"Fine! Aku paham sekarang. Orang tuamu, Liu Da Lan baru saja mengalami kecelakaan, sehingga mengalami cidera yang serius dibagian tulang ekor belakang. Benar? Kasihannya. Kini beliau terpaksa menjalani perawatan di ruang kelas tiga. Agar beliau bisa bertahan lebih lama lagi, beliau harus mendapatkan perawatan intensif terbaik di rumah sakit ini! Namun masalahnya… Asal kau tahu saja, nona. Itu tidak gratis. Kau harus membayar uang muka terlebih dahulu, berkisar seratus lima puluh juta. Dengan konsekuensi batasan waktu terakhir adalah besok. Jika anda tidak melunasinya dengan segera, apakah kau tahu apa yang akan terjadi? Aset-aset yang kau punya sebagai penanggung jawab, akan kami ambil alih. Plus kau harus wajib lapor kepada pihak berwajib." Gue sengaja diam sejenak, untuk memberikan jeda. Sambil menatapnya tajam. "Jadi! Jika itu benar terjadi, otomatis penanganan tindakan operasi pemasangan pen di bagian tulang belakang beliau oleh tim-tim terbaik kami, tidak akan terlaksana. Maka…" Helin semakin pucat pasi mendengarnya. Bagus! Gue tak segan-segan menekannya. "Konsekuensinya, tuan Liu Da Lan akan mengalami kelumpuhan total!"
"BANGSAT! DASAR MAFIA! BAJINGAN!"
"Sssttt!" Telepon kantor di atas meja kerjanya berdering. Dari orang kepercayaannya. Brandon. Dia begitu angkuh dan sangat profesional dalam berbicara. Itukah sifat aslinya? Brengsek. Aku tak kuasa membendung tangis sejadi-jadinya. Hingga hilang akal sehatku. Aku membencimu, Emanuel! Aku benci!
Helin! Apa yang sedang kau lakukan? Berani sekali kau mengacak-acak perabotan di seluruh ruangan! Semua dokumen-dokumen penting, berserakan di mana-mana! Pajangan-pajangan mahal yang gue koleksi selama bertahun-tahun pun, harus pecah belah! Porak-poranda!
"Liu He Lin! Enough!" Gue bersikeras menenangkan Helin. Namun dia benar-benar kehilangan akal. "Lin! Tenangkan dirimu! Maafkan aku jika aku bersikap berlebihan! Maaf, Lin… Cukup!"
PLAK!!
"Tampar aku lagi, tampar sepuasmu, Lin!"
PLAK!!
PLAK!!
Seketika. Kepalaku. Tiba-tiba saja, pusing tujuh keliling. Pandanganku mulai memburuk. Tidak! Aku tidak boleh melemah dalam pelukan Emanuel. Keparat itu. Namun tenagaku telah terkuras habis. Aku tak bisa berang lagi. Lalu. Aku mendadak tak sadarkan diri.
"LIU HE LIN!" Emanuel panik. Maafkan aku, Lin. Sungguh, aku tak berniat menyakitmu. Tapi bodoh aku, telah melakukannya. Salah gue… Tak seharusnya gue sengaja menekannya dengan harapan rencana gue berjalan dengan baik. Gue tidak tahu dia memiliki riwayat hipotensi. Tekanan darah rendah.
***
Dengan setia, Emanuel mendampingi Helin di sudut ranjang pasien. Gadis itu tampak lemah tak berdaya, dibantu infusan dengan suntikan obat terbaik. Namun ini sudah dua jam kau terbaring dalam mata terpejam, Lin. Aku sungguh tidak tega melihatmu selemah ini. Maafkan aku, Lin. Aku sungguh tak bermaksud. "Maafkan aku…" Tanpa sadar, pria itu merapuh. Terisak tiada henti. Sampai sesak dada ini. Berharap, Tuhan tetap mengasihinya. Menguatkannya. Mengembalikan dia seperti sedia kala. Liu He Lin. Perempuan yang tangguh.
Suara ketukan pintu terdengar. "Ya, masuk!"
Itu Brandon. Dia hanya ingin menyampaikan informasi lebih lanjut, tentang kondisi Liu Da Lan. Rencananya, besok pagi beliau akan di jadwalkan masuk ke ruang operasi. Karena jika dibiarkan begitu saja dan harus menunggu lebih lama lagi, ada kemungkinan akan mengalami komplikasi yang mengakibatkan kelumpuhan total.
"Ya! Berikanlah yang terbaik untuk beliau!"
"Tapi ada beberapa dokumen-dokumen penting yang harus di tanda tangani sebagai penanggung jawab, tuan… Apakah saya harus menunggu nona He Lin siuman?"
"Tidak perlu! Biar saya yang akan bertanggung jawab!"
Brandon terkesima. Tidak biasanya beliau setegas ini. Apakah ini ada kaitannya dengan gadis ini. "Baik, tuan! Saya akan menyiapkannya dengan segera!"
***
Dingin sekali. Di mana ini? Aku menajamkan penglihatan. Oh. Rumah sakit rupanya. Tapi di lorong ini, tidak ada siapa-siapa. Hanya aku seorang diri.
"He Lin…"
Aku menoleh ke belakang. Ke sumber suara itu, yang memanggil namaku. Papa. Beliau tampak segar bugar. Berdiri dengan gagahnya. Dibaliknya, ada sinar cahaya yang begitu menyilaukan. "Pa…"
Beliau melebarkan kedua tangannya, siap merangkulku. Aku pun tak kuasa menahan perasaan ini. Aku senang, beliau kini sudah sehat walafiat seperti sedia kala. "Sayang."
