Pagi itu, Helin masih terlelap di sisi Liu Da Lan. Sementara gue, baru saja menyelesaikan tindakan lahiran normal. Empat jam di ruang persalinan, untuk membantu sang pasien melahirkan seorang anak perempuan yang sangat cantik. Sebelumnya, gue tak pernah merasakan rasa ini. Senang melihat mereka berbahagia. Bahkan. Rasa syukur ini, sangat melekat di hati. "Selamat atas kelahiran anda, nona. Selamat pula untukmu, tuan. Sekarang kalian sudah menjadi orang tua yang utuh…"
"Kami yang harus mengucapkan terima kasih banyak, dok. Telah meluangkan waktu dini hari untuk membantu persalinan istriku ini…"
"Tak usah sungkan! Itu sudah menjadi kewajiban saya…"
Rasanya, gue iri melihat betapa bahagianya pasangan muda itu. Penuh kasih sayang satu sama lain. Apakah suatu saat, kau juga akan membalas rasa ini, Lin? Dan berbahagia di sisiku kelak? Untuk selamanya?
***
"Tuan Emanuel…"
"Tuan Liu Da Lan? Kau sudah bangun?"
"Iya… Ya!"
"Bagaimana kondisimu sekarang, tuan? Apakah masih ada keluhan?"
"Masih sedikit nyeri…"
"Tak apa. Butuh proses memang, untuk pemulihan luka bekas pembedahan. Asalkan kau teratur minum obat, tuan, maka lambat laun kau akan merasa lebih baik."
"Tuan."
"Ya?"
"Bolehkah saya bertanya sesuatu?"
"Dengan senang hati."
"Seandainya saja saya tidak ada di dunia ini lagi, apakah kau akan tetap berada di sisi anakku, Liu He Lin?"
"Tuan… Jangan bicara seperti itu! Tidak baik!"
"Andaikan saja…"
"Tentu saja saya akan selalu setia setiap saat di sisinya, dalam suka maupun duka. Bukan hanya demi untuk penghormatan kepadamu, tuan. Tapi sungguh, saya sangat mencintainya."
"Tapi kau tahu sendiri, tuan. Dia terkadang keras kepala. Tingkahnya selalu saja menyebalkan. Dan kadang tak bersahabat. Bisa-bisa, itu hanya membuatmu kesal sepanjang waktu. Karena tak mudah baginya untuk membuka hati. Apalagi menerima kondisimu seperti ini… Dengan masa lalumu yang kelam… Begitu pula, bagaimana jadinya jika orang tuamu mengetahui kebenaran tentang Liu He Na. Apakah kau juga telah mempertimbangkan konsekuensinya?"
"Saya sudah berjanji kepada diri saya sendiri, untuk tidak mengecewakan siapa pun, termasuk kedua orang tua saya, tuan. Saya berniat untuk berserah kepada Tuhan. Akan melakukan penebusan dosa pekan ini. Saya tulus melakukannya, dan sudah menerima kelebihan kekurangan Helin. Aku hanya bisa berserah. Semoga dengan ini, saya semakin kuat menghadapi segala cobaan demi cobaan. Aku juga berharap, atas dasar kesungguhanku ini, tidak akan ada lagi permusuhan di antara kedua orang tua saya dengan Riyadi Helu… Saya akan terus berusaha, tuan. Saya pun berjanji… Akan mempertemukan Helin dengan He Na di waktu yang tepat, tuan… Aku berjanji…"
"Tuan Emanuel… Kau menangis?"
"Tidak, saya hanya terharu…"
Sekali lagi, aku dapat merasakan apa yang kau rasakan, Emanuel. Kau benar tuan, kau telah bersungguh-sungguh melakukan ini semua karena atas dasar cinta. Bukan hanya sekedar ambisimu. Aku yakini itu.
"Tuan… Kemarilah! Mendekatlah kepadaku!"
