Maafkan aku, Lin. Maafkan aku, Adhira. Aku harus melakukan ini. "Bryn!"
"Ya, tuan muda!"
"Saya sudah membaca laporan yang kau buat…"
"Oke. Jadi apa rencana kita selanjutnya, tuan muda?"
"Temui saya besok pagi sekitar jam sembilan pagi di rumah sakit!"
"Baik!"
Ya. Seharusnya gue sudah sampai di apartemen. Namun gue harus menunggu orang-orang terkasih gue di sini, walaupun itu bersifat hanya sementara.
Emanuel sesekali melirik jam. Tak terasa hampir empat jam sudah telah berlalu. Namun tindakan di dalam ruangan operasi belum kunjung usai. Please, El. Tolonglah, El. Bersabarlah. Sebentar saja! Ya, benar El. Kau hanya menunggu waktu sedikit lagi, barulah kau bisa menemui Helin dalam lelapnya di bilik.
***
Finally. Tindakan pemasangan pen di bagian tulang rusuk dan tulang ekor bagian belakang Liu Da Lan telah usai. Akhirnya. Gue merasa lega. Kondisi beliau kini sangat kondusif. Hanya perlu menunggu beberapa waktu untuk siuman.
Kini beliau sudah berada di ruangannya. VVIP President Suit. Bilik termewah nomor satu di sini. Tingkatan lebih tinggi lagi dari sebelumnya.
***
"Selamat pagi, tuan muda!" Bryn langsung memberi hormat ketika masuk ke dalam ruang kerja Emanuel. Biasanya, jika beliau datang di setiap kesempatan, tempat ini sangat kotor dan berantakan. Entah itu pakaian-pakaian seorang wanita yang berceceran, atau botol-botol wine berserakan di mana-mana. Namun tidak kali ini. Seisi ruangan ini sangat bersih. Wangi karbol. Sesekali saya mengintip ke kamar tuannya yang kebetulan melongo. Tidak ada siapa-siapa. Mustahil.
"Pagi! Masuk-masuk, Bryn!"
"Iya, tuan!"
Beliau memberi saya sebuah botol mineral. Yang membuat saya makin terkejut adalah, ketika melihat isi kulkas itu. Botol-botol itu. Penuh. Semuanya berisikan mineral. Tidak ada lagi minum-minuman keras, bahkan minimal minuman bersoda pun tidak ada.
"Tak usah sungkan!"
Tuan muda. Sudah lama sekali saya berharap penuh kau kembali seperti sedia kala. Seperti ini apa adanya. Dengan gayamu yang khas. Tegas, namun hangat. Murah senyum. Berpenampilan kasual. Yang paling penting. Tak lagi berpencicilan.
"Bryn! Saya sudah membuat keputusan bulat. Ini adalah data yang perlu kau ubah!"
"Di ubah? Maksud tuan, memanipulasi data ini?"
"Ya… Apalah namanya itu. Saya akan membayar sangat mahal jika kau mau melakukannya!"
"Tapi saya…"
"Kau tenang saja! Saya yang akan bertanggung jawab atas masalah ini! Paham!"
Bryn menghela napas panjang. Tuan. Apakah ini semua berkat gadis itu? Berkat Liu He Lin, kau rela melakukan ini semua?
"Saya senang, pada akhirnya anda kembali seperti sedia kala, tuan. Begitu pula dengan nyonya besar yang ikut andil… Nona Liu He Lin pasti orang yang sangat baik."
Emanuel mendelik. "Exactly!"
"Puji Tuhan! Kalau begitu, saya dengan senang hati akan membantu anda dalam masalah ini, tuan. Saya akan sangat berhati-hati menghadapi nyonya besar, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan."
"Terima kasih, Bryn!" Ada ketulusan terpancar dari bola mata Emanuel. Rasanya, damai melihatnya. "Liu He Lin. Hanya dia seorang yang dapat menyadarkan saya tentang keberadaan Tuhan itu nyata. Salah satunya, adalah. Rasa syukur ini. Saya tidak akan mungkin berada di sini, sejauh ini, tanpa campur tangan-Nya."
Bryn merasa terharu. Lalu dia menawarkan gue sebuah pelukan. Baiklah. "Haleluya!"
***
"Okay. Baiklah. Rupanya orang tua Liu He Lin adalah seorang pengrajin perhiasan? Nice. Kini beliau sedang di rawat di rumah sakit akibat patah tulang… Ya… Paham." Di sela kesibukan, Adhira mecuri waktu untuk membacanya lebih seksama. "APA! Orang tua calon menantuku sedang di rawat?"
