***
Aku berlari dengan cepat menuju sekolah. Hari ini tidak boleh terlambat. Sekarang masih jam enam. Aku perkirakan lima belas menit lagi tiba di sekolah. Seperti biasa ketika berlari, di kepala ada topi, masker yang menutupi wajah dan di telinga ada airphone. Aku berlari sambil mendengar rekaman suara guru-guru di sekolah, dengan volume yang tidak terlalu besar.
Keringat bercucuran di wajah, aku tidak ingin menghapus. Tenggorokan sudah merasa haus, namun belum ingin berhenti untuk minum. Nanti saja kalau sudah tiba di sekolah, baru aku minum. Waktu satu menit sangat berharga untuk berlari.
Saat tiba, sekolah masih sepi. Hanya ada cleaning service yang membersihkan sekolah. Mata melihat jam di pergelangan tangan, sekarang sudah jam enam lewat lima belas menit. Mungkin, siswa akan berdatangan kalau sudah setengah tujuh lewat.
Aku langsung menuju papan pengumuman. Ternyata informasi pembagian kelas belum di tempel. Aku menggelengkan kepala, kecewa dengan leletnya cara kerja guru yang ada di sekolah ini. Harusnya, mereka sudah menempel informasi pembagian kelas dari kemarin. Sehingga, saat siswa baru masuk sekolah pertama kali, langsung mengetahui di mana kelas masing-masing. Atau mungkin, guru-guru akan memberitahu pembagian kelas hari ini.
Aku sudah duduk di kursi yang ada di lapangan. Kursi ini langsung menghadap ruang guru. Dari tempat duduk, aku melihat satu per satu guru berdatangan. Seorang guru memegang kertas dan lem, mungkin dia yang akan menempel pengumuman.
Aku langsung memutar rakaman dari handphone, dan mendengarkan lewat airphone. Tadi sebelum ke sekolah, aku sudah mengatur handphoneku agar bisa langsung mendengarkan rekaman untuk hari ini.
["Aku berharap, semoga tidak ada siswa yang bertanya-tanya. Kenapa tidak masuk kelas unggulan padahal nilai tes masuknya tinggi. Tahun ini untuk pertama kali kita mendapat masalah yang seperti ini."] Seorang guru perempuan berkata dengan nada suara yang khawatir.
Aku tersenyum sinis mendengar kalimat itu. Tahun ini akan menjadi yang pertama, sekaligus pembuka masalah. Di tahun depan kalian akan mendapatkan masalah yang sama dan begitupun di tahun-tahun selanjutnya. Aku akan menghentikan semuanya, sampai menemukan siapa pelaku dibalik keadaan Kak Tari sekarang.
["Tidak perlu takut, Bu. Kita yang punya kuasa di sekolah ini."] Seorang guru laki-laki berusaha menenangkan.
Aku ingin tertawa terbahak mendengar kalimat itu. Benar sekali, kalian yang memiliki kuasa. Tetapi, aku yang akan mengendalikan kalian.
Mataku terus menatap tajam ruang guru. Di sana, tepat di depan ruangan, ada guru-guru yang sedang tertawa terbahak, ada yang bercerita-cerita, ada pula yang diam dan melamun sambil bersandar di dinding. Aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkan guru yang sedang melamun itu. Apapun yang dia pikirkan, bukan urusanku.
"Arfaaa!"
Ahhh, dia lagi, dia lagi. Penggangguku sudah datang. Aku tidak akan bisa duduk tenang lagi.
Aku menutup mata, berusaha menenagkan diri. Veka sudah duduk di sampingku. Kenapa dia bisa mengenalku, padahal saat ini aku masih memakai masker. Veka memegang pundakku, mungkin ingin menyadarkan.
"Arfaaa, kamu tidur? Ini masih pagi. Kok sudah tidur?" ujar Veka dengan tangan yang memegang lenganku.
Aku pura-pura tidak mendengar perkataan Veka. Apa yang terjadi di luar dugaan. Veka membuka airphone yang ada di telingaku dan langsung berteriak.
"Arfaaa!" Veka mengulang lagi.
Aku membuka mata dan langsung mematikan rekaman. Veka sedang tersenyum tanpa rasa berdosa. Dia melepaskan tangannya dari lenganku.
