Chereads / Heaven's Mandate Wedding / Chapter 2 - Liu He Lin. Her Name Is

Chapter 2 - Liu He Lin. Her Name Is

PRANG!!

Sebuah keributan tiba-tiba terjadi di restoran Keith's Jr. pada siang itu. "Ada apa ini? Kenapa ribut-ribut! Apa yang sebenarnya terjadi, Shinta?"

"Tuan-tuan ini, bu…" Isak seorang pelayan yang berniat melayani meja nomor dua puluh di aera terbuka bebas rokok. Ia sangat terkejut atas gertakan dari dua orang pria tak beritikad baik ini. "Mereka tak sabar menunggu pesanan mereka, jadi kesal lalu marah besar…"

"Oh, begitu rupanya? Ehm! Maaf, tuan-tuan terhormat. Dari jam berapa anda berada di sini?"

Salah satu pria menyebalkan itu mendelik dengan tatapan merendahkan. "Anda bicara kepada kami?"

"Ya, tentu saja!"

"Kami di sini sejak dua jam yang lalu!"

"Bohong, bu! Mereka berdua baru saja datang…"

"Eh! Bedebah! Jangan ikut campur loe!"

"Anda, yang bedebah!"

"Loe! Lancang sekali! Loe tidak tahu siapa kami?"

"Saya tidak peduli siapa anda! Saya hanya ingin memperingatkan kepada anda dan anda tuan, jika ingin membuat onar, maaf bukan di sini tempatnya! Lihat di sana, ada pintu keluar terbuka lebar! Silahkan kalian angkat kaki dari sini sekarang juga, sebelum…"

Ciuman itu. Mendarat dengan mulus. Tepat di bibir mungil Helin. Tidak mungkin. Mustahil. Bagaimana ini bisa terjadi? Ciuman pertamaku ini. Shit! Bau alkohol.

PLAK!!

"BAJINGAN!"

"Berkencanlah denganku malam ini juga, nona! Maka aku akan memberikan segalanya kepadamu, dalam waktu sekejap mata!"

Aku menamparnya sekali lagi. Dan mulai panik, karena pria itu bertingkah semakin jadi, bak serigala siap menerkam mangsanya. Aku pun bersikeras mencari bantuan. "SECURITY! PAK JOJO! CEPAT USIR MEREKA BERDUA DARI SINI SEKARANG JUGA!"

Seorang teman pria brengsek itu, menepuk bahunya bersahaja. "El… Sudah gue bilang sebelumnya! Dia ini, cewek bukan sembarang cewek! So, gue tidak suka bertele-tele." Tadahnya dengan tampang angkuh penuh kemenangan. "Sesuai janji. Mobil kesayangan loe itu, menjadi milik gue sekarang!"

PLAK!!

Tamparan itu adalah tamparan yang paling keras. Pria itu memang pantas mendapatkannya. Enak saja. Memangnya perempuan macam apa Liu He Lin. Seorang security datang menghadap dengan cepat, siap menggerus dua bedebah ini.

Kebetulan, Edgar tiba. Owner restoran itu bingung, telah mendapati dua orang pria telah dibawa paksa oleh pak Jojo keluar dari restoran. Salah satu dari pria biang rusuh itu, menatapnya tajam ke arahnya, sambil menunjukkan jari tengah.

Edgar tersentak. El? Benarkah itu Emanuel Pradipto? Ini adalah sebuah kehormatan besar bagi Edgar. Finally, putra tunggal keluarga Pradipto itu datang berkunjung. Tapi kesalahan apa yang telah dilakukan pegawai-pegawainya di hari ke dua Helin menjabat sebagai manager baru?

"LIU HE LIN!" Tegur Edgar dikala Helin bersama timnya berusaha menenangkan suasana sambil meminta maaf atas ketidaknyamanannya. "Ke ruangan saya, SEGERA!"

"Baik, pak!"

"CEPAT!"

***

"Nona Liu He Lin… Kamu tahu kan apa akibatnya jika berani berbuat onar di restoran ini?"

"Dua pria itu yang telah berprilaku tidak senonoh kepada salah satu pegawai kita, pak! Tidak hanya itu! Saya pun menjadi korban pelecehan!"