Dengan tangan terbuka, Da Lan siap memberikan pelukan. Gue terkejut. Da Lan, beliau tahu betul caranya menghargai seseorang. Bahkan orang tua gue sekalipun, tak pernah melakukannya setulus ini. Itulah. Yang membuat gue semakin cengeng di pelukan Da Lan. Gue benar-benar terharu.
"Jangan menangis, tuan!"
"Saya hanya terharu… Ini adalah yang pertama kalinya bagi saya menerima pelukan setulus ini…"
"Jagalah putriku seperti aku mencintainya."
Emanuel semakin tersedu-sedu. Ia sangat bahagia. Rasa bimbangnya sirna seketika. Ia semakin yakin terhadap He Lin. Aku bersumpah, akan memperjuangkanmu, Lin. Apapun yang terjadi, aku akan tetap bersamamu, hingga engkau membalas rasa ini. "Terima kasih banyak atas restumu, tuan! Terima kasih…" Isakannya malah makin menjadi. Siapa yang menyangka, seorang pria macam Emanuel bisa serapuh ini. "Terima kasih…"
"Aku yang seharusnya mengucapkan terima kasih banyak, kau telah menolongku hingga sejauh ini. Terima kasih, kau tetap berada di sisi kami, mau menerima kelebihan maupun kekurangan kami. Terima kasih kau tetap bertahan di kala masa-masa sulit ini. Terima kasih atas berkatmu kepada kami, tuan. Terutama kepada putriku, Liu He Lin…"
***
"Pa…" Helin terbangun dari lelapnya. Perlahan. Aku pun menajamkan penglihatan, setajam elang.
Hah! Tunggu-tunggu. Apa yang telah terjadi! Apakah aku tidak salah melihat? Orang tuaku sudah bangun sepagi ini, dan lihatlah. Beliau senantiasa berpelukan dengan Emanuel. Di hadapanku? Dengan kedua bola mataku? Apakah aku sedang bermimpi? Ya, ini pasti mimpi. Tapi kenapa, Tuhan, kenapa ini begitu nyata?
Aku pun sontak mencubit lenganku sendiri. Sakit! Oh! Tidak! Bahkan seorang Liu Da Lan pun sudah termakan rayuan gombal Emanuel.
"Sayang. Kau sudah bangun?"
"Lin…"
"Pa! Apa yang sedang kalian lakukan!"
Emanuel terkekeh. Sambil menghapus air mata ini. "Aku hanya memeluk beliau. Bukan perempuan lain! Jadi tak usah kau cemburu!"
"Diam, loe bedebah! Pa! Apa yang telah dia katakan selama aku tertidur?"
"Dia bilang, kalian akan menikah…"
"Lalu, papa percaya begitu saja dengan dia?"
"Tentu saja! Dia pria baik."
"Pria baik dari mana, pa! Dari Hongkong!" Helin jengkel. "Kenapa sih, papa gampang sekali percaya dengan orang macam dia! Asal papa tahu saja! Dia itu brengsek, pa! Aku tidak akan sudi menikah dengan dia!" Helin membuang muka. "Enak saja!"
"Selamat pagi, semua…"
"Ma!"
"Puji Tuhan, kau sudah bangun, tuan Da Lan! Pagi, sayang…" Tanpa ada rasa sungkan, Adhira memeluk Helin. Cipika-cipiki. Tak ada salahnya kan, aku berprilaku akrab seperti ini kepada calon menantu?
"By the way! Ini, kubawakan sarapan untuk kalian…"
Walaupun aku baru saja mendapatkan berita bahwa tender itu dimenangkan oleh Helu, aku harus tetap tegar. Tetap gentar dan anggap saja tidak ada masalah yang berarti di antara Emanuel, Liu Da Lan dan Helin. Bagaimana pun juga, berkat mereka, kini aku lebih bisa bersahabat dengan kenyataan. Bahkan kebahagiaan ini, tidak sebanding dengan apa yang kumiliki sekarang.
"Apa ini! Bubur?"
"Kenapa?"
