Jakarta oh Jakarta. Padahal ini sudah lewat dari jam kerja. Namun tetap saja aku harus terjebak macet. Tepat di Bilangan Jakarta Pusat. Tempat berkumpulnya gedung-gedung pencakar langit menjulang tinggi.
Demi Tuhan. Kesabaranku mulai habis. "Pak Adam, bisakah kau mencari jalan lain menuju apartemen El?"
Ya. Benar sekali. Aku sedang berada di Jakarta, baru saja mendarat. Sejak empat jam yang lalu. Coba bayangkan. Yang benar saja. Ini sudah kelewat batas namanya. Kalau saja bukan karena masalah pencemaran nama baik putra semata wayangku itu, aku tidak akan sudi datang ke sini. Lebih baik aku menyelesaikan pekerjaanku di Singapura, mengembangkan bisnis properti kami di sana.
"Maaf, bu. Hanya ini jalan satu-satunya menuju apartemen tuan muda…"
Aku menghela nafas jengkel. Sambil scrolling ponselku. Itulah yang bisa kulakukan di kala aku mulai frustasi. Sebagai penghibur diri.
Tiba-tiba saja, BMW putih keluaran terbaru yang aku tumpangi ini, perlahan melaju. Namun kembali terhenti, pada saat ingin berbelok ke arah kiri. Oh, tidak! Lagi-lagi. Terhalang oleh lampu merah.
Satu, dua, tiga orang pengemis mulai beraksi. Mereka mengitari jalan raya yang berhenti sejenak selama lampu merah menyala. Sambil mengadah. Dengan kondisi yang memelas. God. Kasihan sekali mereka. Aku menjadi merasa bersalah atas rasa kesalku ini. Seharusnya aku bersyukur, saat ini aku dengan anggunnya, duduk di dalam mobil. Tidak kedinginan karena udara malam. Tidak harus diterpa polusi. Kalau tidak, habis sudah wajahku ini. Aku baru saja perawatan! Dengan penampilan terbaik dan tentu saja terhormat. Bahkan outfit-ku ini, mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki, itu sangatlah mahal. Sedangkan mereka, begitu lusuh dan tak terawat. Aku hanya menemukan pemandangan ini di sini. Tidak seperti di Singapura. Tidak ada pengemis satu pun yang berani berulah di jalan-jalan seperti ini. Di sana sangat disiplin dan semua orang bekerja keras.
Tuhan. Please, Jakarta. Modus kejam apalagi ini, hai pengemis. Lihatlah, aku sampai hati kesal kepada orang tua yang satu itu. Tega sekali anak kecil itu di luar sana. Harus digendong ke mana-mana, ke sana dan ke mari, mengitari jalanan. Sambil menadahkan tangan. Kasihan-kasihan. Dia masih kecil. Namun harus menderita berkat ulah orang tua yang tak bertanggung jawab. Seharusnya dia diurus dengan baik. Tidak diperbudak seperti itu. Apalagi cuaca di luar lumayan dingin. Ketika mereka datang menghadap mobilku, aku iba. Aku pun mencari dompet di dalam tasku. Namun. Aku terkejut. Loh! Kok? Tidak ada!?
"Astaga! Bagaimana bisa dompetku tertinggal? Cerobohnya aku… Pak Adam! Bisakah kau putar balik ke restoran terakhir yang kita kunjungi?" Karena terakhir kali aku membayar semua pesananku di restoran western itu, dompetku masih ada digenggamanku.
"Baik, nyonya!"
Pak Adam pun dengan bersusah payah memutar stir berbelok kembali ke arah restoran. Aku harap-harap cemas, berharap, dompetku benar masih ada di sana. Tapi… Itu mana mungkin terjadi. Secara, tingkat kriminal di sini sangatlah tinggi.
Namun. Aku berusaha tenang. Tetap berpikir positif. Sambil memejamkan mata perlahan, ingatlah kepada Tuhan, Adhira. Ingatlah akan kasih-Nya, ingat akan berkat-Nya yang selalu menyertai. Semoga semua akan baik-baik saja sebagaimana semestinya. Amin.
***
Sebuah telepon tiba-tiba berdering. Dari nomor yang tidak di kenal. Untung saja, ponselku tak ikut raib. "Halo?"
"Halo, selamat malam. Apakah benar saya berbicara dengan Adhira Batari Pradipto?"
"Ya, benar! Saya sendiri! Dengan siapa ini saya berbicara?"
