Aku kini sebatang kara. Di rumah sebesar ini. Sepi. Tidak ada siapa-siapa lagi, kecuali bibi Ndas dan pak Harianto. Biasanya, di jam segini, aku berada di ruang tengah sambil bersenda gurau bersama mereka. Namun kali ini, aku lebih senang menyendiri. Sambil termenung. Cincin ini, yang kini melingkar di jari manis ini, bukanlah cincin biasa.
"Kau tahu, Lin? Cincin ini, adalah pemberian dari orang tuaku. Beliau sudah berjanji kepadaku, kelak jika aku menikah, cincin ini akan diberikan kepada calon istriku. Cincin pernikahan beliau. Jadi, kau! Jangan coba-coba melepas cincin ini, apapun itu alasannya! Jika tidak, itu sama saja kau tega mengkhianati orang tuaku! Paham!"
Aku mendesah. Lesu. Nasibku memang buruk. Apalagi jika sampai hati teringat Cello. Dia, cinta pertamaku. Aku selalu berharap akan dipertemukan kembali kelak ketika kami dewasa. Lalu menjalin kasih, menikah, dan hidup bahagia selamanya selayaknya di negeri dongeng.
Tapi. Kenapa, Tuhan? Aku sudah berusaha menjadi orang baik sesuai kriteria-Mu. Tidak menentang segala aturan-Mu. Tapi kenapa Engkau selalu menjauhkanku dari orang-orang yang kucintai? Bahkan di kala aku sebatang kara, Engkau malah pertemukan aku dengan jodoh yang tak sesuai harapan? Seribu satu alasan aku mencoba untuk memutuskan hubungan dengan Emanuel, namun Engkau seolah berkata lain. Seolah berusaha meyakinkanku, dialah orangnya. Dia adalah pendampingmu dunia akhirat, Lin. Sumber kebahagiaanmu tiada tara. Omong kosong!
Gemercik air hujan mulai membasahi bumi lagi. Rintik-rintiknya menghiasi jendela kamar dari luar. Aku tak kuasa menitikkan air mata. Sambil memeluk foto mendiang. Aku rindu engkau, papa.
Tiba-tiba saja, terdengar syair firman Tuhan. Bukan dari mana-mana. Itu. Dari lubuk hatiku. Bapa di Surga. Aku sangat mengenal suara itu. Liu Da Lan.
Papa. Beliau memang selalu menemaniku jikalau suasana hatiku sedang tidak baik. Menenangkanku dengan bait-bait yang terkutip dari alkitab. Seketika, rasa kesalku hilang seketika. Tergantikan kedamaian. Aku bisa tenang sekarang. Terlelap dalam rindu. "Selamat malam, pa… Terima kasih..."
***
AAARRRGGHHH!!
David tak pernah semarah ini sebelumnya. Kamarnya kini berantakan. Porak poranda. Pecah belah. Liu He Lin. Cewek yang dulu selalu diam-diam mencuri pandang ke arah gue, kini sudah bersama pria lain. Sial! Seharusnya, gue mengutarakan perasaan gue sejak awal. Bukannya malah sok gengsi. Apalagi pria itu adalah Emanuel Pradipto. Siapa yang tak kenal dia? Playboy. My Lord! Bahkan Helin lebih memilih dia, daripada gue? Bagaimana bisa? Jika Helin memiliki pikiran jernih, Ia pasti tidak akan sudi bersama dengan pria brengsek itu. Wait…
Tadi gue bersama Christy untuk membicarakan bisnis. Lalu. Tidak sengaja bertemu denganmu, Helin. Ya! Apakah… Karena engkau cemburu, maka kau tak bisa mengelak lamaran omong kosong Emanuel?
Holly shit! Kena kau David Cello! Beginilah cara hukum karma bekerja. Tapi. Teori alam berkata, kita manusia di bumi, bisa saja mengubah nasib seseorang. Dengan cara melawan hal yang mungkin akan terjadi. Alright. Sebelum nasi menjadi bubur, gue harus bergerak cepat. Liu He Lin. Bersiaplah! Aku dengan senang hati akan merebutmu dari bedebah Emanuel Pradipto!
