Di sela kesibukanku di Jakarta, tiba-tiba saja ada yang menghubungiku dari Singapura. Itu adalah suamiku, Edward. Dia memberitahukan informasi bahwa, "Kita menang tender!"
"Apa! Mustahil! Proposal yang kubuat belum selesai!"
"Aku yang telah menyelesaikannya…"
"Biasanya jika kau melakukan segala pekerjaanku, kau tidak akan bisa menyelesaikannya dengan baik!"
"Exactly! Kau memang benar! Ada beberapa hal yang perlu di revisi, sayang. Namun entah mengapa, mereka sangat berbaik hati saat ini. Mereka malah memberikan kita keringanan waktu kisaran dua minggu untuk pengajuan proposal ulang…"
"Mustahil."
"Namun itu kenyataannya…"
Aku menghela nafas lega. Semuringah. "Itu berarti, kita benar-benar menang tender?"
"Ya! Lebih tepatnya, kita telah mengalahkan Riyadi Helu!"
"Bedebah itu…"
"Jadi kapan kau akan pulang, hah! Atau perlukah aku menjemputmu sekarang juga?"
"Tidak-tidak! Aku sedang mengurus pemakaman Liu Da Lan!"
"Siapa?"
"Calon besan kita. Sayangnya, beliau telah berpulang lebih cepat. Mau tidak mau, aku yang harus mengurusnya."
"Jadi, kau telah menemukan calon istri El?"
"Ya! Liu He Lin namanya!"
"Really?"
"Seharusnya aku ingin sekali membuat kejutan untukmu. Tapi apa daya, sekarang kau sudah tahu kebenarannya…"
"Puji Tuhan! Great job, sayang! Aku merindukanmu. Cepatlah pulang!"
Lagi-lagi, aku menitikkan air mata. Terharu. Terima kasih, Tuhan. Finally, setelah sekian lama, akhirnya kami memenangkan tender. Terutama untuk proyek kali ini. Project yang sangat berpotensi dan cemerlang ke depannya. Thank you so much, Lord. "I miss you too, Edward…"
***
Banyak hal yang dilakukan Emanuel agar Helin bisa tersenyum lagi, setelah kepergian Da Lan. Seperti memberikan kejutan-kejutan romantis. Salah satunya adalah rumah mewah di kawasan elit dan sebuah mobil. Awalnya, Helin menolak. Namun. Apa daya, kediamannya di bilangan Glodok, kini sudah beralih fungsi secara keseluruhan, menjadi bengkel pengrajin perhiasan. Di pelopori oleh om Kyun Ho. Beliau keturunan Korea Selatan, beliau lah yang paling mahir mengukir perhiasan setelah mendiang. Maka sudah pasti, tidak bisa dipungkiri Kyun Ho dapat diandalkan. Bukan itu saja. Emanuel juga sudah mempersiapkan tempat strategis yang akan menjadi restoran baru. Tentu saja, kelak Helin yang akan mengelolanya.
Keparat. Dia pikir, dengan semudah itu gue bisa terima semua ini? Dikira, gue sebanding dengan cewek-cewek matre yang pernah singgah dipelukannya?
"Lalu jika tidak di sini, kau mau tinggal di mana? Di apartemen? Bersamaku? Oh, itu jauh lebih bagus!"
"Lebih baik gue gelandangan, daripada harus menerima semua ini!"
"Lin! Apakah kau lupa pesan terakhir beliau?"
"Apa hubungannya?"
"Kenapa kau terus-terusan menolak segala yang kuberikan, Lin? Asal kau tahu saja! Itu adalah salah pertanda bahwa aku mencintaimu! Bahkan fasilitas ini semua, tak sebanding dengan perasaanku kepadamu, Lin… Jadi. Kumohon, kau mau menerimanya, dan tolong janganlah kau membantah lagi! Atau apakah kau mau, beliau akan bersedih di atas sana, jika mengetahui bahwa aku tidak becus menjagamu!"
"Lin."
Aku mendengar seseorang menyebut nama panggilan kecilku. Suaranya sangat khas. Papa? Lagi-lagi aku melihatnya di dalam hatiku. Ini bukan sekedar halusinasi. Apakah ini pertanda beliau marah kepadaku karena seenak dengkul membantah Emanuel?
