergi ke mana. Rupanya, ini adalah buah kesepakatan bersama, antara Emanuel dan keluargaku. Aku kembali kesal.
"Maafkan aku, Lin!"
"Loe tuh ya, bisa nggak sih, berhenti bikin gue kesal!"
"Sebenarnya aku juga tidak mempermasalahkan kita makan malam bersama dengan keluargamu, Lin! Tapi mereka lah yang merencanakan ini. Agar kita berdua punya waktu bersama untuk candle light dinner yang tidak kupersiapkan sebelumnya…"
Mobil berhenti di sebuah restoran mewah. Pemandangannya tertuju ke arah pantai. Udara di sini dingin sekali. Angin lautnya begitu kencang. Hingga berhasil membuatku mengigil. Menyadari itu, Emanuel menutupi tubuh Helin dengan jasnya. "Udara di sini sedang tidak kompromi. Kita pindah ke ruangan tertutup saja! Ayo!" Pria itu tidak pernah meninggalkanku. Dia mengulurkan tangannya. Aku sempat menolak. Namun pria itu, meraih jemariku dengan sendirinya. Kemudian menggiringku ke dalam ruangan.
Kami pun dinner di ruangan khusus. Semua makanan di sini sangatlah berkelas. "Kau bisa pelajari semua yang ada di sini termasuk menu andalan mereka ini, Lin! Ya... Sekedar mengingatkan. Kurasa ini sangat bagus untuk referensi restoran barumu kelak…"
Aku diam. Seolah acuh. Namun ada benarnya juga. Maka Helin mencicipi semua menu yang dihidangkan dengan seksama. Ponselku tiba-tiba bergetar. Ada pesan masuk. Itu dari Adhira.
"Nikmatilah malam ini, Helin sayang! Aku punya beberapa tips agar kelak, kami tak usah menunggu lama untuk menimang cucu!"
Astaga.
"Kau tak apa-apa, Lin?"
Untung saja, aku bisa mengotrol emosi. Jika tidak, aku pasti akan tersedak.
"Bukan apa-apa… By the way, ini enak sekali…"
"Aku mendapatkan rekomendasi restoran di sini dari sopir kita. Setelah pulang ke Jakarta, kupastikan kau akan sibuk dengan persiapan restoran baru yang akan kau kelola. Apakah kau sudah punya ide?"
"Hm. Aku sebenarnya sudah terpikirkan, lebih baik terlibatkan masakan leluhur kita dari turun temurun. Tentu saja harus berkaitan dengan chinese food. Itu lebih prospek menurutku, jika memang benar pasarnya adalah keluarga Tionghoa. Apalagi zaman sekarang, zaman sosial media. Kita buat saja konsep interior dan menu semenarik mungkin, namun tetap terkesan klasik. Istilahnya, yang instagramable."
"Warisan leluhur, ya? Ide yang bagus! By the way, aku baru saja mendapatkan pesan dari mama."
"Ya, aku juga. Padahal itu jelas-jelas tidak mungkin terjadi!"
Emanuel tersipu. Really? Sedangkan lihatlah engkau kini! Kau pun pada akhirnya terperangkap di zona nyaman jika berada di dekatku, nona. Tidak lagi sekaku dulu. Bahkan pembawaanmu kini, lebih tenang. Dan lebih santai menghadapiku.
Kita lihat saja, nona.
Sejauh mana kau bisa menghindar dari kekuatan pesonaku, Liu He Lin.
Sudah jam delapan malam. Live music memulai pertunjukkan. Sebuah lagu romantis, mengalun. Emanuel mengulurkan tangan untuk berdansa. But I can't, El. I'm sorry.
Gue tak akan melewatkan momen ini. Dengan lembut, pria itu kembali meraih jemari Helin dan menggiringnya ke lantai dansa. Emanuel lihai sekali. Ya iyalah. Secara, dia playboy. Dan aku sesali itu. Tentu saja suasana romantis, ini bukanlah yang pertama kali baginya. Tapi tidak bagiku. Ini adalah malam terindah. Eits. Maksudku, suasana tempat ini. Indah. Ya, restoran ini… Tampan. Bukan-bukan! Cantik, menurutku. Kau. Terlalu. Sempurna.