***
"Berkati saya, Romo. Karena saya telah berdosa." Dengan sepenuh hati, Emanuel menceritakan betapa brengseknya dia di dunia, dihadapan Romo, terpalang partisi. Hingga air mata ini, mengalir begitu saja. Semakin lama, semakin deras. Diiringi dengan segala penyesalan-penyesalan yang terlintas, mengalir begitu saja. Romo dengan sabar, beliau membiarkan Emanuel mengutarakan perasaannya. Hingga lega. Setelah puas rasanya, Romo memberikan berkat dan beberapa nasehat agar kelak Emanuel tak melakukan kesalahan yang sama.
"Dengan kuasa Gereja, aku mengampuni dosa-dosamu dalam nama Bapa, Putra dan Roh Kudus." Ujar Romo sambil membuat tanda salib yang harus diikuti Emanuel. "Pergilah dalam damai untuk mengasihi dan melayani Tuhan."
"Syukur kepada Allah." Entah mengapa, bibir Emanuel tergerak sendiri, mengukir senyum dalam mata terpejam. Dan gue yakin, itu adalah senyuman terbaik yang gue miliki, seumur hidup.
Kini saatnya gue melakukan penitesi. Di sana, malaikat gue sedang duduk dalam damai, di kursi panjang ruas kedua paling depan. Gue, harus berlutut di hadapan Tuhan. Berterima kasih atas pengampunan-Nya. Sambil melipat tangan, dan merunduk dengan khusuk.
"Allah, aku menyesal atas dosa-dosaku. Aku sungguh patut Engkau hukum, terutama aku telah tidak setia kepada Engkau yang Maha Pengasih dan Maha Baik. Aku benar-benar menyesali akan segala dosaku. Dan berjanji dengan pertolongan rahmat-Mu, hendak memperbaiki hidupku dan tidak akan berbuat dosa lagi. Allah yang Maha Murah Hati, ampunilah aku, orang berdosa. Amin…"
Aku tertegun. Benarkah itu Emanuel yang kukenal? Aku yakin, ini bukanlah hanya sekedar tameng dihadapanku. Emanuel telah bersungguh-sungguh berserah seutuhnya dihadapan Tuhan. Dia bertobat. Oh Tuhan, lalu aku harus apa? Menikahinya adalah mustahil.
***
"Lega rasanya." Emanuel tampak bahagia. Aku tetap diam. Seperti orang tuli. Tak mau sama sekali mendengar betapa Ia mesyukuri hidup barunya kini. Pria itu banting stir ke sebuah pemakaman. Bukan. Ini bukanlah tempat Liu Da Lan di makamkan. Kemudian menggiringku ke sebuah makam. Ada foto di sana. Seorang laki-laki muda. Tertera nama di sana, Daniel Pradipto.
"Hi, brother!"
Sudah lama sekali gue tak berkunjung. Bahkan, hampir lupa. Ya. Daniel Pradipto adalah adik kandung gue. Meninggal sejak dua tahun yang lalu.
"Gue pikir, tanpa Tuhan, gue bisa mengubah takdir seseorang agar tetap hidup di dunia. Namun, kini gue paham, Dan. Berkat Tuhan, gue mampu melakukan semuanya dengan baik. Dan berkat-Nya pula, akhirnya gue bertemu dengannya. Malaikat gue. Yang kini sedang berdoa untuk loe, Daniel."
Kemudian, hujan turun lagi. Jas abu-abu Emanuel berubah fungsi menjadi sebuah payung. Menadahkan di atas kepala, segera membawa Helin ke dalam mobil dalam rengkuhannya.