"Ingatlah pesan terakhirku!"
Pa. Kumohon.
"Aku tidak bisa tenang di sini, jika kau terus saja membantah!"
Aku kembali mentitikkan air mata. Pa. Baiklah. Aku akan menuruti segala perintahmu. Asalkan itu benar, membuatmu tenang dan berbahagia selalu di sana, Pa.
"Ya! Ya! Baiklah! Kali ini loe menang!"
Emanuel mendelik. "Iya apa, maksudmu?"
"Kalau saja bukan karena mendiang, tak ingin beliau bersedih tak kunjung usai di sana, gue tidak akan sudi!"
"Sudi apa?"
"Tinggal di rumah ini! Tapi dengan satu syarat, selain gue mengelola restoran loe itu, gue juga harus punya pekerjaan sambilan lain, agar bisa membayar semua hutang-hutang gue ke elo!"
"Tidak!"
"Ya!"
"Tidak, Lin! Aku tidak akan membiarkanmu terbebani hanya karena balas budi! Sudah kewajibanku sebagai calon suamimu yang bertanggung jawab sepenuhnya!"
Lonceng pintu utama kafe, terdengar nyaring. Pertanda ada pengunjung baru datang. Sepasang mataku menangkap sosok pria berpakaian kasual. "What the hell! Tidak mungkin!"
David Cello?
Pria itu kini tumbuh dewasa semakin hari semakin tampan dan mempesona. Aku sebal. Bersama dengan siapa perempuan di sampingnya itu? Apakah dia adalah kekasihnya? Ish! Aku melengos. Ya, tentu saja. Memangnya siapa dirimu, Lin? Bahkan pria itu saja, tak tahu menahu tentang perasaan terpendammu selama ini. Emanuel terkejut. Helin kembali menitikkan air mata. Gue hampir frustasi. Lagi-lagi. "Lin, kau menangis lagi?"
"Oh itu… Bukan apa-apa… Gue harus pergi!"
Sialnya, ketika aku menuju toilet, pria itu mempergokiku, langsung menghadangku. "Liu He Lin! Hai!" Sapanya, "Masih kenal gue?"
Shit!
Permainan apalagi ini, Liu He Lin? Siapa pria yang tiba-tiba menghampirimu, dan menegurmu itu? Please, Lin! Apakah kau cemburu dengan perempuan cantik yang mendampingi pria itu, maka sampai hati kau menitikkan air matamu? Bahkan gadis kuat sepertimu saja, bisa melemah dalam sekejap hanya karena seorang pria, Lin. Sialnya, pria itu adalah orang lain. Bukan aku.
Namun dengan gagah, aku tetap mendampingimu, Lin. Setia berada disisimu, disampingmu. Siap menghadapi pria itu. "Hei, bung! Menjauhlah dari calon istri gue!"
"Man! Calm down! Perkenalkan, saya David! Saya teman sekolah Lin dulu… Kami tak pernah bertemu selama kira-kira… Ya, lima tahun yang lalu. Time flies so fast, ya. By the way. Sedang apa loe di kafe ini, Lin? Bersama dia? Calon suami loe?" Kemudian Cello tiba-tiba saja merengkuh kedua tanganku. Seerat ini. Dengan tatapan penuh harap. "Tolong jujur kepadaku, Lin! Katakan bahwa kalian bukanlah sepasang kekasih!"
Aku melengos. "Memangnya peduli apa loe, kalau memang benar?"
"Lin!" Cello. Dia memelukku. "Aku merindukanmu…"
"BAJINGAN!"
BRUGH!
BRUGH!
BRUGH!
Tak hanya sekali, Emanuel menghajar David. Hebat sekali bukan. Hingga mampu merobohkannya dalam sekejap mata.
"EMANUEL! BERHENTI!" Cegah Helin.
"David… Kau tak apa-apa?" Seru perempuan itu menghampiri Cello dengan wajah memelas. Aku kembali sesegukan. Sakit rasanya. Melihat orang yang dicintai sejak bertahun-tahun lamanya, kini telah bersama orang lain.
Kenapa, Cello. Kenapa!
Aku kesal kepadamu! Benci!
Aku membencimu, Cello. Benci... Hingga, BRUGH!