"Kamu kenapa tidur di sekolah? Kalau ada guru yang lihat kamu tidur di sini, kamu pasti akan di keluarkan. Baru juga di terima bersekolah di sini, sudah langsung di keluarkan," ucap Veka tanpa jeda dan bergidik ngeri di akhir kalimat.
Aku mengerutkan alis. Apa maksud perkataan perempuan ini? Hubungannya apa, antara tidur dan di keluarkan dari sekolah? Aku langsung mengalihkan pandangan, kembali melihat ruang guru. Jangan sampai Veka semakin cerewet jika aku menggubrisnya, meskipun hanya lewat tatapan.
"Arfaaa, ini di Sekolah! Kamu tidak boleh sombong!" Veka kembali berucap dengan suara cemprengnya. Mengundang banyak orang di sekitar untuk melihat kami.
Aku langsung berdiri. Sebab, merasa risih dengan mata semua orang yang memandangku tak terbaca. Ternyata Veka juga berdiri, dia mengikutiku. Karena tidak suka mendengar teriakan Veka yang terus memanggil, aku pun berhenti.
"Kamu bisa ikut aku, tapi diam! Diam! Jangan bicara lagi!" ujarku dengan tegas sambil menatap tajam.
Aku kembali melanjutkan langkah. Veka ada di belakangku. Dia tidak lagi ribut. Hingga tiba di papan informasi. Veka langsung berdiri di sampingku. Sepertinya dia juga ingin melihat langsung, pembagian kelas.
Mata langsung melihat namaku yang juga satu kelas dengan Veka. Dalam hitungan detik, aku sudah mendengar teriakan histeris Veka.
"Kita sekalas, Arfa! Kita sekelas." Veka berkata sambil loncat-loncat bahagia seperti anak kecil yang mendapat permen.
Aku menjauh dari papan informasi. Aku yakin, suara histeris Veka mengganggu siswa siswi yang sedang melihat informasi pembagian kelas. Dan aku juga yakin, Veka pasti akan mengikuti lagi.
"Aku sangat senang, bisa sekelas dengan kamu, Arfa. Guru-guru di sekolah ini hebat sekali. Bisa tahu isi hatiku. Sejak lihat pengumuman, setiap hari aku selalu berdoa agar kita bisa sekelas. Kamu tahu itu, nggak? Pasti tidak tahu." Veka berkata tanpa jeda.
Aku ingin tertawa mendengar pujian Veka untuk para guru di sekolah ini. Tidak mungkin berkata padanya, jika aku yang sudah mengatur agar kami bisa sekelas. Kemarin malam, aku membuka data sekolah. Ternyata kelas sudah di bagi, aku dan Veka berbeda kelas.
Aku yang takut jangan sampai ketahuan jika Veka tidak begitu pintar, akhirnya mengubah data agar Veka bisa sekelas denganku. Skenario ini sudah terlanjur aku buat. Yang ada dalam pikiranku, pihak sekolah pasti penasaran, kenapa Veka bisa mendapat nilai sempurna. Mungkin mereka akan mengujinya. Aku tidak bisa diam, membiarkan Veka sendiri. Karena aku yang sudah merancang ini demi rencanaku berjalan lancar.
"Arfa, jangan diam saja dong! Kamu tidak senang sekelas dengan aku?" ujar Veka, kami masih melangkah. Aku tidak tahu akan berhenti di mana. Niat hati ingin membuat Veka lelah. Tetapi, sepertinya perempuan ini cukup kuat berjalan.
"Iya, nggak apa-apa kalau kamu tidak senang sekelas dengan aku. Yang penting aku senang kita sekelas," ujar Veka lagi. Sepertinya dia sangat bahagia bisa sekelas denganku. Mungkin benar, tidak pernah ada yang mau berteman dengannya, sehingga perasaan bahagia Veka bisa seperti ini.
"Aku sudah cerita ke ayah dan ibu, kalau lulus di SMA Prabangga. Aku juga cerita ke mereka kalau dapat nilai tertinggi … Kamu tahu tidak, apa respon mereka?" ujar Veka. Terdengar dari suara, sepertinya dia sangat sedih.
"Mereka tertawa … katanya, aku jangan banyak mimpi. Juara kelas saja tidak pernah, mana mungkin bisa dapat juara satu untuk ujian masuk SMA Prabangga. Mereka menertawaiku, Arfa! … Terkadang aku berpikir, aku ini anak siapa. Apa benar, aku anak mereka?"