Oh astaga. Hujan kenapa turun deras sekali? Walaupun sudah tertutupi jas yang lebar, tetap saja pakaian Helin basah dan tembus pandang. Ajaibnya, Emanuel sama sekali tak merasakan nafsu birahi yang menguap seperti biasanya. Ia dengan sigap, menutupi aurat Helin dengan pakaian ganti yang tergantung di dalam mobil.
Kemudian tancap gas ke sebuah rumah mewah di Pondok Indah. Gerbang terbuka otomatis. Rumah ini, bergaya Eropa kuno. Dilengkapi taman asri. Ya. Inilah istana Helin.
Namun. Walaupun rumah ini indah sekali, jujur saja aku tak bisa menikmatinya. Aku benci tinggal sendirian. Dan tidak ada yang tahu, aku sering menangis di kamar setiap malam, meratapi nasib.
Setelah kepulangan Emanuel, aku kembali termenung. David Cello. Walaupun kau kini telah bersama orang lain, aku tetap saja tidak bisa menghapusmu dari hatiku, Cello. Aku terus saja merindukanmu. Seperti saat ini. Aku ingin sekali menikmati kenang-kenangan terakhir kami di saat sekolah dulu. Foto itu, aku yang mengambilnya secara diam-diam. Seharusnya, ada di… Astaga! Aku baru ingat. Foto-foto itu pasti tertinggal di rumah bilangan Glodok.
***
"Malam, om Kyun Ho! Maaf menggangu malam-malam..."
"Astaga, Helin. Sudah jam berapa ini? Kalau kau terjadi apa-apa di jalan, bagaimana?"
"Tak apa, om! Tak usah khawatir! Aku diantar seorang sopir! Om! Ini darurat sekali! Aku… Hm… Ada beberapa benda yang tertinggal di sini! Bolehkah aku masuk ke dalam?"
"Tapi…"
Waktu sudah menunjukkan jam tujuh malam. Bengkel sudah tutup. Untung saja, Kyun Ho masih ada di sini untuk bersih-bersih. Barulah kembali pulang ke rumahnya yang tidak jauh dari sini.
"Permisi, om!" Helin tidak sabaran, langsung ngeloyor memasuki ruangan yang berubah fungsi menjadi bengkel tersebut, ke dalam sebuah ruangan yang dulunya adalah kamarnya. Bagus! Lemari tua itu masih tertata rapih di pojok ruangan. Aku pun membukanya, dan lihatlah. Kosong! Laci kecil di dalamnya, juga kosong. Oh tidak! Aku merasa hampa seketika. Separuh jiwaku seolah melayang. Kenang-kenanganku yang berkaitan dengan Cello sudah tak lagi pada tempatnya. Foto-foto itu. Hilang!
"Benar dugaanku!" Seru lantang seorang pria yang familiar.
"El!?"
"Bahkan, kau memanggil nama kecilku di saat genting seperti ini? Aku merasa tersanjung, Lin. Sungguh!"
"Bagaimana bisa loe ada di sini?"
"Itu tidak penting! Kau mencari apa? Foto-foto konyol itu?"
"Really? Apakah ini juga salah satu ulah loe?"
"Bahkan dia mengkhianatimu, tapi kau tetap mencari foto sialan itu?"
"Di mana foto-foto itu?"
"Sudah menjadi debu."
"LOE!"
Helin kembali berkaca-kaca. Bola matanya membulat, dan memerah. Helin, come on!
"Please, jangan menangis seperti ini, Lin! Dia tidak pantas mendapatkan simpati darimu! Dia sudah bersama orang lain dan kau harus akui itu!"
"Ya! Mungkin, dia memang sudah berkhianat. Tapi posisi dia di hati gue, tetaplah sama! Dia masih ada di dalam hati gue. Paham loe, bangsat!"
"Liu He Lin. Aku tidak akan membiarkan siapa pun mengukir hatimu selain aku…"
"Bahkan seandainya gue mau menikah dengan loe, itu hanya sebatas mandat! Gue benci pria macam loe! Bedebah!"
Aku pergi meninggalkannya, dan merasa menyesal telah mempercayai pak Harianto yang pastinya berpihak kepada tuannya. Aku juga menyesal telah berpasrah kepada nasib.