Helin melemas seketika. Kakiku tidak lagi bisa menopang tubuhku sendiri.
"Lin! Liu He Lin!"
"Selalu saja seperti ini! Kenapa kau lemah sekali, Lin!"
Aku ingat, beberapa kali melihatmu pingsan di sekolah dulu. Namun, asal kau tahu saja! Akulah yang menopangmu, Lin. Tapi ketika kau sadarkan diri, aku menghilang. Aku tidak punya nyali untuk jujur kepadamu tentang persaaanku kala itu. Tapi tidak kali ini, Lin. Kita berdua sudah sama-sama dewasa. Sudah waktunya kita melepas rindu. Karena aku yakin, kau pasti diam-diam merindukanku juga.
"Minggir loe!" Emanuel menepis David yang berniat menopangnya. "Liu He Lin… Bertahanlah!" Gue membawa Helin ke sofa kafe yang empuk. Membiarkannya tidur berbaring dengan posisi senyaman mungkin. Lalu. Yang terpenting adalah, gue harus terus memperhatikan denyut nadinya di bagian leher secara berkala. Oh. Masih berdenyut, dengan detak lebih kencang. Begitu rupanya. Gue paham. Helin mengalami terkejut mendadak. Yang bisa gue lakukan sekarang adalah, tenang. Sambil memberikan ruang, agar sirkulasi udara sekitar terkontrol dengan baik. Menunggu. Setia disisinya. Karena. Hanya butuh beberapa menit, untuk Helin sadarkan diri dengan sendirinya.
"Lin… Bertahanlah!" David semakin kalut. Kali ini dia benar-benar emosi. Tak tahan melihat Helin selemah ini. Air matanya pun tak terbendung. Perempuan yang bersama pria itu, ikut panik dan berbisik. Semoga apa yang kupikirkan ini, benar adanya, Cello. Kemudian, gue mengangguk mengerti. Sekarang aku tahu apa penyebab kau menderita seperti ini setelah pertama kali kita di pertemukan kembali, Liu He Lin. "Apakah karena kau cemburu kepadaku, maka kau bersikap dingin kepadaku, Lin? Kalau memang iya, dengar baik-baik! Dia ini hanyalah sahabatku, Lin! Tidak lebih! Kami tidak punya hubungan apa-apa! Dengar? Lin…"
"BANGSAT LOE! Apakah loe tidak mengerti, kami akan segera menikah? Enyah dari sini sekarang juga, enyah dari Helin! Untuk selamanya! PERGI, LOE BEDEBAH! SEBELUM GUE HABISI LOE!"
"Cello… David…"
Shit! Bagaimana bisa, Helin menginggau menyebut nama bedebah ini? Gue tak tahan akan drama di antara mereka berdua.
"Minggir loe!"
"Loe yang harus minggir! Lin! Ini aku, Cello…"
"David… Cello…"
"Ya, Lin… Ini aku…"
Aku perlahan membuka mata. Puji Tuhan. Helin siuman. Rasanya. Pusing sekali, penglihatanku masih samar-samar. Namun. Parfum ini. Aromanya begitu familiar. Rupanya Cello tak pernah mengganti parfumnya hingga detik ini. Dulu aku sangat merindukannya. Tapi kini, aku benci! Dia sudah bersama orang lain. Gue benci loe, Cello! Benci!
"Lin, kau sudah sadar?"
Aku melengos. Itu Cello. Baiklah! Apakah hanya kau yang bisa melakukannya? Aku juga bisa! Rasakan ini! Agar kau tahu, bagaimana rasanya sakit hati.
"El…"
Helin mendekatkan diri kepada Emanuel. Kemudian, memeluknya erat. Liu He Lin. Tidak mungkin. Apakah gue sedang bermimpi?
"Thank you so much, El! I love you…"
Romantisnya. David Cello naik pitam. Aku mendelik. Why, Cello. Tampangmu itu. Kau sudah bersama orang lain, tapi kenapa kau geram bak sedang terbakar cemburu?
"Liu He Lin!" Cello makin emosional. Dia dalam sekejap, menepis Emanuel dan kembali memelukku. "Aku tahu kau punya perasaan terpendam kepadaku sejak dulu!"