"Lebih baik aku pesan dari restoran sebelah saja."
"Dasar, tidak tahu diri… Padahal orang tuamu sendiri yang berniat membelikan untukmu, tapi inikah balasanmu?"
Gue terkejut. Helin lagi-lagi kesal kepada gue, hanya karena bubur?
"Aku sedang tidak ingin makan bubur. Masalah?"
"Sudah, sudah! Kalian tak usah ribut! Jika kau tidak mau, itu bukan masalah…"
"Tidak apa, nyonya. Memang ini masalah sepele. Tapi dia harus belajar menghargai orang tuanya sendiri! Ini! Bubur Pak Ijo. Cobalah!"
Emanuel tidak bisa menolak jika Helin yang ikut andil. "Ya! Baiklah, baiklah!"
"Lin. Bagaimana kau tahu itu adalah bubur Pak Ijo?"
"Saya mengenal beliau seperti orang tua saya sendiri..."
"Begitu?"
"Beliau sangat baik."
"Ya, senang juga bertemu dengan kalian, Lin. Entah bagaimana jadinya jika aku tanpa kalian. Pasti aku sudah gila memikirkan pekerjaanku..."
I know, ma. Kau pasti sedih, proyek yang susah payah kau buat akhir-akhir ini, telah diambil alih oleh Riyadi Helu. Aku dapat merasakan engkau begitu tegar. Kini. Di hadapanku.
"Permisi…"
"Ya, masuk!"
"Selamat pagi, presdir! Selamat pagi nyonya besar. Tuan dan nona Liu. Mohon maaf sebelumnya, saya ke sini berniat bawakan sarapan untuk tuan Liu Da Lan…"
"Baik."
"Kemarilah, nona! Tak usah sungkan!"
Pelayan itu merunduk hormat. "Permisi…" Dia tampak gugup. Maklum. Ini adalah hari pertama dia bekerja di sini. Dan diharuskan menghadap langsung kepada orang-orang penting di rumah sakit ini. Ketika ingin menaruh nampan berisikan bubur di atas meja makan kecil khusus pasien di ranjang, tiba-tiba saja aku terselengkat kaki sendiri. Ini berkat alas sepatuku yang licin. Lalu kehilangan keseimbangan, hingga…
BRUGH!
Bubur dan air mineral dari nampan yang kubawa berceceran. Kacau. Balau.
"Oh Tuhan!"
"Maaf, saya tidak sengaja, presdir…"
Emanuel tak bisa lagi menahan murka. Karena ceceran bubur itu menodai pakaiannya. "YA! BAGAIMANA BISA KAU CEROBOH SEPERTI INI! NONA FANNIA! MULAI DETIK INI, KAU DI PECAT!"
Helin geram. Dasar menyebalkan. Tak berkemanusiawian. Aku pun dengan getap membantu Fannia untuk membereskan kecerobohannya.
"HELIN! KAU, TAK USAH REPOT-REPOT MEMBERSIHKANNYA!" Pria itu segera menekan nurse call bell. "Halo! Saya Emanuel Pradipto! Koordinasikan dengan koki rumah sakit, agar buatkan satu porsi sarapan lagi untuk ruangan VVIP President Suit! Satu lagi! Tolong panggilkan cleaning service ke sini! Secepatnya! PAHAM!"
"Oh astaga! Apakah semua bos di dunia ini, gemar sekali bertingkah semana-mena terhadapa orang-orang kecil seperti kami, hanya karena melakukan satu kesalahan kecil yang masih bisa dibilang termaafkan! Fannia, itu namamu kan? Kau tenang saja, Fannia! Biar aku yang akan berhadapan dengan Emanuel langsung!"
"Tak apa-apa, nona. Saya yang salah, saya pantas mendapatkan hukuman…"
"Tidak-tidak! Ini tidak baik!"
"Iya, Fannia. Saya juga akan pasang badan untukmu! Kau pantas mendapatkan pembelaan! Jadi, kau tenang saja!"
