Chereads / Belenggu Cinta dan Dendam / Chapter 20 - Niat Baik Untuk Veka

Chapter 20 - Niat Baik Untuk Veka

Mendengar itu, aku melangkah meninggalkan Veka tanpa merespon. Bagaimana bisa dia mencari karung untuk Deva juga, padahal satu karung bekas saja, belum tentu kami bisa dapat.

"Kamu kok malah jalan ninggalin aku? Kalau mau jalan itu bilang-bilang," ujar Veka sambil berlari mengejarku. Tidak mempedulikan Veka, aku tetap berjalan dengan langkah panjang.

"Arfaaa! Tunggu!"

Terdengar suara Veka yang memanggil dengan napas yang ngos-ngosan. Aku pun memperkecil langkah agar Veka dapat menggapai.

"Kamu nggak kasian dengan aku. Dari awal bertemu, aku sudah kejar kamu terus." Veka berkata lagi.

"Yang nyuruh kamu kerjar aku, siapa?" tuturku tanpa mellihat wajah Veka.

Tanpa di duga, Veka melayangkan pukulan ke bahuku. Ahhh, sangat sakit. Aku berhenti berjalan dan mengusap bekas pukulan Veka. Badannya yang pendek ternyata punya kekuatan sehebat ini.

"Emang benar 'kan pertanyaanku. Yang susruh kamu kejar aku siapa." Aku kembali berkata sambil mengutik keras jidat Veka.

Terdengar ringisan keluar dari bibir Veka. Aku menyungingkan senyum dan kembali berjalan. Tidak menggubris semua makian Veka. Beberapa hari mengenal, aku sudah bisa mempelajari karakter perempuan ini. Dia bukan tipekal perempuan yang mudah tersingung dan marah. Cukup bagus untuk dijadikan seorang teman.

"Kamu tidak berniat, ngasih aku masker dan topi yang kamu pakai?" tanya Veka sambil menoleh padaku.

Aku langsung menggelengkan kepala. Tanpa berkata apa pun. Aku pikir, Veka akan mengerti gerakan tubuhku.

"Whattt? Kok ada ya, laki-laki di dunia ini yang setega kamu. Di mana-mana itu, kalau laki-laki lihat perempuan kepanasan, pasti akan berbaik hati. Kok kamu tidak sih? Atau mungkin kamu ini bukan laki-laki. Atau mungkin juga, kamu laki-laki jadi-jadian," ucap Veka tanpa henti.

Aku berhenti berjalan, lalu menghadap Veka. Tanganku kembali mengutik jidat Veka saat Veka ikut berhenti. Veka meringis kesakitan. Tetapi, aku tidak peduli.

Kapan kami tiba di tempat penampungan sampah, kalau dari tadi berhenti terus. Jika pergi sendiri, pasti dari tadi aku sampai dan mendapatkan karung yang aku cari. Memang jalan dengan perempuan itu, hanya buat susah.

"Arfaaa! Kenapa sih kamu-"

"Diam!" ujarku sambil melototkan matamemotong perkataan Veka.

Aku belum terbiasa dekat dengan perempuan cerewet. Ibu dan Kak Tari perempuan yang kalem dan lembut. Veka sangat berebda jauh dengan mereka berdua. Kalau bukan karena sudah berjanji, aku ingin menyuruhnya pulang sekarang.

"Iya," ujar Veka pelan sambil menunduk.

Langkah kami sudah tidak terhitung. Kini tiba di tempat penampungan sampah. Tidak ada kata selain mengatakan jika udara di sini sangat busuk. Meskipun sudah menggunakan masker, aku masih dapat mencium aroma ini. Apa lagi Veka yang tidak memakai apapun sebagai penutup hidung.

Sejujurnya aku kasihan. Tetapi, aku juga butuh masker untuk menutup hidungku. Saat ini bukan waktunya untuk menjadi pahlawan. Sebab, kesehatanku lebih penting dari pada menjaga Veka. Jika aku sakit, bagaimana dengan Kak Tari. Siapa yang akan menjenguknya di rumah sakit jiwa.

"Arfa, kok nyarinya susah ya? Aku sudah tidak mampu, di sini busuk sekali," ujar Veka sambil menutup hidung. Kalimat yang keluar dari bibirnya tidak sesuai dengan ejaan bahasa Indonesia yang benar. Satu tangan dia gunakan untuk membuka-buka sampai, mungkin saja ada karung sesuai yang di cari.