Edgar menghela napas panjang. Bukan El namanya jika tidak bertingkah seenak dengkul. Apakah gadis lugu ini menjadi incarannya kini?

"Contohnya?"

Air mata Helin tiba-tiba saja berlinang, berkat terbawanya suasana. "Dia… Dia mencium bibi saja sembarangan, pak! Tentu saja saya tidak bisa tinggal diam!"

Edgar lagi-lagi menghela nafas panjang. Benar, kan. El. Inikah selera loe sekarang? Seorang gadis lugu keturunan Tionghoa yang loe benci selama ini? Serendah itukah loe sekarang?

Sebuah pesan singkat telah masuk ke dalam ponsel Edgar. Itu dari Emanuel.

"GUE SUDAH MEMBUAT CEK. SEPULUH MILYAR UNTUK LOE, DI BAYAR KONTAN! ASALKAN DENGAN SATU SYARAT! LOE PECAT DIA SEKARANG JUGA!"

"Saya tanya sekali lagi, nona. Kamu tahu kan, akibat dari apa yang telah kau perbuat kepada pelanggan terhormat kita selama ini?"

"Lebih baik saya mengundurkan diri, daripada harus mengagung-agungkan pelanggan kurang ajar macam dia! Permisi, pak! Saya pamit!"

Edgar terkejut. "Nona! Liu He Lin! Hei!"

Aku tidak peduli. Aku terus melangkah menuju tempat kerjaku sambil membereskan semua barang yang perlu dibawa pulang.

***

Dengan tegar, Helin keluar dari restoran. Aku kuat. Aku kuat. Ya. Aku harus kuat. Jangan cengeng. Jangan menangis. Please. Jangan!

Disela kondisi suasana hati yang tak menentu ini, tiba-tiba saja ponselku berdering. Aku terkejut. Itu telepon dari salah satu teman orang tuaku. "Ya, om A Ming?"

"Liu He Lin! Dengar!"

"Ya, om! Ada masalah apa?"

"Jadi begini, Lin… Tadinya, saya mau ambil pesanan saya, maka pergi ke bengkel Liu Da Lan. Tapi ketika sampai di sana, saya malah menemukan beliau sudah tak sadarkan diri di kamar mandi! Sehingga tulang ekor bagian belakangnya mengalami cidera!"

"APA!?"

"Sekarang, beliau sedang di rawat di Rumah Sakit El Pradipto!"

Finally. Air mataku tak terbendung lagi. Aku tak berhenti terisak. Rapuh. Sehingga kakiku melemas. Brugh! Aku jatuh tertumpu. Kotak berisi barang-barang milikku jatuh berserakan di tepi jalan. Papa.

Untung saja lokasi El Pradipto Hospital berada tidak jauh dari sini. Tidak ada waktu untuk memesan ojek online. Belum mencari driver-nya. Belum menunggu driver-nya sampai menjemputku. Belum putar baliknya yang terlalu jauh. Aku pun nekad menyebrangi jalan raya tanpa melewati jembatan penyebrangan, agar aku dapat naik bus tiga per empat yang sedang berhenti mencari penumpang di halte seberang sana. Bus itulah yang akan mengantarku tepat di depan gerbang Rumah Sakit.

TIIIINN – TIIINNN!!! TIIIIIIINNNNN!!

Beruntung Tuhan masih berbaik hati kepadaku. Sehingga aku dapat menghindari beberapa mobil yang nyaris membahayakan jiwaku. Kemudian aku masuk ke dalam bus. Ugh! Selalu saja seperti ini. Tidak ada tempat duduk yang tersisa. Mau tidak mau, aku pun harus berhimpitan bersama penumpang yang lain. Menyebalkan, bukan?

Butuh waktu sepuluh menit perjalanan, untuk sampai ke tempat tujuan. Aku pun turun. Membayar ongkos dengan koin-koin yang tersimpan terpisah dari dompet kulit hitamku.

Loh! Tunggu-tunggu! Aku meraba tas. Dompet koinku ada. Ponselku juga ada, karena selalu digenggamanku. Tapi ke mana dompetku? Aku menghela napas jengkel. Sial betul! Kena copet!