"Perkenalkan, saya Liu He Lin. Manajer restoran Keith's Jr. Saya di sini mendapatkan informasi dari salah satu stuff kami, bahwa dompet anda tertinggal di sini…"
"Benarkah?" Aku berbinar. Semuringah bak bunga bermekaran. "Puji Tuhan! Baiklah kalau begitu, tunggulah sebentar saja, nona! Saya sedang on the way kembali ke sana. Hm!" Aku melirik arloji. "Kurang lebih lima belas menit lagi, saya sampai!"
"Baik, nyonya. Saya akan menunggu…"
"Sekali lagi, terima kasih banyak, nona! See you!"
Adhira menghela nafas lega. Terima kasih, Tuhan. Berkat-Mu memang indah, telah sengaja mengirimkanku seorang malaikat, yang dengan tulus bersedia mengembalikan sesuatu yang sangat berharga bagiku. I'm feel blessed.
Tidak lama kemudian. Aku kembali dikejutkan oleh sebuah telepon. That is my son. Emanuel Pradipto. Memang kami sudah membuat janji untuk bertemu sebelumnya. Wait. Jam berapa ini? Ya ampun, aku baru sadar sudah jam sembilan malam rupanya. Emanuel pasti kesal. Ya. CEO El Pradipto Hospital itu tidak suka kata terlambat.
"Ya, son! I'm sorry, I'm late! Dompetku tertinggal di restoran dekat rumah sakit, maka aku sedang putar balik. Setelah itu, barulah aku menemuimu dengan cordon blue favoritmu! Apa!? Oh itu, tentu saja tak merepotkanku! Ya!? APA KAU BILANG! Ada pasien yang harus kau tangani sekarang? Lalu, bagaimana dengan pertemuan kita malam ini? BATAL!? Are you crazy? Besok pagi-pagi sekali aku harus berangkat kembali ke Singapore! Fine! Aku tidak mau tahu! Aku akan tetap menunggumu di apartemen malam ini juga! Ingat baik-baik, El! Jangan kecewakan aku kali ini! Temui aku segera setelah persalinan selesai! Paham!"
***
Keluarga Pradipto tak dipungkiri terkenal keluarga Sultan, dengan aset dan bisnis yang mereka punya, hingga tujuh turun-temurun pun, hasil jerih payah mereka tak akan pernah habis. Di sisi lain, mereka super duper sibuk. Bahkan untuk bertemu walau hanya sekejap mata saja, itu sangatlah sulit.
Kali ini, Adhira nekad meluncur dari Singapura ke Jakarta, hanya untuk membahas soal, apalagi kalau bukan tentang pernikahan putra semata wayangnya itu. Alasan yang klasik, bukan. Secara, Emanuel sudah mapan dan matang di usia tiga puluh enam tahun, namun masih saja asyik dengan dunianya sendiri di rumah sakit. Padahal aku sudah tidak sabar ingin menimang cucu.
Di sisi lain, panas telinga ini mendengar desas-desus tentang pergaulan bebasnya, yang beritanya sudah tersebar luas. Katanya, dia sering gonta-ganti pasangan. Bahkan yang membuatku kesal sampai ke ubun-ubun adalah, lumrah bagi Emanuel untuk check in bersama dengan perempuan-perempuan jalang yang tidak jelas asal-usulnya.
Dasar kau, El. Sudah aku rawat dengan baik, membesarkanmu, memberikanmu pendidikan yang layak hingga sesukses ini, namun apa balasanmu sekarang? Keterlaluan, kau memang. Pintar sekali membuat kami sebagai orang tuamu malu.
Maka dari itulah. Setidaknya, jika aku mendesaknya untuk segera menikah, ada kemungkinan besar nama baik keluarga kami tak akan tercemar lebih luas lagi. Apalagi jika calon menantuku itu adalah orang baik-baik dan terhormat. Senantiasa bertahan sehidup semati. Sembari membimbing El menjadi orang yang patuh akan ajaran-Nya. Karena jika tidak, tentu saja itu akan mempengaruhi dunia bisnis yang kami geluti. Bisa-bisa, tidak akan ada lagi investor yang mau bekerja sama dengan kami. Dan jika saja itu benar terjadi, perusahaan properti yang kami bangun susah payah dari belahan Barat-Timur-Selatan bahkan Tenggara Asia ini, akan hancur lebur seketika.
I think before, perempuan yang tepat bersanding di pelaminan bersama El, adalah Christina Cullen. Namun gadis cantik bak bidadari itu, entah di mana keberadaannya sekarang, sehingga sulit sekali dihubungi. Aku berniat mendesak El agar dia saja yang menghubungi Cullen walau hanya sebatas basa-basi. But, right now. It's okay. No problem, jikalau memang bukan Cullen jodohnya El. Aku bisa move on sekarang. Berkat gadis itu.