"Ma!"
"El… Bersikap baiklah kepada setiap orang yang kau anggap lemah, siapa pun itu termasuk nona Fannia! Ini kejadian tidak sengaja!"
"Ma, come on! Apakah dia bisa membeli kemejaku seharga dua belas kali lipat dari gajinya dalam waktu semalam?"
"Sudahlah! Biar aku yang ganti rugi!"
"Tapi…"
"Emanuel."
"Ya…" Tuhan. Apa yang telah gue lakukan. Sehingga lupa di sini juga ada Liu Da Lan. Beliau pasti sangat kecewa melihat prilaku gue yang sebenarnya. "Tuan Da Lan…" Gue malu sekali. Sehingga pergi begitu saja ke ruang kerja. Untuk berganti pakaian, sekaligus menenangkan pikiran. Mungkin gue juga butuh istirahat, sebentar saja. Supaya kelak, gue dapat mengontrol emosi dengan baik. Dan bersumpah, tidak akan mempermalukan diri di hadapan Liu Da Lan sekali lagi.
***
"Nona. Kumohon, maafkan aku, atas sifat arogan putraku itu!"
"Ya, itu benar! Aku juga kesal dengannya! Kau tenang saja, Fannia! Selama ada kami, pekerjaanmu akan baik-baik saja!"
"Terima kasih banyak, nyonya…"
"Sayang."
"Iya, pa."
"Berjanjilah kepadaku, Lin!"
"Ya?"
"Jika kelak kalian bersama nanti, tuntunlah Emanuel menuju kebaikan!"
"Pa…"
"Demi aku!"
Helin mendumel dalam hati. Papa, kenapa kau berkata seperti itu? Apakah kau khawatir berkat berhutang budi kepada mereka, maka kau mengorbankanku? Sungguh. Itu keterlaluan. Tega.
"Lin!"
Tiba-tiba saja, Adhira merengkuhku. Sambil terisak. Aku terkejut. Kenapa beliau tiba-tiba saja menangis?
"Akhirnya, Tuhan… Akhirnya Engkau mempertemukan El dengan kau, Liu He Lin. Kau… Memang gadis yang hebat! Kau sungguh luar biasa!"
"Itu…" Aku canggung. "Maafkan saya jika itu berlebihan…"
"Sama sekali tidak! Dia memang pantas mendapatkan prilaku tegas! Justru aku sangat berterima kasih kepadamu, entah tanpamu, aku mungkin bisa gila menghadapinya. Terima kasih, sayang…"
Beliau memperkuat rengkuhannya. Aku tak bisa berkutik. Lagi-lagi, perasaan ini muncul. Mengingatkanku kepada He Na. Ma, aku sangat merindukanmu. Sungguh.
"Lin… Sejak awal bertemu kau, aku memang sudah punya firasat. Gadis seperti kaulah yang kuinginkan untuk dijadikan calon istri El… Yang mampu menuntunnya agar kelak kelakuannya berubah… Oh, Tuhan! Aku sedih sekali ketika mendengar berita tentang prilaku menyimpangnya selama ini… Seharusnya aku berada di sisinya. Bukannya malah sibuk bekerja… Aku tak becus mendidiknya…"
"Itu tidak benar, nyonya… Sudahlah nyonya, jangan menyalahkan diri sendiri lagi! Saya berjanji, akan bertindak tegas kepadanya, pasti!" Itulah. Salah satu kebodohanku adalah, tidak bisa melihat orang terkasihku menangis sejadi-jadinya seperti ini dihadapanku. Aku tidak tega. "Hingga dia benar-benar berubah…"
Emanuel yang baru saja selesai berganti pakaian, kini berada di balik pintu ruangan bilik. Apakah gue tidak salah dengar? Liu He Lin bilang seperti itu, berarti dia menerima perasaan gue apa adanya?
Gue semuringah. Suasana hati gue berubah drastis.
"Ma…"
"El!"