***

Aku melemas. "Oh astaga, bagaimana aku bisa membayar uang muka? Segala dompetku hilang…"

El Pradipto Hospital. Rumah Sakit macam apa ini? Pantas di dalamnya orang intelek semua. Karena yang harus dibayarkan mahal sekali. Selangit. Hingga aku tak bisa menggapainya. Namun aku tak bisa menyalahkan sepenuhnya kepada om A Ming. Setidaknya, beliau sudah berusaha membantu yang terbaik. Dan aku harus mengapresiasikan usahanya ini, berkat ketulusannya.

"Kamu tenang saja, Lin! Saya akan membantumu walau tidak seberapa. Juga kalau perlu, saya akan melakukan penggalangan dana."

Aku frustasi. "Apakah tidak ada cara lain selain ini, om?"

"Dengar, Lin! Lihatlah, berkat penanganan yang cepat tanggap, Da Lan bisa langsung di rawat. Tidak harus mengantri. Bahkan dokter yang menangani di sini pun sangat profesional. Tidak butuh waktu lama, diagnosanya langsung ketahuan. Satu hal lagi. Saya juga pernah mendengar dari beberapa teman yang pernah berobat di sini. Seratus persen di antara mereka, merasa puas atas penanganannya yang canggih. Jadi maaf, Lin. Sepertinya tidak ada cara lain selain ini."

Aku menangis tersedu-sedu di balik pintu bilik kelas tiga, tempat di mana orang tuaku satu-satunya di rawat. Padahal ini adalah kelas yang paling rendah di rumah sakit ini. Tapi kenapa harus ratusan juta yang harus dibayar di muka? Itu pun belum termasuk tindakan penanganan operasi pemasangan pen di tulang belakang, dengan alasan agar kelak tidak terjadinya resiko kelumpuhan.

***

Ya. Liu Da Lan. Beliau adalah orang tuaku satu-satunya kumiliki saat ini, seorang pengrajin emas ulung yang masih bertahan di Jakarta. Beliau memiliki beberapa pelanggan setia. Salah satunya adalah A Ming. Beliau teman yang paling dekat dengan Liu Da Lan. Tidak heran ada ikatan batin antara mereka. Saling mendukung satu sama lain. Selalu ada di saat susah maupun senang. Sehingga rasa simpati dan empatinya begitu mendalam.

Kini beliau sedang sibuk mencari bantuan dari saudara dan teman-temannya. Begitu pula aku. Berniat mengurus tabungan. Setidaknya, aku masih punya beberapa juta rupiah di rekening. Sekaligus mengurus ATM dan kartu kreditku yang hilang. Sambil berusaha menghubungi teman-temanku. Namun apa daya. Tidak ada satu orang pun dari mereka yang menanggapiku dengan baik. Aku kesal setengah mati. Ini lagi. Ngapain juga pasangan yang tidak tahu malu itu dengan luwesnya bermesraan di dalam lift? Mereka anggap aku ini apa, di sini? Seekor semut?

Dasar!

Katanya rumah sakit berkelas. Sudah terakreditasi. Di akui sampai ke luar negeri. Tapi isinya, sampah! Bedebah. "SHIT!"

***

Pria yang begitu menikmati ciuman panas dengan seorang wanita berbusana selayaknya seorang perawat, merasa terganggu. Ketika menyadari ada orang lain di antara mereka berdua, pria itu terkejut. What the hell! Bukankah itu adalah gadis yang memaki gue di restoran Keith's Jr.? Lalu sekarang, apa yang sedang dia lakukan di sini?

"Nona Mei Ling!"

Oh Tuhan! Memangnya berapa banyak perempuan simpanannya, sehingga menyebut namaku saja salah! Dasar, bedebah! Aku pun berusaha menekan tombol apa saja, yang penting mampu membawaku jauh-jauh dari pria brengsek itu. Aku tidak ingin berurusan dengannya lagi, sampai kapan pun. Bahkan selamanya!

TING! Tidak ada satu menit, pintu lift terbuka. Di lantai dasar. Aku langsung keluar, enyah darinya.

***

Aku tidak habis pikir. Membayangkan ciuman pertamaku saja, itu berhasil membuatku mual. Kok bisa-bisanya bedebah seperti dia dengan mudahnya mengumbar pesona kepada orang lain?