"Oh astaga!" Aku jengkel, langsung mendorong tubuh Cello jauh-jauh. "Rupanya loe sudah tahu perasaan gue! Ya! Gue memang suka loe sejak dulu. Tapi beda sekarang…"
Emanuel merasa menang.
Yeah.
Walaupun sebenarnya ini adalah sebuah siasat sederhana ketika seseorang yang loe suka, bersama dengan orang lain. Padahal sebenarnya, perempuan di samping David itu bukanlah kekasihnya. Klasik. Tapi tetap saja, gue senang. Merasa menang. Lagipula bukankah gue sudah mempersiapkan sebuah cincin tunangan yang akan diberikan kepada Helin disaat yang tepat. Baiklah, inilah waktunya.
Aku tersentak. Apa yang sedang kau lakukan Emanuel? Dia berlutut dihadapanku, sambil merogoh saku celana untuk mengambil sesuatu. Itu. Sebuah kotak merah. Berisikan cincin berlian berwarna biru. Mustahil. Itu adalah berlian ruby. "Liu He Lin. Terima kasih kau telah membalas perasaanku. Dan aku ingin hubungan kita tak hanya sekedar sepasang kekasih. Bersamalah denganku dalam keadaan senang maupun susah. Saling merawat jikalau jatuh sakit. Setia sampai maut memisahkan kita. Aku mencintaimu. Kumohon, Lin. Menikahlah denganku!"
Pandangan kami saling menyatu satu sama lain. Aku tak bisa berkutik. Aku kembali menitikkan air mata. Meratapi malangnya nasibku. Tidak ada pilihan lain. "Ya… Baiklah. Aku mau menikah denganmu, El…"
***
Perlahan, matahari turun ke ufuk barat. Terbenam. Menggantikan langit jingga perlahan meredup. Bintang-bintang mulai bermunculan. Memperlihatkan sinar indahnya. Ya. Kami sedang berada di tower rumah sakit El Pradipto. Sambil menikmati panorama ini dari atap ketinggian lantai tiga puluh lima. Kota Jakarta yang menyala di malam hari. Benar-benar cantik.
"Permisi, presdir. Ini pesanan anda…" Ujar seorang OB mendatangi kami berdua di atap tower.
"Baik! Terima kasih!" Emanuel memberikan tip, lalu mengibaskan tangannya pertanda cepatlah pergi dari sini, jangan menganggu suasana romantis kami lebih lama lagi!
"Apa ini? Bir?"
Gue geleng-geleng kepala. OB itu, selalu saja salah jika gue berikan perintah. Mungkin beliau sudah terbiasa dengan kebiasaan gue dulu. Jadi, beliau lebih memilih membelikan bir ini dibandingkan sebotol mineral.
"Kau ini saja. Orange juice."
"Tidak-tidak! Tukar!"
Gue mendelik. "Kau minum bir juga? Tidak boleh!"
Aku ngeyel. Kemudian membuka kaleng itu. Bukannya meneguknya, malah membuang seisinya hingga habis.
Gue terkejut. Kemudian Helin menyodorkan botol berisi orange juice miliknya. Apakah ini pertanda Ia sedang memperhatikan gue secara khusus?
"Lalu, bagaimana denganmu?"
"OB loe yang tampan itu, membeli ini dua botol. Jadi impas, kan?"
Emanuel meringis. "Dia tampan katamu? Really? Apakah kau perlu periksa mata? Rabun atau tidak?"
"Ish! Memang benar, dia lebih tampan dari loe!"
"Benarkah?" gue mendekatkan wajah lekat-lekat. "Look at me!"
Helin merona. Lalu melengos. Tampang terkejutnya itu, menggemaskan sekali. Gue tertawa.
"Apa yang lucu?"
"Kau ini, menggemaskan sekali! Kalau memang suka, bilang saja sejujurnya!"
"Suka? Sama loe? Hujan turun di tengah kemarau! Menyebalkan…"
"Hei! Mau ke mana?"
"Apa urusan loe?"
"Apakah suasana hatimu sudah membaik?"
"Percuma loe ajak gue ke sini! Tidak ada yang menarik sama sekali di sini!"
"Really!?"