"Jawab pertanyaanku!"
"Apa?"
"Benar yang dikatakan He Lin barusan?"
Adhira mengangguk. "Makanya, bertobatlah! Agar dia tidak terlalu lelah bertindak tegas kepadamu!"
Emanuel memeluk Adhira. "Puji Tuhan!"
Beliau terkejut. Emanuel yang kukenal, kenapa sekarang cengeng sekali. "El, apa yang kau lakukan? Kenapa kau menangis?"
"Siapa yang menangis!"
"Kau!"
"Ini… Ini pertanda… Aku bahagia, ma…"
"Puji Tuhan!"
***
Entah mengapa, aku bahagia sekali. Tak pernah hatiku selapang ini. Tenang aku sekarang, melihat putriku satu-satunya pada akhirnya menemukan pria yang tulus mencintainya. Begitu pula Adhira yang sudah menganggap Helin seperti anak kandung sendiri. Rasanya, damai sekali. Liu Da Lan pun terpejam. Sejenak kemudian. Beliau terbangun, di suatu tempat. Yang menurutnya sangat indah. Gemintang syair ayat-ayat suci terdengar merdu sekali. Di mana aku? Ini jelas-jelas bukanlah rumah sakit, pula bagaimana bisa aku tak lagi merasakan sakit? Aku seolah melayang. Ringan, menuju sebuah gerbang emas yang terbuka lebar. Lalu ada sebuah tangan meraih tubuhku. "Selamat datang, anakku! Selamat datang di Surga!"
"Tuhan?"
Bunyi elektrokardiogram tiba-tiba berbunyi lurus. Tidak ada detak jantung lagi yang terdengar. Kami panik. Langsung melakukan tindakan pertolongan pertama bagi serangan jantung mendadak. Dengan menggunakan alat pacu jantung. Berkali-kali.
Aku sudah kehilangan akal sehat. Tak rela, jika terjadi hal yang tidak diinginkan terjadi kepada Liu Da Lan. Namun apa daya, percuma saja. Semua tindakan alternatif lainnya telah dilakukan. Beliau telah berpulang. Dengan senyuman terindahnya.
***
"PAPA!!!!"
"Beliau sudah tiada, Lin…"
"Rumah sakit macam apa ini! Gue akan tuntut kalian, berkat kejadian ini!"
"Namun sayangnya, kejadian ini bukanlah akibat malapraktek, Lin! Apalagi kami punya bukti rekam medis beliau yang kondisinya semakin hari semakin baik!"
"Tapi lihat sekarang! Orang tua gue, papa gue! Lihat!" Aku tidak bisa terima kenyataan. Liu Da Lan! Beliau orang tuaku semata wayang, telah berpulang. "Beliau… Oh Tuhan, dia satu-satunya keluarga yang gue punya…"
"Lin…" Gue berusaha menenangkan Helin yang semakin lama, semakin labil. Meronta-ronta menyalahkan pihak rumah sakit. Jelas-jelas ini adalah salah satu gejala fatal jika seseorang mengalami serangan jantung mendadak. "Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, Lin… Aku juga tidak menyangka beliau akan pergi secepat ini…"
"Cukup, Lin!" Adhira ikut menenangkan Helin. "El benar! Kau jangan menyalahkan siapa pun, apalagi diri sendiri! Karena ini sudah kehendak-Nya! Justru kau harus lapang! Agar kelak beliau bahagia di sana…"
"Tante…"
Adhira memeluk Helin. "Kau tidak sendirian di sini, sayang… Masih ada kami! El dan aku! Suamiku juga pasti akan senang mendengar kabar rencana pernikahan kalian… Anggap saja kami seperti keluargamu sendiri! Yang senantiasa mencintaimu, selayaknya anak kandungku sendiri!"
