Bel telah berbunyi. Veka yang tadi bersedih, kini sudah ceria. Perubahan rasa yang sangat cepat. Dia menarik tanganku untuk menuju lapangan. Aku langsung melepas dengan kasar, dan melangkah sendiri. Veka ternyata tidak marah, dia tetap berjalan di samping tanpa memegang tanganku.
Sepertinya, semua siswa yang hadir hari ini adalah siswa baru. Selebihnya adalah siswa-siswi yang tergabung dalam OSIS. Terlihat jelas dengan seragam yang baru dipakai.
Seorang guru laki-laki memegang pembesar suara. Di lapangan sudah berjejer pengurus OSIS dengan memakai identitas. Veka kembali memegang tanganku. Apa dia tidak sadar, sekarang kami sudah jadi bahan pandangan mata banyak orang?
Aku berhenti melangkah, karena merasa risih. "Bisa lepas tanganku?" ucapku sambil menatap tajam mata Veka.
Veka langsung melepas sambil cengengesan. Aku pun kembali melangkah. Veka berjalan di sampingku tanpa rasa bersalah. Mungkin dia tahu, jika aku sedang malas mendengar curhatan. Veka sudah berhenti berbicara. Kini kami melangkah dalam hening, hanya suara siswa siswi lain yang terdengar.
Aku tidak peduli dengan masalah yang sedang dihadapi Veka. Saat ini aku sedang tidak ingin mendengarkan curhata. Jika dia masih saja berbicara, aku akan membentaknya di depan orang banyak. Aku tidak akan memikirkan, dia akan malu atau tidak.
Sekarang aku sudah berbaris. Veka juga ikut berbaris di sampingku, dalam barisan perempuan. Aku memilih bagian paling belakang. Seorang anggota OSIS tiba-tiba menegurku, menyuruh untuk membuka aiphone yang ada di telinga. Dari pada mendapat hukuman, aku langsung mengikuti perintah.
"Selamat datang di SMA Prabangga. Selamat bergabung menjadi siswa dan siswi di sekolah ini … Apa kalian semua sudah melihat pembagian kelas yang ada di papan informasi?" ujar guru yang berbicara menggunakan pengeras suara.
"Sudah, Pak!" jawab hampir semua siswa. Aku mendengar Veka berkata dengan sangat keras. Dia terlihat sangat ceria.
"Bagus! Untuk yang masuk kelas unggulan. Kami ucapkan selamat dan semangat bersaing. Kalian di pilih secara acak. Bukan karena nilai ujian tes masuk yang tinggi dan bukan karena prestasi yang kalian dapatkan selama duduk di bangku SMP. Tetapi, itu karena doa orang tua kalian. Di tahun ini, SMA Prabangga sengaja memilih siswa yang masuk kelas unggulan secara acak." Guru yang ada di depan kami kembali berkata.
Sebuah kalimat omong kosong yang membuat aku ingin muntah. Karena doa orang tua atau karena kebobrokan sekolah ini? Kalian sungguh sangat pintar membuat alasan.
"Dan untuk kalian, siswa dan siswi yang menjadi kelas sepuluh sembilan. Jangan putus asa, kalian bisa masuk kelas unggulan, jika nanti nilai kalian bisa lebih tinggi dari nilai semua siswa yang ada di kelas unggulan saat ini. Jadi, selamat bersaing." Guru itu melanjutkan ucapannya.
Setelah guru menyampaikan sambutan. Mikrofon di berikan pada pengurus OSIS. Seorang siswa maju ke depan. Banyak siswi yang berbisik-bisik saat dia sudah berdiri tegak. "Perkenalkan, aku Deozi. Ketua OSIS SMA Prabangga. Untuk hari ini, kami akan mengumpulkan kalian di auditorium sekolah, untuk membahas persiapan pendidikan karakter besok. Di sekolah ini tidak ada OSPEK seperti yang ada di sekolah lain. Di SMA Prabangga, perkenalan sekolah ada dalam rangkaian kegiakan pendidikan karakter. Jadi sesudah barisan ini dibubarkan, kami harap kalian langsung ke auditorium. Hanya itu penyampaian dari aku, mohon kalian mendengarkan arahan ini."
Deozi, lelaki berkulit putih dengan badan berotot. Rambutnya tertata rapi. Dia terlihat sangat berkarisma. Wajar jika saat ini banyak yang terpesona dengannya. Mungkin dia salah satu anak orang kaya yang dibanggakan sekolah ini. Karena jika hanya seorang siswa yang pintar, tidak mungkin menjadi perhatian para guru. Aku tahu betul bobroknya sekolah ini.