Adhira pun kembali merengkuh liontin salibnya untuk kesekian kalinya. Tuhan. Semoga pilihanku kali ini, tidak salah.
***
"Sudah sampai, nyonya."
"Oh! Oke, pak Adam. Terima kasih!"
Restoran sudah tutup, rupanya. Aku pun segera turun dari mobil, lalu menegur seorang nona cantik berpenampilan kasual, yang sedang berdiri sendirian di depan koridor restoran. Walaupun kondisi pencahayaan yang tidak memungkinkan, hanya terbantu dari cahaya lampu jalan, setidaknya aku bisa melihat penampakan gadis itu dalam kondisi remang-remang. Wajahnya bulat, putih langsat, merona, dan sipit. Rambutnya panjang sepinggang, sesekali terurai indah terbawa angin. Ya! Tidak salah lagi, gadis dihadapanku ini adalah benar keturunan Tionghoa.
Astaga, berani sekali dia. Bukankah itu terlalu berbahaya baginya, rela menungguku di malam hari, sendirian?
Gadis itu menyadari akan kehadiran Adhira, langsung menghampiri dan merunduk hormat. "Selamat malam, dengan nyonya Adhira?"
"Ya, benar saya sendiri, nona."
Lalu dia tersenyum lega. Astaga. Aku terkesima. Kenapa auramu cantik sekali, nona.
"Ini, dompet milik anda, nyonya. Semua uang anda berserta isinya masih utuh di dalamnya…"
Entah mengapa, aku menyukai gadis ini pada pandangan pertama. Dan aku semakin yakin akan kebenaran intuisiku, saat melihat pembawaannya yang kalem dan tenang. Selain cantik, dia juga baik hati. Pantas. Sungguh pantas sekali, jikalau dia bersanding dengan El.
"Terima kasih, nona! Kau baik sekali, aku tidak tahu bagaimana jadinya jika dompetku benar-benar hilang! Mungkin aku bisa gila! Terima kasih sekali lagi, nona!"
"Tak usah sungkan!"
"By the way, kau pulang sendirian?"
"Ya, nyonya. Saya biasa naik ojek online."
"Kebetulan ini sudah larut malam. Kau ikutlah denganku! Tak baik perempuan berkeliaran sendirian di luar. Ayolah! Biar kuantar kau pulang!"
"Oh itu… Maaf merepotkan."
"Sama sekali tidak!"
Sebuah motor datang menghadap. Sang pengemudia mengenakan jaket ojek online. "Dengan nona Liu He Lin?"
"Iya, pak. Benar saya sendiri! Maaf, nyonya. Saya harus pulang sekarang, permisi!"
"Ish! Kau ini keras kepala sekali!" Adhira mengeluarkan uang yang cukup banyak dari dompet yang kini ada digenggamannya kepada ojek online tersebut. "Ini sedikit rezeki untuk anda. Terimalah, hitung-hitung itu untuk membayar ongkos nona ini!"
"Tapi…"
"Tak apa, pak. Dia calon menantuku. Jadi kau tak usah khawatir!"
Bapak ojek online itu mengangguk mengerti. "Terima kasih, bu. Ini lebih dari cukup…" Lalu, oh tidak! Beliau pergi meninggalkanku bersama nyonya kaya raya ini, begitu saja.
Kemudian. Adam membukakan pintu untuk Adhira dan Liu He Lin yang tak bisa berkutik, karena Adhira begitu memelas, memohon agar aku ikut bersamanya pulang.
***
BMW putih itu melaju menuju kediaman Liu He Lin dibantu dengan peta online. Namun. Tiba-tiba saja, mobil kembali terhenti dengan situasi pada merayap. "Ya ampun, JAKARTA! Macet lagi!? DASAR!"
Helin semakin tidak enak hati. Dia hanya bisa terdiam sambil meremas-remas ujung kemejanya. Ia terlalu gugup berhadapan orang macam Adhira yang bisa dibilang terlalu cerewet. Namun aku tetap berusaha bersikap hormat dan selalu tebar senyuman sebagai tanggapan.
"Oh ya, Liu He Lin. Benar kau bekerja di restoran Keith's Jr.?"