God! Bagaimana bisa itu terjadi? Baiklah. Aku harus apa sekarang? Pekerjaanku sedang menumpuk di sini. Tidak akan mungkin aku tinggal begitu saja. Namun. Kasihan Liu He Lin. Ibundanya sudah meninggal dunia, dia pasti sangat menderita harus melihat ayahnya pun kini sedang berjuang hidup di rumah sakit. Ya! Aku harus menghubinginya setelah ini. Bersabarlah, Adhira. Pekerjaanmu akan segera selesai, setidaknya hingga petang.
Tidak! Tidak bisa!
Aku tak peduli akan kehilangan jutaan dolar, aku benar-benar tak peduli tender ini akan diraup si tengil Christoper Riyadi Helu. Calon menantuku lebih penting.
"Erica! Tolong urus keberangkatanku ke Jakarta sekarang juga!"
***
Terima kasih, Tuhan. Aku sudah lepas infusan siang ini. Aku senang. Pada akhirnya, aku dapat bertemu dengan Liu Da Lan, setelah seharian suntuk berpisah. Sungguh, aku sangat merindukannya. "Pa!"
Ish. Suasana hatiku berubah menjadi sebal. Kenapa playboy itu sedang ada di sini? Mereka berdua sedang mengobrol seakrab itu.
"Lin!"
"Pa…"
"Maafkan aku telah membuatmu khawatir, sayang… Maaf sampai hati kau harus menderita karenaku…"
"Pa…" Aku masih menggunakan kursi roda, berkat dua perawat bawel ini. Aku merasa malu sekali. Harus didorong-dorong seperti ini. Hingga kami selekat ini. Aku mengecup kening papa. Sambil berbisik firman Tuhan. Sebagai tanda syukur kami kepada-Nya.
"Nona Liu He Lin!"
What the hell!
"Ma!"
"Nona Liu…" Adhira memeluk erat Helin. Perasaan apa ini. Kenapa nyaman sekali rasanya? Ya. Benar juga. Sudah lama sekali aku tak merasakan pelukan sehangat ini. Hingga merasuk ke dalam hatiku. Dari seorang ibu. "Kau kenapa, sayang?"
"Oh ini, tidak apa-apa nyonya. Saya hanya… Terharu."
"Oh…" Adhira mempererat pelukannya. "Kau pasti sangat mengkhawatirkan orang tuamu… Lin. Hear me! Kau harus kuat, sayang…"
Emanuel geleng-geleng kepala atas kelakuan orang tuanya yang berlebihan itu. Beliau pasti baru saja membaca laporan yang telah dikirim Bryn. Maka langsung datang ke sini tanpa pikir panjang. Kini. Sambil merengkuh pundak Da Lan, gue ikut terharu. Menyaksikan Adhira yang sedang menguatkan Helin dengan syair-syair firman Tuhan yang sudah dipersiapkan. Oh. Itu. Sungguh. Peristiwa yang langka. Dan benar-benar menyentuh.
***
"Aku baru saja mendengar kabar tentang tuan. Maka tanpa pikir panjang, aku langsung datang ke sini."
"Benarkah itu? Maafkan saya, telah merepotkan anda, nyonya…"
"Itu bukanlah masalah. Yang terpenting, aku lega sekarang bisa melihatmu kembali sehat setelah menjalani operasi yang sangat panjang…"
"Ya, itu juga berkat tuan Emanuel. Jika tidak ada beliau, mungkin aku sudah berada di sisi Tuhan."
"Pa…"
"Kau ini, jangan bicara seperti itu, tuan! Tidak baik!" Adhira mendelik ke arah Emanuel. "Dengan kebesaran hati, aku mengucapkan terima kasih banyak, kau telah melakukannya dengan sangat baik! Aku bangga kepadamu, El!"
"Ya… Thank you, ma! Aku di sini, memang tak pernah mengecewakan siapa pun!"
"Kau juga, Helin. Beruntung kau bertemu dengan El."
"Oh itu, saya…"
Emanuel merengkuh jemari lentik Helin. "Tentu saja! Tapi aku lebih beruntung telah dipertemukan dengannya, karena satu hal. Mama benar. Dia gadis baik-baik. Dan aku berjanji kali ini, tidak akan mengecewakan siapa pun. I'm promise!"
Adhira semuringah. "Itulah! Aku memang tak salah menilai…" Beliau kemudian menepuk bahu Emanuel dengan tegas. "Maka, kau… Jangan hanya bicara saja, El! Tunjukanlah kepada kami jika kau benar-benar tulus mencintai Liu He Lin! Segeralah bertobat, El!"
Emanuel sebal. Lagi-lagi. Adhira membahas hal yang tak ingin gue dengar lagi, apalagi beliau dengan santainya berbicara dihadapan Liu Da Lan dan Helin. Memalukan saja. "Ya, ya, ya…"
"Serius!"