Setetes demi setetes, air dari langit membasahi bumi. Mustahil. Semenjak awal bulan kemarau, Jakarta tidak pernah hujan.
Apakah Tuhan telah mendengar serapah Helin dan mengabulkannya? Apakah ini pertanda, dia memiliki rasa yang sama dengan Emanuel? Tidak. Sekali lagi. Perasaan ini, tak sebanding dengan Helin. Bahkan, rasa ini melebihi dari apapun. Seluas langit tak berujung pun, itu tak akan sebanding.
"Liu He Lin! Hati-hati!"
Gadis itu ceroboh sekali. Kenapa bisa terpleset? Dengan sigap, Emanuel membopong tubuh Helin masuk ke dalam. Dan membawanya ke ruangan kesehatan terdekat yang tersedia, untuk penanganan dini.
"Kau ini, ceroboh sekali!"
"Bukan salah gue! Salah hujan!"
Petir menyambar. Aku terkejut. Lampu padam. Helin histeris. Tak lama kemudian, lampu kembali menyala dengan normal.
"Are you okay?"
"Jauh-jauh loe dari gue!"
Emanuel terkekeh. Dia malah melingkarkan kedua tangannya di pinggangku. "Bukankah kau yang lebih dulu memelukku?"
Helin tersontak. Aku malu sekali. Aku pun terus meronta, memukul lengan Emanuel yang kekar, agar terlepas dari pelukan. Namun percuma. Itu tidak manjur. Baiklah. Rasakan ini!
"AAWWW!!"
Helin. Dia menggigit tangan gue! Hingga memar!
"Awas loe curi kesempatan dalam kesempitan lagi, gue hajar loe habis-habisan!" Emanuel kembali terkekeh. Sambil menggulung celana panjangku. "EMANUEL!!!"
PLAK!
Gue tidak peduli, Helin akan menampar gue berkali-kali. Sudah biasan. Gue ikhlas. "Aku hanya berniat mengobati luka lecetmu… Tidak lebih! Kecuali…" Gue mendelik nakal. Tentu saja ini hanya gurauan belaka.
PLAK!
"Mimpi loe!"
"Aku tidak akan memaksamu untuk membalas perasaanku secepatnya, Lin. Asalkan kau tetap ada di sisiku. Agar kelak suatu hari nanti, kau akan mengerti apa itu arti perjuanganku selama ini… Salah satunya adalah, besok aku akan menebus dosa di rumah Tuhan."
"Penebusan dosa?"
"Apakah aku seperti orang konyol yang sedang bercanda, Lin?"
Tatapan itu, tajam sekali. Menandakan keseriusan Emanuel untuk berserah sepenuhnya kepada Tuhan.
"Terus loe pikir, dengan begitu perasaan gue bisa berubah? Dari benci jadi cinta? Jangan berharap berlebihan loe! Dasar! Bedebah!"
Emanuel tersenyum. God, El! Itu adalah senyuman terbaik, menurutku.
What the hell. Ada yang tidak beres ini. Apanya yang terbaik? Nyebelin, iya!
"Kau cantik sekali, by the way, Lin."
"Bagus loe nyadar, gue emang cantik!"
"Oh astaga! Apakah aku sedang menginggau? Ya, sepertinya memang begitu!"
"Ish!"
Aku sebal!
"Lin… Aku bingung. Apa yang harus aku lakukan di saat berlangsungnya pelayanan pengampunan dosa? Jujur saja, aku sedikit takut…"
"Apa yang harus ditakutkan! Justru takut itu, di saat loe melakukan dosa! Minum bir salah satunya."
Emanuel mendadak sayup. "Aku juga malu kepada pandita yang akan melayaniku kelak… Malu sekali… Apakah kau bisa membantuku? Untuk mempersiapkan diri besok? Agar aku tak terlalu segugup ini?"
"Ya… Gue sebenarnya tidak tahu bagaimana persisnya ritual itu dilakukan. Tapi, boleh-boleh saja gue bantu loe. Sekarang?"
"Tidak di sini."
"Lalu?"
"Di kantorku."
"Tidak-tidak! Mending gue balik sendirian ke rumah… Gue juga capek. Lelah…"
"Tidak-tidak! Bagaimana kalau di apartemen? Di sana ada bibi Nur. Beliau pasti senang berkenalan denganmu…"
"Sudah gue bilang, lebih baik gue pulang!"