"Ya. Ini adalah hari pertama saya menjabat sebagai manajer restoran…"
"Really? Edgar Dellgon memang pintar memilih pegawai. Jarang-jarang ada orang yang bisa dipercaya dan bertanggung jawab sepertimu di zaman edan seperti sekarang."
Helin terkejut. "Maaf, nyonya. anda mengenal pemilik restoran kami?"
"Tentu saja! Edgar seumuran dengan putraku, El…"
"Oh."
"By the way, bolehkah aku memiliki nomor telepon yang bisa kuhubungi? Siapa tahu kita bisa bekerja sama, ya… Misalnya membicarakan soal bisnis lebih jauh lagi?"
"Oh. Itu… Masalahnya… Saya…"
"Kenapa? Kau tidak mempercayaiku? Baiklah!" Adhira kemudian memperlihatkan kartu namanya. "Kau pasti tahu nomor teleponku dari sini, kan? Lihatlah baik-baik! Aku adalah Co-CEO Pradipto Property Group! Namaku bisa hancur lebur dalam sekejap jika aku benar adalah seorang pencuri data untuk di jual ilegal!"
Helin terkejut. Sumpah demi Tuhan, aku tidak menyadari itu sebelumnya. Bahwa orang yang duduk di sampingku ini adalah salah satu orang terkaya di Asia Tenggara versi majalah bisnis terkemuka itu. Sungguh. Ini adalah salah satu kehormatan bagiku.
Aku pun merunduk. "Maafkan saya telah lancang, jika itu menyinggung anda."
"Aku tak akan memaafkanmu jika kau tak memberikan kartu namamu kepadaku!"
Tanpa pikir panjang, Helin memberikannya. Adhira memakai kacamata dan membacanya dengan seksama. "Oh! I see. Aku pikir Liau He Lian. Rupanya Liu He Lin. Nama yang bagus…"
"Terima kasih, nyonya."
"Jangan terlalu formal, Lin! Panggil saya tante! Atau calon mertua, itu lebih bagus di dengar!"
"Hah!"
"Jujur saja, aku menyukaimu sejak awal bertemu. Kau orang yang baik dan sangat cantik. Kebetulan pula, putra tunggalku butuh seorang perempuan sebaik kau di sisinya. Bagaimana? Apakah besok lusa kau punya waktu? Kita bisa bertemu kembali untuk makan malam, mungkin. Aku akan mengajak El untuk ikut serta. Agar kalian dapat saling mengenal lebih jauh lagi." Lagi-lagi, Adhira memelas. "Bagaimana?"
"Maaf, saya merasa tersanjung. Tapi itu tidak akan mungkin terjadi, nyonya…"
"Kenapa tidak? Oh astaga! Aku hampir gila memikirkan masa depan anak tidak tahu diri itu, asal kau tahu! Dia benar-benar butuh pasangan yang baik seperti kau, agar kelak dapat memberikan dampak positif terhadap prilakunya yang mulai menyimpang itu!"
Astaga. Kenapa nyonya ini gamblang sekali? Bahkan kami berdua baru saja bertemu. Bukankah itu sama saja beliau sedang mengumbar aib keluarganya sendiri? Lagipula, perempuan baik macam mana yang mau bersedia menikah dengan pria yang tak dikenalnya sebelumnya, bahkan dia yang tidak memiliki sifat-sifat luhur Tuhan? Aku merinding. Sungguh. Itu. Horor sekali.
***
"Bi Nur…" Desah Adhira. Beliau tampak frustasi saking kacaunya. Sambil memijat keningnya yang mendadak pusing. Kondisiku semakin lama semakin melemah. Maka aku dibantu bibi Nur, rebahan di atas sofa empuk di ruang tengah apartemen minimalis itu. "Berarti benar, El sering membawa perempuan jalang ke apartemen ini?" Bibi Nur diam saja. Sambil geleng-geleng kepala. Sambil sesegukan. "Bi Nur… Kenapa kau membiarkan El begitu saja selama ini? Seharusnya, kau jujur kepadaku sejak awal!"
"Tidak, nyonya! Itu tidak benar!"
Aku kesal bukan main. Padahal sudah jelas-jelas di saat aku menggeledah seisi kamar Emanuel, aku menemukan ini dan ini. Tapi kenapa kau tetap mengelak, Nur?
"Lalu, ini apa namanya, bi? Kau pasti tahu kan, ini alat kontrasepsi! Botol-botol ini… Kaleng ini… Lihatlah baik-baik! Ini bir!"