Aku menghela nafas jengkel. Yalah, terserah!
***
Sepulang dari dinner, kami kembali ke penginapan. Keluargaku sudah kembali sejak satu jam yang lalu, dan tidak keluar kamar lagi. Sepertinya mereka sangat menikmati liburan mereka sehingga lelah, lalu beristirahat. Sementara kami, tidak mungkin aku berdua tidur di dalam satu ruangan.
"Kenapa lagi, Lin?" Tegur Emanuel. "Sudahlah, tak usah tegang! Ruangan ini begitu besar. Ada beberapa bilik di sini. Aku akan tidur di bilik ini, sedangkan kau di bilik utama!"
"Good!" Aku langsung mangkir. Masuk ke dalam kamar utama. Lalu mengunci pintu rapat-rapat. Kamar yang nyaman. Barang-barang dan pakaianku di dalam koper, ada di sini. Aku pun bersiap-siap diri untuk tidur.
Ponselku kembali berbunyi. Ada pesan masuk, dari ncim. Beliau hanya ingin memastikan, apakah aku sudah pulang atau belum. Lalu. Berujung memberikanku wejangan di malam pertama. Ish! Aku menjatuhkan tubuh di atas tempat tidur yang comfy ini. Aku bisa mendengar deruan ombak secara dekat. Oh itu, ada balkon. Di luar juga sepertinya tidak terlalu gelap, dibantu sinar lampu. Aku pun merengkuh tubuhku dengan balutan sweeter. Kemudian membuka lebar pintu balkon yang mengarah pemandangan laut.
"Hai!"
"Loe!"
Helin kembali jutek. Aku tersenyum lebar. Perempuanku kini kembali. Kami sama-sama di balkon. Hanya berbeda satu petak. Aku di bilikku, dia di biliknya. Sambil menikmati alam yang mempesona.
"Belum tidur?"
"Menurut loe!"
Ponsel gue berdering. Dari mama. Come on, Adhira. "Halo! Sayang!"
BUKKK!!
Sebuah sandal hotel melayang menimpa Emanuel. Helin yang melempar. Kini gadis itu, tampak kesal sambil membanting pintu masuk ke dalam bilik. BIP! Pesan masuk. Dari si keparat itu. Yang dengan mudahnya mengumbar kata sayang kepada orang lain, dihadapanku, lebih tepatnya kepada istrinya sendiri. "Helin. Apakah kau baik-baik saja? By the way, yang telepon tadi, itu adalah orang tuaku, Lin. Bukan dari siapa-siapa. Percayalah! Ini buktinya!" Pria itu mengirim screenshoot waktu, tanggal dan nomor tepat Adhira menelepon Emanuel. Bodo amat! Aku tidak peduli.
BIP!
"Jika kau tak membalas pesanku, itu berarti benar kau cemburu."
"Ngapain juga gue cemburu? Gue ngantuk. Jadi tolong jangan ganggu gue lagi! Paham!"
"Good night, Lin."
Aku tak lagi membalasnya. Satu menit, dua menit. Tidak ada pesan masuk lagi yang berarti. Jemariku seolah bergerak sendiri. Melihat profilnya. Dia sudah offline. Ugh!
Click! Dengan sekali tekan, lampu kamar menggelap.
Nite. El.
***
Aku dapat merasakan seseorang memelukku di atas ranjang. Siapa dia? Aku pun tersentak. Rupanya Emanuel. Kini dia ada di hadapanku. Telanjang dada. Merengkuhku penuh hasrat. Lalu, bibir kami melekat satu sama lain, seperti tubuh kami ini yang semakin lama semakin menyatu.
"El…"
Tak ada perlawanan yang berarti. Kenapa ini bisa terjadi? Kenapa aku tidak bisa menghentikan adegan mesra ini? Karena jelas, ini salah.
PLAK!!
"Oh my God!" Aku terbangun dengan nafas terenggal-enggal. Keringat dingin bercucuran tanpa henti. Aku sendirian di sini. Tidak ada siapa pun kecuali aku. Kupastikan pintu kamar terkunci rapat-rapat. Perlahan, aku menghembuskan nafas lega. "Just a dream!"
***