Aku tidak menjawab perkataan Veka, sebab tidak ingin membuka mulut. Tanganku juga melakukan aktivitas yang sama dengan Veka.

Hingga lima belas menit aku dan Veka mencari, tiba-tiba Veka berlari. Menjauh dari area sampah. Aku menghentikan gerakan tangan. Menatap sejenak, lalu berlari mengejarnya. Jangan sampai terjadi sesuatu padanya.

Hingga kurang lebih tujuh puluh meter, Veka berhenti dan membuka tangan yang menutup mulut. Yang terlihat di depan mata sungguh mengagetkan. Veka mengeluarkan sesuatu dari mulut, dia muntah. Aku mendekat, ingin mengusap belakangnya hanya saja tidak berani. Walaupun bagaimana, dia perempuan yang tidak layak aku sentuh. Takut ada yang melihat dan berpikir macam-macam, kenapa Veka bisa muntah.

Aku meninggalkannya, untuk mencari warung terdekat. Setelah mendapatkan yang aku ingin beli, aku kembali. Veka sudah duduk di aspal sambil kedua tangan memeluk lutut. Aku mendekati dan memberinya ari minum. Berharap rasa mual yang dia rasa sedikit mereda.

"Kamu punya uang nggak, Arfa? Karung untuk besok kita beli saja. Tetapi, aku pinjam uang kamu dulu. Soalnya tadi ibu hanya kasih uang pas untuk jajan. Uang itu sudah aku pakai untuk sewa ojek tadi, sisanya untuk sewa ojek pulang ke rumah. Aku janji akan ganti uang kamu. Kalau harus mencari di penampungan sampah, aku tidak mampu," ujar Veka setelah beberapa menit diam. Mungin keadaannya sudah sedikit membaik.

"Kalau kita tidak dapat karung pasti akan di hukum. Masuk di SMA Prabangga ternyata gini amat yaa. Kenapa coba, kita harus di suruh bawa karung bekas. Kalau minta uang ke ibu untuk beli karung, aku tidak berani. Kamu mau 'kan, Arfa, pinjamin aku uang. Nanti aku bayar kok, serius," tutur Veka lagi, kini dia berkata sambil menatapku.

Aku melihat rona lelah di wajahnya. Yang aku tahu sejak mendengar rekaman guru-guru, Veka anak orang kaya. Tetapi, kenapa hanya untuk beli karung saja tidak punya uang. Benarkah dia hanya di kasih uang jajan secukupnya? Kenapa harus berbeda dengan Deva? Orangtua mereka bahkan membayar mahal agar Deva bisa masuk di SMA Prabangga.

Hidup kamu yang sebenarnya seperti apa Veka? Apa mungkin ada yang orangtuamu sembunyikan, jika sebenarnya kamu dan Deva itu bukan kembar, kalian bukan saudara kandung?

"Berdiri, kita cari ojek supaya kamu pulang," tuturku lalu berdiri.

Veka menatapku sambil menggeleng. "Aku tidak ingin pulang kalau belum mendapatkan karung bekas untuk besok. Bagaimana kalau hanya karena tidak membawa karung, aku di keluarkan dari sekolah. kamu tahu 'kan, aku sangat ingin sekolah di SMA Prabangga."

Ya Ampun, kenapa pemikiran perempuan ini bisa sejauh itu? Kenapa dia tidak peka? Sengaja menyuruhnya pulang, karena aku yang akan mencarikan karung bekas untuknya. Bahkan aku akan mencarikan dua karung Veka. Agar dia juga bisa kasih ke Deva. Padahal sebenarnya, aku tidak ingin berbaik hati melakukan itu. Tetapi, melihat Veka yang seperti ini, aku kasihan padanya.

"Kalau kamu tidak mau pinjamkan aku uang tidak apa-apa. Yuk pulang, nanti aku akan usaha sendiri,"Veka berkata lalu berdiri tanpa aku bantu.

Saat melihat ojek, aku langsung menahannya.

"Pulang!" ujarku pada Veka

"Tetapi aku belum-" ucapan Veka terpotong.

"Pulang! Aku yang akan carikan!" tuturku tegas. Untungnya Veka tidak teriak histeris. Dia langsung naik ojek.

Aku melihatnya gerakan bibirnya yang berkata terimakasih tanpa bersuara. Tidak membalas, bibir hanya tersenyum agar Veka yakin dengan niat baikku. Tidak mengapa, ini akan menjadi pertama dan terakhir aku membantunya.