Bibi Nur sudah menganggap Emanuel anak kandung sendiri. Darah daging sendiri. Di sisi lain, beliau juga serba salah. Jika sekali saja saya jujur kepada beliau, maka saya takut sekali pekerjaan saya akan melayang seketika. Maka mau tidak mau, saya berusaha keras mentutupi aib tuan Emanuel selama ini, walaupun itu salah. Namun lambat laun, akhirnya rahasia itu terkuak jua dengan sendirinya.
"Bi…" Beliau merengkuh tangan Nur. Tanpa sadar, air mata beliau mengalir semakin jadi. Bibi Nur. Apakah itu artinya, kau mengakui kesalahanmu dan menyesalinya?
"Saya tahu kau sudah bekerja bersama kami sejak awal aku mengandung, bahkan setelah aku melahirkan El. Kau yang membantuku membesarkan dia. Hingga pada akhirnya dia bertumbuh dewasa pun, kau masih setia dan memutuskan untuk mengabdi kepadanya. Seharusnya, selama kami tidak ada di sisinya, kau bisa mencegah prilaku bodohnya itu! Bukannya malah membiarkannya begitu saja, lalu menutupi aibnya dihadapanku! Karena… Apakah kau tahu akibatnya? Pencitraan kami di dunia bisnis bisa hancur seketika, jika publik tahu El playboy kelas kakap!"
Bibi Nur tiba-tiba saja berlutut sambil tersedu-sedu. "Maafkan saya, nyonya… Ini salah saya, saya tidak becus menjaga tuan Emanuel…"
"Ma!"
Aku tersentak. Itu dia! Putraku! Sudah pulang kau rupanya. "El!"
"Apa yang sebenarnya terjadi selama saya tidak ada di sini? Kenapa sampai hati bibi Nur menangis di hadapanmu, ma!"
"Aku sudah tidak tahan atas prilaku memalukanmu itu, El!"
"Apa maksudmu, ma? Bi, berdirilah!"
"Salah saya…"
"Salah apa, bi? Berdiri! Ayo, berdirilah!"
Emanuel sebenarnya orang yang sangat baik, dan tak pernah membedakan status. Terutama kepada bibi Nur yang sudah dianggap selayaknya keluarga sendiri.
Hanya saja, Emanuel terjerumus ke dalam lubang hitam akhir-akhir ini. Itu berkat pelampiasannya dari kepenatan tanggung jawab pekerjaannya di rumah sakit.
"Ma! Apakah kau mempermasalahkan tingkahku belakangan ini? Tapi tidak benar kau menyalahkan sepenuhnya kepada bibi Nur! Aku yang salah!"
"Oh… Bagus! Bagus kau akhirnya mengakui kesalahanmu, El! Tapi aku tidak yakin kau akan segera bertobat setelah ini, kecuali…"
Emanuel melengos. Bertobat? Apakah Adhira sedang bercanda? Tidak ingatkah dia gue adalah seorang dokter? Gue yakin dengan pekerjaan mulia ini, Tuhan akan tetap berpihak kepada gue. Berkat-Nya akan selalu menyertai gue. Jadi, untuk apa harus bersusash payah bertobat? Buang-buang waktu saja.
"Kau harus segera menikah!"
"Apakah tidak ada topik lain selain membahas soal pernikahan? Tidakkah kau mau tahu soal karirku?"
"Tidak! El! Please! Turutilah keinginanku, kali ini saja!"
"Tidak!"
Perlukah aku memasang raut wajah memelas. "Please, El!"
"Mama tahu kan, siapa Christina Cullen sebenarnya? Dia itu tidak ada bedanya dengan lintah darat!"
"Oke! Fine! Aku berjanji, tidak akan membahas dia lagi. Forget it! Tapi perempuan yang satu ini, beda daripada yang lain! Kebetulan aku baru saja berkenalan dengannya di restoran Keith's Jr."
"Edgar?"
"Ya. Perempuan itu yang telah menemukan dompetku. And, you know? Aku menyukainya sejak awal bertemu. Namanya Liu He Lin. Manager yang baru di restoran Ketih's Jr. Ini kartu namanya."
"Tionghoa?" Emanuel sebal, langsung menepis kartu nama itu. "Yang benar saja! Itu bukan seleraku!"
"Tapi dia baik!"
"Semua perempuan yang kau temui juga, kau bilang baik, ma. Tidak-tidak! I'm sorry. Aku capek!"
"El… Sekali ini saja! Demi mama!"
Emanuel melengos. Ini bukan yang pertama kalinya beliau membahas hal klasik ini. Gue benci akan keterikatan dalam suatu hubungan. Apalagi menikah? Mustahil.
***