"Ya…" Bukan gue yang menjawabnya. Namun itu Liu Da Lan. "Tentu saja dia akan melakukannya. Jika tidak, mana mungkin aku akan menyetujui hubungannya dengan putri kesayangan saya?"
"Dengar itu, El! Kau harus berusungguh-sungguh bertobat! Bukan hanya demi aku! Tapi demi restu calon mertuamu ini!"
Helin melemas. Bagaimana bisa, kedua orang tua kami masing-masing, dengan santainya membicarakan soal hubunganku dengan Emanuel yang jelas-jelas bukan siapa-siapa?
Sementara itu, Emanuel. Pria itu sesekali melirikku. Setajam elang. Tampangnya angkuh. Seolah-olah memberikan isyarat, bahwa kemenangan sedang berpihak kepadanya. Celaka. Apakah dia sedang mengisyaratkan soal hutang-hutangku? Dasar bedebah. Habislah aku kali ini.
***
"By the way, Lin! Bagaimana dengan pekerjaanmu di restoran Keith's Jr.?"
Helin mendadak murung. Gue langsung sigap berada disisinya. "Ma! Bisakah kita bicarakan hal lain yang lebih penting?"
"Why!"
"Saya sudah tidak lagi bekerja di sana, nyonya."
"Kenapa!"
"Sudahlah, ma! Aku akan menceritakan tragedi sial yang telah menyebabkan Helin berhenti bekerja di sana, tapi tidak sekarang!"
Dan masalah itu terjadi berkat loe, Emanuel keparat!
"Ya sudah, kalau begitu bagaimana jika kamu kelola saja salah satu perusahaan kami! Bisa, kan!"
"Tidak-tidak! Aku sudah mempersiapkan restoran baru untuknya."
Lagi-lagi, Emanuel mendelik. Ish. Menyebalkan sekali dia, mentang-mentang kaya raya, bisa-bisanya menindas orang kecil sepertiku ini? Lord, help me! Aku tidak ingin hutangku bertambah lebih banyak lagi!
"Kenapa harus restoran! Properti lebih menguntungkan!"
"Karena dia hobi memasak."
"Benarkah?"
Ma! Please. Seharusnya jika kau sudah membacanya dengan seksama, kau tidak akan merasa kebingungan seperti itu!
"El. Sepertinya kau lebih mengerti dan lebih tahu mana yang terbaik untuk He Lin. Teruskanlah! Aku akan terus mendukung usaha kalian. By the way, aku lapar sekali. Ayo kita pesan makan siang bersama! Di mana saja, asalkan pas dengan lidahku!"
"Baiklah, Helin, kau mau pesan apa?"
Aku yang setia di sisi Liu Da Lan, menggelengkan kepala. "Saya masih kenyang."
"Chinese food? Kwetiau siram A Foang, mungkin? Atau perlukah kita pesan di Gang Simpang Lima saja? Kebetulan, seafood di sana sangat enak! Tapi aku mau coba kepiting rebus saus tiramnya… Hm! Helin! Bagaimana menurutmu? Kami akan pesan itu semua, apakah kau benar-benar tidak ingin?"
Astaga. Tidak Adhira, tidak Emanuel. Mereka tahu semua favoritku. Apakah ini sebuah kebetulan yang berarti?
"Hello, Lin!"
"Iya, nyonya?"
"Bagaimana menurutmu?"
"Oh menurut saya, semuanya enak. Tapi saya sudah kenyang. Jadi terserah kalian saja, mau makan apa…"
"Baik! Kita coba restoran Fong-Fong saja, ma!"
Aku makin mati rasa. Apakah mereka sedang membaca pikiranku? Karena sudah lama sekali aku tak menikmati menu spesialnya yang serba seafood itu. Restoran terbaik di bumi, menurutku.
***
Da Lan hanya bisa tersenyum dalam diam, sambil memperhatikan apa yang beliau lihat dihadapannya. Walaupun aku baru saja mengenal Emanuel, namun entah mengapa aku sangat menyukainya. Berkat kepeduliannya menemaniku sejak Helin sedang di opname semalaman suntuk, sampai detik ini. "Tak apa-apa, tuan Liu. Sembari saya di sini, sembari saya berjaga-jaga. Siapa tahu, ada pasien saya yang perlu tindakan…" Begitulah ujarannya. Kami pun banyak mengobrol. Bertukar pikiran. Sampai hati Emanuel menangis terharu disaat aku mengingatkannya kepada Tuhan. Pria ini, sebenarnya memiliki hati kecil yang sangat baik. Namun itu seolah tak nampak berkat lubang hitam yang mendorongnya lebih jauh lagi ke dalam. Dia sebenarnya ada keinginan untuk melepaskan semua itu. Namun sulit rasanya. "Ingatlah kepada orang yang kau cintai, tuan! Kau harus berjuang demi mereka, bertekad kuat, kau pasti bisa!" Itulah salah satu kalimat yang kuucapkan, untuk membesarkan hatinya kepada Tuhan. Yakin akan segala ampunan-Nya.