Emanuel pun menepis pelukan dari Jane. Kemudian berusaha keras mengejar gadis itu. Mei Ling. Mau ke mana kau kali ini? Kau tidak akan bisa lepas dariku semudah itu. Ya! Seperti ini. Gue berhasil menangkap tubuhnya. Dan merasuk ke dalam pelukan.

"Sayang…"

"LOE! BAJINGAN!"

Aku ingin sekali menamparnya, namun berhasil di tepis.

"Tolong jawab pertanyaanku lebih dulu, nona! Apa kepentinganmu berada di sini? Apakah kau sedang sengaja mencari keberadaanku, lalu kesal melihatku sedang bersama perempuan lain? Maka kau banting ponselmu sembarangan di lift tadi?"

"Itu bukan urusan loe! Lepasin gue, atau gue panggil security!"

"Sayangnya, ini bukan restoranmu, nona…"

"BANGSAT! Asal loe tahu, tuan! Gara-gara loe, gue kehilangan pekerjaan!"

Gue mendelik senang. Kerja yang bagus, Edgar. Lanjutkan keluh kesahmu, nona.

"Lalu, sekarang loe mau apa? Melenyapkan kehormatan gue? Sayangnya gue bukan perempuang jalang seperti yang lain!"

"Menikahlah denganku, nona!"

Aku tersentak.

Ingatan gue mendadak pulih. "Please, be mine, nona Liu!"

"Sudah nggak waras loe ya!"

"Aku akan melepaskanmu asalkan kau mau menikah denganku!"

"Mimpi di siang bolong loe! Mana mau gue menikah dengan bajingan seperti loe!"

"Oke." Gue menghela nafas panjang. Berusaha tenang. "Baiklah, nona. Apa yang sedang kau lakukan di sini?"

"Peduli apa loe!"

Gue menaikkan alis sebelah ke atas. Gemas rasanya. "Berarti benar, kau mengintaiku!"

"Kurang kerjaan!"

Emanuel menatap lekat Helin. "Lalu?"

"Orang tua gue di rawat di sini! Puas loe!"

"Really?"

Seorang perawat lewat. Dengan genitnya, dia menyapa Emanuel. Sambil menggoda. "Selamat sore, presdir!"

"Sore, sayang!"

Astaga! Berani sekali dia mengumbar kata sayang kepada perempuan lain, dihadapanku pula. Aku pun menginjak kaki Emanuel keras-keras. Sebal.

Gosh. Help me. Gue benci perempuan Tionghoa selama ini. Namun berkat dia, kebencian tanpa alasan yang tak berarti itu, sirna seketika. Gue semakin menyukai gadis ini, dengan tingkahnya yang menggemaskan.

Kemudian, ada beberapa orang berdasi memberikan hormat. "Selamat sore, presdir! Apa kabar!"

"Kabar baik! Bahkan sangat baik!"

Lalu mereka mengumbar tawa bersama. Sambil bersenda gurau satu sama lain, seperti biasanya. "Pacar baru?"

"No…"

"Really?"

"Ya!" Emanuel merengkuhku sekali lagi, tentu saja aku memberontak. Namun dia makin kuat merengkuhku, seerat ini, hingga aku tak bisa berkutik. "Dia memang bukan pacar gue. Tapi calon istri!"

"Holly shit!"

"No way!"

"Why she is?"

"Because I love her. She is different."

"Shit, man!"

"Nona. Saran untuk anda. Jaga dia dengan baik! Bahkan kalau bisa, kau harus lebih ektra lagi menjaganya dari godaan perempuan-perempuan cantik di luar sana! Kebetulan saya punya kenalan yang menjual alat penyadap. Kau bisa hubungi saya jika perlu!"

"Berani-beraninya loe, gombal dihadapan gue?"

"Ya, anggap saja ini adalah tawaran bisnis. Tidak ada salahnya, kan, nona?"

Aku merinding. Penampilan luarnya saja yang bagus. Namun lihatlah, kelakuannya. Apakah semua rekan-rekan pria itu, sama saja?

"Oke. Gue ada urusan. Tidak bisa berlama-lama lagi di sini. Kalau begitu, gue pamit! El. Promise me, just her the only one yours right now, and the last in your life, semoga hubungan kalian benar langgeng dunia akhirat!"

"Kalau tidak, berarti loe kalah taruhan, El!"

"Sial!"

"But, anyway. Once again. Congratulation."