Setelah penyampaian dari Deozi, seorang anggota OSIS membubarkan barisan. Di belakang kami sudah ada pengurus OSIS yang akan mengarahkan. Kami pun melangkah menuju tempat sesuai arahan.
Sepertinya aku harus secepatnya menambah alat perekam. Hari ini aku juga harus bisa melihat-lihat, ruangan apa saja yang harus aku taruh alat perekam. Mungkin salah satunya di ruang OSIS. Aku tidak tahu, bisa jadi anggota OSIS mengetahui rahasia yang aku sedang cari tahu sekarang.
Aku tidak boleh lalai, bahkan untuk sesuatu hal yang dianggap kecil. Jika saja aku mengerti bahasa semut, aku pun akan menaruh alat perekam di tempat perkumpulan para semut, untuk medapatkan informasi.
"Arfa, aku 'kan dapat nilai tertinggi, kok bisa ya masuk kelas sepuluh sembilan? Harusnya 'kan bisa masuk di kelas unggulan. Terserah jika guru-guru memilih siswa secara acak. Hanya saja, harusnya 'kan aku yang pertama mereka pilih untuk menjadi siswa unggulan." Suara Veka mengganggu pikiranku. Dia berkata dengan sangat kecil, seperti berbisik.
Aku pun menoleh padanya. Dia sedang menatap lurus ke depan. "Itu kak Deva. Tadi aku lihat namanya masuk kelas unggulan. Padahal nilainya kalah jauh dariku … Takdir terkadang tidak adil ya. Kemarin aku sudah senang karena bisa mendapat prestasi lebih darinya. Ternyata itu hanya sepintas. Yang akan di banggakan oleh ayah dan ibu adalah kak Deva, bukan aku. Karena dia yang akan di sebut-sebut menjadi kelas unggulan di SMA Prabangga. Orangtua mana yang tidak bangga, anaknya masuk kelas unggulan. Yang mendapat nilai ujian masuk tertinggi, pasti akan terlupakan."
"Kamu lihat perempuan berambut panjang sana. Cantik 'kan? Dia sangat cantik, bahkan aku saja iri dengannya. Kok bisa kami kembar, tetapi aku tidak memiliki wajah secantik kak Deva."
Aku langsung mengikuti arah pandang Veka. Ternyata dia sedang menatap perempuan yang sedang bercerita dengan beberapa siswi. Mungkin mereka berteman, terlihat dari gaya bicara, mereka sangat akrab. Jika baru saling kenal, tidak mungkin bisa seakrab itu. Atau mereka orang yang berbeda denganku. Mudah akrab dengan orang yang baru di kenal, seperti Veka.
"Tadi kami ke sekolah bareng satu mobil. Tetapi, Kak Deva menyuruhku untuk turun seratus meter dari sekolah. Aku lalu berjalan kaki." Veka kembali melanjutkan ucapan.
Masa sih, ada saudara yang setega itu. Veka pasti sedang membuat drama. Terlihat dari wajah, sepertinya Deva orang yang baik. Tidak mungkin dia melakukan itu. Aku tidak percaya semua curhatan Veka. Dia pasti hanya ingin mendapatkan simpati dari aku.
Memang benar, dari segi fisik Veka dan Deva berbeda jauh. Deva berkulit putih, tinggi dan sedikit kurus. Sedangkan Veka, berkulit hitam, bertubuh pendek dan gemuk. Deva juga berwajah mulus. Sedangkan Veka, di wajahnya ada tanda lahir yang cukup besar. Jika ada yang melihat mereka berdua, pasti kaget dan tidak percaya kalau tahu mereka kembar. Fisik mereka sangat berbeda jauh. Aku saja masih tidak percaya. Hanya tidak ingin menampakan di depan Veka.
"Sejak kecil, aku sudah tidak punya teman. Sedangkan Kak Deva, siapa yang tidak ingin berteman dengannya. Mungkin orang-orang jijik untuk menjadikan aku temannya."
Veka masih terus berkata. Aku hanya menyimak tanpa merespon apa pun. Aku juga belum mengenal Veka lebih jauh. Kebenaran ceritanya, belum bisa di buktikan. Di dunia ini, aku tidak boleh sembarang percaya perkataan orang. Banyak orang munafik yang perlu diwaspadai.
"Arfa, kamu jangan tinggalkan aku ya! Punya satu orang punya teman saja, sudah cukup untuk aku. Tidak perlu banyak."
Aku masih tidak merespon perkataan Veka. Bingung untuk berucap, karena aku pun tidak ingin berteman dengannya. Tetapi untuk menolak, bibir terasa kelu. Aku tidak suka berteman, dan merasa bisa hidup tanpa memiliki seorang teman.