Susanana haru ini membuat gue tersentuh. Setidaknya, gue beruntung di sela pertemuan beberapa hari ini, gue mendapatkan pesan moral dari Liu Da Lan. Yang mengajarkan gue tentang kebaikan dengan nasehat-nasehat rohani bijaknya. "Dengar, Lin! Tuan Liu Da Lan, beliau pernah bilang kepadaku, agar kelak aku harus menjagamu seperti beliau mencintaimu. Bahkan, asal kau tahu saja! Rasa ini, tak akan sebanding oleh siapapun, Lin! Aku sudah berjanji kepada beliau, akan senantiasa menjagamu dalam suka maupun duka, sehat maupun sakit, hingga menua bersama, aku akan tetap mendampingimu, selamanya… Aku mencintaimu melebihi orang tuamu sendiri, Lin…"
Tidak. Aku tidak terima, nasibku akan berakhir seperti ini. Seharusnya aku tidak bertemu dengan loe, Emanuel Pradipto! Sejak awal, loe hanya pembawa sial bagiku. Aw! Tiba-tiba, kepalaku. Pusing sekali.
BRUGH!!
"Helin!"
"Dia pingsan!"
***
Darah rendah Helin kumat. Dia masih tak sadarkan diri, di ruang perawatan. Sedangkan Emanuel, setia mendampingi. Di sudut ranjang. Sambil merengkuh jemari lentik Helin. Dan berdoa kepada Tuhan. Agar Helin diberikan kesembuhan dengan hati yang lapang. Sementara itu Adhira, beliau yang mengurus pemakaman Liu Da Lan.
Ketika aku membuka mata, aku terkejut sekaligus bingung. Aku ada di mana? Tempat ini… Indahnya bukan main. Bak istana di negeri dongeng-dongeng. Di atas awan. Oh Tuhan. Itu Liu Da Lan. Beliau datang menghadap. Aku langsung memeluknya erat sekali. "Papa…"
Beliau tersenyum. Aura wajahnya terpancar. Sehingga tampak lebih muda dan tampan. "Aku sudah bahagia, Lin."
"Tapi… Ini di mana? Tempat apa ini? Kenapa papa ada di sini? Ayo, pa! Pulang!"
"Ini adalah tempat tinggalku sekarang… Jadi kau tak usah khawatir lagi, Lin. Apalagi bersedih!"
Terdengar kumandang ayat-ayat suci. Aku tersentak. Mustahil. Apakah ini Surga?
"Benar sekali, sayang."
Apakah beliau sedang membaca pikiranku?
"Bahkan aku tahu isi hatimu, Lin."
"Pa…" Aku kembali memeluknya. "Papa… Tega banget sih, ninggalin aku di dunia!"
"Karena tugasku sudah selesai, sayang. Kini. Kau telah menemukan orang yang mencintaimu melebihi aku mencintaimu…"
"Kata siapa, pa!"
"Percayalah kepadaku, Lin! Emanuel tidak akan pernah mengecewakanmu! Jadi tolong jaga perasaan dia, jika kau ingin bahagia! Jangan pernah coba-coba kau mengkhianati dia! Atau kau akan celaka!"
"Pa…"
"Kelak, jangan lupa akan Tuhan, ya sayang!"
"Liu Da Lan…" Sebuah tangan meraih Dahlan. Keajaiban apalagi ini? "Waktumu sudah habis…"
"Ingat kata-kata terakhirku ini, Lin. Aku harus pergi… Selamat tinggal!"
"PAPA!!!"
"Helin! Kau sudah siuman?"
"Papa! Di mana dia?"
"Pemakaman beliau sedang diurus orang tuaku, Lin."
Oh tidak. Papa. Dia sudah di Surga sekarang. Berada dekat di sisi-Nya. Dan aku harap, itu bukanlah sebatas mimpi. "Papa…" Helin sesegukkan. "Papa…"
Sejak saat itu, Emanuel bersumpah. Akan mengingat janjinya kepada Liu Da Lan. Tidak akan pernah gue kecewakan siapa pun juga untuk mencintai Liu He Lin. Terutama untuk mendiang.
***