"Berbahagialah kalian. Bye!"

"Bye, presdir!"

No way! Kenapa semua orang selalu menyebutnya presdir?! Itu berarti, dia adalah… Benar pemilik rumah sakit semegah dan semewah ini? Aku lemas seketika. Sampai aku tak bisa berkata-kata lagi. Seolah bibirku terkunci. Mustahil.

Tiba-tiba saja, Emanuel melepaskan diriku. Aku lega. Akhirnya. Aku mendelik. Dia sedang sibuk dengan ponselnya, itu berarti aku bisa kabur.

Namun sialnya. Kenapa sih, dia bisa-bisanya merengkuh erat pergelangan tanganku lagi, selagi dia masih saja sibuk dengan ponselnya. "Sudah kubilang, tidak semudah itu kau bisa pergi dariku, nona!" Ujaranya dengan santai.

Aku geram. "Loe bisa merayu gue dengan jurus-jurus jitu yang loe kuasai, tuan muda! Tapi maaf sekali lagi, gue bukan perempuan murahan yang dengan mudahnya percaya begitu saja setiap apa yang loe lakukan terhadap gue, agar gue terkesan! Dasar! Playboy! Kampungan! Basi!"

Aku gigit saja lengannya. Ketika dia lengah, aku benar-benar lari sekuat tenaga, tak kenal arah. Aku hanya berharap, aku bisa lepas darinya walaupun hanya sedetik. Karena jujur, aku benar-benar membencinya sampai ke ubun-ubun.

Gue gemas. Maka, sekali lagi, gue harus mengejarnya melebihi tenaga kuda. Hingga. Ya! I got you! Kau kembali ke dalam pelukan, nona. "Sudah kubilang, jangan main-main dariku! Atau kau akan tahu akibatnya!"

Aaaarrrgghhh! Sebal! Gadis itu pun terus meronta, mendadak menjadi lebih kuat, dengan garangnya dia berusaha keras lepas dari gue. Sudah kubilang. Percuma saja. Tidak semudah itu kau bisa lepas dariku, nona! Percuma! Bahkan, gue bersumpah demi Tuhan, mulai detik ini jangan panggil gue Emanuel Pradipto, jika tidak dapat menaklukan gadis ini. Aku akan memperjuangkanmu, nona! Camkan itu!

Karena kewalahan, gue gendong saja tubuhnya dengan paksa, di atas tumpuan pundak gue. Tidak peduli orang mau bilang apa, gue benar-benar tidak peduli. Lagipula, ini sudah menjadi hal yang lumrah. Jadi tidak ada hal yang istimewa bagi mereka yang sudah mengerti tabiat gue sebelumnya.

Namun bedanya, perempuan yang gue tangani kali ini selalu saja berang dan melawan. But. It's okay. Gue tetap fokus. Mengokohkan gendongan, sampai ke lantai paling atas. Ke suatu tempat yang sangat rahasia. Wich is, kantor gue. Yang di desain senyaman mungkin. Juga terdapat ruang tidur utama layaknya di hotel-hotel bintang lima favorit gue, dilengkapi oleh jacuzzi. Dengan gaya yang elegan. Di sini juga terdapat house music berikut bola disko. Jika ingin berdansa, kau bisa melakukannya diiringi lagu dari piring hitam. Bagaimana? Romantis, bukan?

Oke. Kembali fokus, El. Kali ini, loe sedang berhadapan dengan perempuan yang berbeda dari biasanya, di ruangan kebesaran loe ini. Bukan waktunya loe bercumbu dan bermesraan, yang sering loe lakukan bersama dengan wanita-wanita lain. Mau tidak mau, loe harus-menjaga-kehormatannya. Paham, El!

"Duduklah, nona!"

Helin melengos. Dia tetap mematung sambil menghapus air matanya yang tak kunjung usai. Gue sebal. Gayanya sangat angkuh. Dasar. Gadis keras kepala.

"Duduk, atau aku tidak akan segan-segan melakukan hal yang tidak diinginkan terjadi kepadamu!"

Ketika gue membuka jas, dia mendadak panik. Maka dia langsung duduk menghadap meja kerja gue. Baiklah, inilah moment yang paling gue suka. Mari kita mulai bernegosiasi, nona!

***