Detik jam terus berputar, kini aku sudah berada di rumah. Veka masih mengikutiku, tidak langsung pulang. Rencananya kami akan mencari karung kotor bersama sekarang. Tadi saat pulang, aku singgah di warung Tante Fatma untuk mengatakan jika hari ini tidak bisa ke warung.
Veka tidak datang bersamaku, dia aku suruh untuk naik ojek dan menunggu di warung tante Fatma. Sebab jarak warung dan rumahku tidak terlalu jauh. Aku tiba di warung tante Fatma hanya berbeda sepuluh menit setelah Veka tiba. Padahal tukang ojek mengendara motor dengan sangat laju.
Sekarang Veka sudah menjadi teman yang baik. Sejak aku menyuruhnya untuk tidak membuat malu, dia selalu berkata dengan pelan. Tanpa harus mengeraskan suara. Jika seperti ini, aku tidak akan bermasalah jika dia terus mengikutiku.
"Kamu duduk di luar saja. Jangan ikut masuk," ujarku, saat melihat Veka ikut membuka sepatu sepertiku.
"Masa aku nggak masuk. Di teras rumah kamu ini tidak ada tempat duduk. Masa iya, aku hanya berdiri tungguin kamu," rengek Veka.
Aku memutar bola mata. Mulai lagi tingkah Veka yang membantah. Aku langsung masuk rumah tanpa menjawab perkataannya.
"Arfaaa, kok aku di tinggal. Emangnya kenapa aku nggak boleh masuk?" ujar Veka sambil melangkah mengikutiku.
"Okey, kamu boleh masuk. Tetapi, duduk saja di situ," ujarku sambil melototkan mata.
"Harus duduk di stu ya?" tanya Veka sambil melihat kursi yang tersedia di ruang tamu rumahku.
Veka lalu melihatku dan mendapat anggukan dariku. "Tunggu aku di situ, okey." Tuturku lalu melangkah menuju kamar.
Aku tidak boleh marah pada Veka. Dia belum pernah memiliki teman. Berarti tidak pernah ke rumah orang lain untuk bergaul. Harus di maklumi jika aku harus sering menegurnya. Dia perempuan dan aku laki-laki. Meskipun sudah berteman, diantara kami harus ada jarak. Aku tinggal sendiri, tidak mungkin Veka mengikuti sampai kamar. Jika ada yang melihat bagaimana? Meskipun, rumahku sangat jarang di kunjungi orang. Tetapi, berjaga-jaga itu lebih baik.
Aku mengganti pakaian sekolah dengan baju rumahan. Celana panjang dan kaos hitam. Tidak lupa pula, menutupi kepala dengan topi. Hanya dalam waktu kurang dari sepuluh menit. Aku sudah siap.
Saat melangkah ke ruang tamu, terlihat Veka sedang melamun. Aku tidak tahu apa yang sedang dia pikirkan. Bukankah harusnya aku melihat raut bahagia di wajahnya, sebab sekarang sudah memiliki aku sebagai temannya.
"Yuk!" tuturku, membuat Veka kaget.
"Oh, kamu sudah selesai? Sejak kapan ada di sini?"
"Dari kemarin!" ucapku, lalu melangkah keluar rumah.
Aku membalikan badan, saat tidak mendengar langkah kaki mengikuti. Ternyata Veka belum berdiri, dia masih duduk di kursi dengan santai. Aku menggelengkan kepala, "kamu tidak ingin keluar dari rumahku?"
"Aku juga mau ganti baju. Masa pergi cari karung pakai baju ini. Kalau pulang dengan baju kotor, nanti ibu marah," ucap Veka dengan wajah yang terlihat sedih.
Ya ampun, kenapa aku tidak menyruhnya untuk mengganti baju dulu. Meskipun aku belum mengenal ibunya Veka, tetapi jika melihat sang anak pulang sekolah dengan baju kotor, sudah pasti akan marah. Apalagi ini hari pertama masuk sekolah.
"Kamu ke dapur, di sana ada toilet. kamu masuk ke dalam toilet terus ganti baju. Jangan lama, aku tunggu lima menit!"
Tanpa menjawab ucapanku, Veka langsung berdiri dan berlari kecil menuju tempat yang aku arahkan. Aku melangkah untuk duduk ke kursi. Selama menunggu, tangan membuka handphone. Melihat jam, sekarang sudah pukul dua siang. Aku tidak boleh lama mencari karung. Sebab sebentar sore, harus ke rumah sakit.