"Pa… Syukurlah kau sudah sehat sekarang…"
"Tuan Liu Da Lan."
"Maaf, nak. Papa sudah tidak ada waktu lama di sini bersamamu. Papa harus pergi…"
"Siapa mereka, pa?"
"Mereka adalah para malaikat yang akan menjemputku."
"Malaikat?"
"Jadilah perempuan yang tegar menjalani hidup, ya sayang. Kau juga harus bisa menjaga diri baik-baik. Hiduplah dengan tekun. Gapailah cita-citamu setinggi langit. Jangan pernah menyerah. Ya? Aku akan merindukanmu selalu di sana. Selamat tinggal, sayang…"
Aku terisak sejadi-jadinya. Beliau satu-satunya orang tua yang kumiliki. Harus pergi meninggalkanku. "PAPA!! JANGAN PERGI!! PA!"
Namun apa daya. Beliau pergi ke suatu tempat di atas sana. Menaiki tangga yang sangat cantik, berkilauan ribuan cahaya. Tak peduli akan keberadaanku yang tiada henti meraung-raung di bawah sini, beliau tetap pergi. Hingga engkau menghilang begitu saja, tanpa meninggalkan jejak sama sekali.
***
"Lin! Liu He Lin!" Emanuel senang, akhirnya Helin siuman. "Syukurlah, Lin… Kau sudah sadarkan diri…"
Di mana ini? Lagi-lagi di rumah sakit yang sama. Hanya saja, kini aku sedang di sebuah ruangan rawat. Di atas ranjang. Mengenakan pakaian medis untuk seorang pasien. Aw! Tanganku. Sakit sekali. Apa ini? Infusan?
Apakah barusan itu hanyalah mimpi?
"Tenangkan dirimu, Lin! Kau akan baik-baik saja…"
"Bullshit!" Aku pun berusaha melepaskan infusan, walaupun itu sangat menyakitkan, namun aku harus. Aku sangat mengkhawatirkan Liu Da Lan. Aku hanya ingin memastikan beliau baik-baik saja.
"Lin! Mau ke mana kau!" Emanuel was-was, Helin pergi menuju bilik di mana Liu Da Lan di rawat sebelumnya. "Lin, stop it! Kau masih belum sehat! Lagipula, kini orang tuamu tidak ada di sana lagi!"
"Apa maksud loe!"
"Tuan Liu Da Lan dipindahkan ke ruangan lain…"
Aku melemas. Benar dugaanku. Kini aku sebatang kara. "Papa…"
"Kau masih belum sehat betul, Lin… Kau harus kembali ke bilikmu!" Dibantu beberapa perawat yang ada di sekitar lorong, Emanuel membawa Helin, dengan kursi roda. Luar biasa memang penangan rumah sakit ini. Begitu cepat tanggap dan sangat profesional.
Seorang perawat yang ikut menangani Liu He Lin, berdecak kagum. Lihatlah, pak presdir di depan saya ini. Dia begitu sigap mendorong kursi roda. Tegas, namun ada kelembutan terpancar dari lubuk hatinya. Seperti sedang merawat orang terkasihnya.
Oh… Itu berarti, benar. Perempuan inilah tambatan hati Emanuel saat ini. Namun tunggu-tunggu. Entah mengapa, ada sedikit perbedaan dari sebelum-sebelumnya. Perempuan ini, dari penampilannya saja sangatlah baik. Tidak terbuka, bahkan sangat menutupi auratnya. Sehingga saya gemas. Tidak sabar mendengar kabar berita baik dari mereka berdua. Tuhan. Berkatilah presdir Emanuel dan nona Liu He Lin. Semoga hubungan mereka langgeng terus, sampai ke pelaminan. Amin! Amin, ya Allah. Aamiin ya rabbal alamin.
***
"Tuan Liu Da Lan dipindahkan ke ruangan VVIP. Ruangannya ada di sebelah bilikmu ini. Dan hari ini, beliau akan dijadwalkan untuk tindakan operasi pemasangan pen di bagian tulang ekor berikut tulang rusuknya. Tepat jam sembilan pagi."
"Apakah ini salah satu cara elo agar gue harus membayar balas budi? Dasar! Bedebah!"
"Maafkan aku jika aku menyinggung perasaanmu. Aku sudah memikirkan masalah yang kita bicarakan semalam, aku telah mempertimbangkannya dengan baik-baik. Aku sudah memutuskan, agar tidak lagi menyinggung soal hubungan kita, bahkan tentang pernikahan kita." El. Please. Jangan rapuh. Gue tidak ingin dia melihat gue secengeng ini. Gue kuat. Ya. Gue kuat. "Di samping itu, aku begitu tulus membantumu, begitu pula terhadap orang tuamu, tuan Liu Da Lan. Jadi lupakan saja persoalan masalah biaya. Kau tidak perlu membayar sepenuhnya. Aku ikhlas… Asalkan kau bahagia."
What the hell. Aku dapat melihatnya. Dengan seksama. Selekat ini. Pria itu, yang aku pikir sangat kuat, ternyata bisa serapuh itu.
"El…"
***
Emanuel makin terisak. Sesegukkan saat Helin menyebut nama kecilnya. Dengan tatapan kosong dan sepolos itu. Gue pun segera keluar dari bilik, bersandar di tembok. Entah gue harus bahagia atau tidak, itu adalah keputusan yang sangat sulit, yang harus gue terima seumur hidup. Kenapa, Tuhan. Di saat aku mulai mempercayai-Mu, di saat itu pula Engkau kecewakan aku? Secepat itu kah gue harus melepaskannya?
***