Rupanya orang tua Emanuel pun memiliki naluri yang sama denganku. Walaupun aku sangat mengenal beliau, yang tidak lain adalah rival perusahaan suami Hena yang sekarang menetap di Luar Negeri, aku tetap berusaha bersikap baik. Tetap menghormatinya. Dengan pikiran yang tenang, tanpa tersirat kebencian setitik pun.
Mereka kini sedang bersenda gurau. Mereka bahkan tahu betul semua yang disukai Helin. Seafood. Bahkan karma baik, kau Lin, mereka sampai hati telah mempersiapkan fasilitas untuk mengembangkan bakatmu di dunia kuliner. Namun aku mengenalmu, Lin. Kau memang sedikit keras kepala. Juga tak mudah bagimu untuk percaya kepada orang lain, walaupun mereka tulus melakukannya demi kebaikan bersama. Jadi untukmu, Emanuel. Bersabarlah. Jangan putus asa. Teruslah belajar, menjadi orang yang baik menurut ajaran Tuhan. Hanya itu yang bisa kau lakukan untuk meluluhkan hati He Lin.
***
Shit!
Emanuel keparat! Bagaimana bisa beberapa hari belakangan, dia tidak bisa dihubungi sama sekali. Apakah dia tidak tahu betapa aku merindukannya? Yeah. Kami memang sering menikmati kebersamaan di apartemen. Aku rindu desahannya di atas ranjang. Ya! Lebih tepatnya, aku sangat membutuhkan uang untuk membayar cicilan-cicilan kartu kredit. Maka aku menghubunginya sampai mati rasa, namun tidak di respon sama sekali. Berkunjung ke apartemennya pun, percuma. bibi Nur tua bangka itu selalu bilang, bahwa tuannya tidak ada di apartemen. Selalu saja seperti itu. Selalu. Sampai aku sekesal ini.
Jadi. Tidak ada cara lain selain aku datang ke rumah sakit ini. Namun. Tetap saja, usahaku seolah percuma. Hingga sejauh ini, aku datangi resepsionis untuk mendapati informasi lebih lanjut. Ketika petugas lugu itu menghubungi Emanuel, beliau bilang beliau sedang sibuk.
"HEH! LOE ANAK BARU DI SINI? TIDAK TAHU SIAPA GUE!"
"Maaf, mbak…"
"Mbak, kata loe! Cari ribut loe, hah! Perkenalkan, saya Lady! Calon istri El!" Aku kembali menelepon Emanuel. "Awas aja loe, siap-siap loe gulung tikar!"
El. Please, angkat! Atau aku bisa gila!
PING!
Pesan singkat masuk ke dalam ponselku. Itu adalah notifikasi bahwa ada saldo masuk ke rekeningku. Ya! Itulah yang aku suka darimu, El.
"Thank you, honey!"
"Saya harap itu lebih dari cukup, bitch. Jadi saya tegaskan sekali lagi, jangan temui saya lagi, atau bisa saja saya jebloskan kau ke penjara dengan kasus pemerasan! Paham!"
What the hell!
"Apa yang telah kau lakukan, El? Kau memutuskan hubungan kita?"
"Saya akan segera menikah, jadi tolong enyah dari kehidupan saya untuk selamanya!"
"Oh, astaga! Tidak mungkin kau akan melepas lajang! Mustahil! Lagipula siapa calon istrimu itu? Kenapa mau saja dibodoh-bodohi oleh seorang playboy kelas kakap macam kau! Karena aku kenal siapa kau! Kau tidak akan pernah bisa hidup tanpa dunia gemerlap dan wanita sepertiku… Yang ada, ujung-ujungnya bukannya bahagia, malah pernikahan berujung perceraian."
"Omong kosong! Enyalah dari gue, untuk selamanya!"
Contact is blocked.
AAAAARRRGGGGHHH!!!
BRUGH!
"Ish! Liat-liat dong, kalau jalan! Punya mata, kan!"
"Maaf, nona…"
"Sebal!" Lalu aku tetap melaju menuju lobi utama. Setelah membayar seluruh hutangku melalui akses mobile banking, aku segera berangkat ke mujikari terbaik sejagat Jakarta. "Halo! Alan! Gue butuh pekerjaan! Sekarang!"
***