Oke! Baiklah! Fine! Mulai detik ini, aku akan bekerja lebih keras lagi. Untuk membayar hutang-hutangku kepada tuan muda sok itu.
Sebuah tangan meraih jemariku. Aku menepisnya. Namun genggaman itu terlalu kuat. Aku pun kembali menamparnya. Namun pria itu, seolah pasrah.
"Tampar aku lagi, Lin! Pukul aku! Siksa aku! Namun, ingat satu hal, Lin. Aku tetap kepada pendirianku. Walaupun kau berusaha untuk menyakitiku, aku tak akan goyah. Aku akan tetap mencintaimu. Dan akan selalu ada disisimu!"
"Wake up! Jangan kebanyakan mimpi loe!"
"Ayo pulang! Aku yang akan mengantarmu! Karena aku ingat, ada sisa satu foto di dalam mobilku. Jika kau tak ikut aku, aku akan melenyapkannya sekarang juga!"
"No way! Gue bersumpah, tidak akan lagi termakan rayuan gombal loe! Basi!"
"I miss you so much, Cello."
Aku tersentak. Aku memang selalu memberikan tulisan dari lubuk hatiku di balik setiap foto kenanganku bersama Cello. Dan itu, adalah tulisanku kepada salah satu foto favoritku.
Baiklah! Lagi-lagi, aku pasrah. Dan menurut.
What the hell!
Liu He Lin. Sebesar itukah cintamu kepada David? Bagaimana jadinya jika kalian kembali bertemu, Lin? Dan tahu pria itu masih lajang?
Tidak! Tentu saja! Gue tak akan membiarkan itu terjadi. Ya, demi Tuhan, aku akan menjadi imammu seutuhnya, nona!
***
Oke. Emanuel bilang, foto itu ada di dalam kamar kediaman yang baru aku tempati. Ketika aku berada di dalam kamar, aku menemukan sebuah amplop coklat di atas ranjang.
Thank's God!
Itu dia! Ketika aku membukanya, aku terkejut. Mustahil!
Foto itu sudah dicoret-coret spidol merah. Di bagian wajah Cello. Sementara itu, lihatlah. Ada beberapa foto lain tersimpan di dalam amplop ini. What the hell! Ini benar-benar konyol. Foto siapa ini? Playboy yang tak tahu malu itu?
AAAAARRRRGGGHHH!!
Lalu ada sebuah kertas yang itu bukan lain tulisan Emanuel. Isinya. "Kau bisa saja membuang dan melenyapkan foto-foto diriku yang kau temukan di amplop ini. Tapi tidak untuk di dinding. Jika sekali saja kau merusak foto itu dan merusak dinding kamarmu ini, maka hutangmu akan semakin bertambah. Dan aku tak pernah main-main. Jadi kuharap, kau bisa menjaganya dengan baik!"
Aku sontak menoleh. Dinding di atas tempat tidur. Dengan paku beton. Come on!
***
Pesawat telah mendarat. Finally, Amerika. David Cello kembali ke negeri Paman Sam, mantap untuk mengurus kepindahannya ke Indonesia. Kelak di Jakarta, gue akan menetap di sana. Mendirikan sebuah perusahaan start up design.
Sebelumnya, gue datang ke Jakarta hanya untuk survei. Sekaligus bertemu dengan orang-orang penting yang siap bekerja sama. Salah satunya adalah Christy. Tapi gue tidak menyangka, Helin pun pindah ke Jakarta selama ini.
Cello kembali semuringah. Aku sempat dekat dengan perempuan lain, namun aku tetap menjaga hati ini, Lin. Aku selalu berharap kita akan dipertemukan kembali dalam suatu kesempatan. Dan. Kini. Tuhan telah mendengar doa-doaku. Jadi sekarang, mana mungkin aku bisa merelakanmu begitu saja, Lin. And. This is the time. Our love story. Is begin.
***