"Ke rumahmu, maksudmu?" Emanuel mendelik genit. "Dengan senang hati! Ayo!"
"Ya udah sih, nggak usah pusing! Yang penting, loe ceritain saja semua perbuatan dosa yang pernah loe lakukan!"
Gue termenung sejenak. Memandang lurus ke depan, mengingat masa lalu. "Duniaku gelap sekali kala itu, Lin. Itu terjadi ketika adikku meninggal dunia. Aku merasa kesal, kenapa Tuhan begitu tak adil. Dia masih remaja. Tapi kenapa harus pergi lebih dulu? Jadi untuk apa aku percaya kepada-Nya?"
"Itulah. Kau ini bodoh sekali! Semua rahasia alam semesta ini, sudah diatur oleh Tuhan. Begitu pula rahasia tentang kelahiran dan kematian. Dan kita sebagai manusia, hanya bisa berpasrah. Berserah kepada-Nya. Selagi kehidupan ini terus berjalan, tak perlu menyesali semua hal di masa lalu. Yang sudah terjadi, terjadilah! Yang belum terjadi, jangan diharapkan! Karena seandainya kita memiliki pikiran, ucapan dan tindakan yang baik saat ini bahkan sepanjang waktu, secara tidak langsung berkat-Nya akan selalu menyertai kita… Percayalah!"
Emanuel terkesima. "Itukah sebabnya kau setegar ini?"
"Ya, gue juga punya masa lalu yang kelam. Ditinggal nyokap sejak tujuh tahun yang lalu, hanya demi laki-laki lain. Mau tidak mau, kami harus mengadu nasib, pindah ke Jakarta. Bekerja bagaikan kuda, tak kenal lelah. Walaupun waktu itu masih sekolah, gue sudah sambilan ke sana dan ke mari. Gue tidak ingin membebani bokap yang kondisinya semakin hari semakin melemah. Tapi, lihatlah gue! Apakah ada niat dari lubuk hati gue untuk mengkhianati Tuhan, hanya satu alasan yang bodoh? Tidak sebersit pun! Gue tetap memilih setia melangkah di jalan kebenaran-Nya…"
Emanuel makin berbinar. Tolonglah. Jangan seperti itu, El! Aku jadi merasa canggung. Kenapa kau menatapku seperti itu? Apakah tadi aku salah bicara?
"Lin." Emanuel merengkuh jemari lentikku. Aku menepisnya.
"Jangan mesum!"
"Apakah kau salah satu utusan Tuhan untuk menolongku agar terbebas dari dunia kelam, Lin?"
"Gue hanya manusia biasa! Sudahlah! Gue mau pulang!"
"Hei, hati-hati! Lin!" Emanuel merengkuh Helin, menuju parkiran. Karena kondisi kaki Helin yang tidak memungkinkan, dengan sangat terpaksa, gue menggendong tubuhnya. Tidak peduli apa kata orang yang lewat, gue tidak peduli. Walaupun Helin berang, gue tetap kokohkan rangkulan ini. Ini demi kebaikanmu juga, Lin.
"Pak Presdir!"
"Ya!"
"Apakah anda butuh kursi roda untuk nona Liu?"
"I don't think so."
"EL!!!!"
***
Semua orang terkesima. Bukankah itu presdir kita? Bersama perempuan itu lagi? Itu berarti… Apakah rumor itu benar adanya? Tentang pernikahan beliau di depan mata?
"Katanya, kekasih baru beliau adalah orang baik-baik. Tapi apa bedanya dengan perempuan jalang lainnya?"
"Beruntung gadis lugu itu. Karena aku tahu, presdir pandai bermain di ranjang. Astaga! Membayangkannya saja, aku sudah mabuk kepayang."
"Ciumannya… Pelukannya… Desahannya…"
"Aku jadi rindu…"
"Apakah setelah mereka menikah, presdir akan tetap mengingat kita?"
"Ya! Kuharap begitu,"
"Itu sudah pasti!"
***
Keesokan harinya, ketiga perawat mesum itu tak nampak hidungnya lagi di rumah sakit. Mereka di pecat secara tidak hormat.
***