Aku sudah berjanji dengan ibu, setiap hari harus meluangkan waktu untuk melihat keadaan Kak Tari. Jika bukan aku, siapa lagi yang harus melaporkan keadaan Kak Tari pada ibu. Mengingat Kak Tari, ingin rasanya secepatnya bertemu dengan manusia-manusia laknat.
"Yuk. Aku sudah selelesai," ujar Veka yang muncul dari arah dapur rumah dan melangkah kearahku.
Aku melihat jam di pergelengan tangan. Benar saja, dia selesai dalam waktu lima menit. Aku langsung mengangguk dan berdiri dari duduk. Menunggu Veka untuk melangkah bersama. Dia ternyata membawa sandal jepit yang di simpan dalam plastik dan di taruh dalam tas. Apa dia sudah merencanakan untuk ke rumahku? Tetapi itu tidak mungkin. Masa iya, padahal aku berbaik hati dengannya baru hari ini.
"Aku selalu menyiapkan baju ganti dan sandal di dalam tas. Karena pulang sekolah aku sering jalan-jalan sendiri. Aku tidak mungkin 'kan, jalan-jalan pakai baju sekolah. Makanya aku tidak pernah lupa naruh baju santai di dalam tas," tutur Veka saat kami sudah melangkah meninggalkan rumah.
Aku hanya melirik Veka. Tanpa merespon ucapannya. Kami berjalan beriringan. Aku sengaja tidak memanjangkan langkah. Sebeb, tidak ingin membuat Veka berelari mengejar. Jika ingin di hitung, satu langkah panjangku sama dengan tiga langkah Veka. Sehingga, tidak heran jika tadi di sekolah, Veka selalu berjalan cepat agar langkah kami sejajar.
"Ini masih jauh nggak?" tanya Veka dengan napas yang terengah-engah.
Aku melihat wajahnya. Keringat sudah membasahi. Wajar saja, saat ini terik matahari sangat panas. Aku yang menggunakan topi saja, bisa merasakan panas. Apalagi dia, yang berjalan tanpa menggunakan pelindung apapun.
"Nggak jauh lagi kok, seratus meter lagi," ujarku.
Ingin memberikan topi yang ada di kepalaku untuk Veka. Hanya saja, tidak ingin membuatnya manja. Sekali-kali, dia harus merasakan kerasnya hidup. 'kan aku temannya, wajar kalau aku melakukan yang terbaik untuk temanku.
"Bisa nggak, kalau kita istrahat dulu. Aku capek," ucap Veka. Terlihat dari wajah, dia sangat lelah.
Aku menggeleng, bibir pun berucap, " tidak bisa! Masa begitu saja kamu capek. Dasar perempuan manja!"
"Apa kamu bilang, Arfa. Aku manja!" Veka menghentikan langkah dan menatapku. "Kulitmu terbuat dari kayu atau batu sih. Masa, panas begini kamu nggak rasa. Aku sudah hitam, Arfa. Jangan di buat tambah hitam. Nanti ibu semakin banding-bandingin aku dengan Kak Deva!" ujar Veka dengan suara cempreng.
"Karena aku nggak capek. Jadi kita tidak perlu istrahat." Setelah berkata, aku langsung melanjutkan langkah.
Terdengar Veka berteriak-teriak memanggil namaku dengan suara cemprengnya. Untung saja, di sini tidak ada rumah warga. Jika ada, aku yakin suara cempreng Veka akan mengganggu.
Aku melangkah mendahului, namun tidak dengan langkah cepat. Aku yakin, Veka bisa kembali mensejajarkan langkah jika dia berlari.
Dari tempat kami melangkah, bau sampah sudah tercium. Aku berhenti, menunggu Veka. Dia tidak mengejarku, mungkin karena sudah terlalu lelah.
"Kamu mau tunggu di sini atau mau ikut aku mencari karung," ujarku saat Veka sudah di sampingku.
"Yaa ikut lah! Memangnya kamu saja yang ingin ikut pendidikan karakter besok?" tutur Veka. Aku heran padanya, yang terlihat santai dalam berkata. Apa hidungnya tersumbat.
"Di sana bau, Veka. Kamu tidak bawa masker," ujarku sambil memakai masker yang tidak aku pakai dari rumah.
"Kamu hanya bawa satu masker saja?" tanya Veka dan mendapat anggukan dariku.
"Gimana ya? Aku juga ingin ke sana. Soalnya mau cariin karung buat Kak Deva juga. Dia tidak mungkin mau cari sendiri. Kalau aku sudah punya dan dia belum. Pasti punyaku akan diambil," ucap Veka dengan raut wajah sedih.