"Arfa, aku tanya, kenapa tidak membalas sapaan Kak Deva!" ujar Veka. Aku masih berjalan dan tidak menggubrisnya.
Veka langsung menghentikan langkahku. Kini dia berdiri tepat di depan. Aku menatapnya tajam, sebab menghalangi jalan. Harusnya dia sudah tahu, setelah beberapa hari ini terus mengikutiku, kalau aku tidak ingin punya teman. Ohh, iya, tidak mungkin dia paham. Otaknya yang lemot mana mungkin mengerti tentang itu.
"Kenapa ada lelaki yang punya sifat seperti kamu di dunia ini? Kamu tidak dengar, dari tadi aku bicara apa? Aku tanya sekali lagi, kenapa kamu tidak menjawab sapaan Kak Deva!" ujar Veka dengan suara cempreng.
Mata menatap tajam, tepat di mata Veka, bibir pun berucap, "kenapa aku harus menjawab sapaan perempuan itu? Pentingkah?"Aku langsung melangkah meninggalkan Veka yang masih diam dengan raut wajah tidak bisa ditebak.
Memangnya Deva itu siapa? Makanya aku harus menjawab sapaannya. Apa dengan kenal Deva, dapat memudahkan aku mengetahui rahasia yang sedang aku cari. Tidak 'kan? Dia bukan orang yang masuk dalam lingkaran orang-orang yang ingin aku obrak abrik hidupnya. Jadi untuk apa aku berkenalan dengannya. Hanya membuang-buang waktu saja.
Lagi pula, aku tidak ingin memiliki teman. Banyak teman itu, hanya akan membuat kepalaku pusing. Masih banyak yang harus aku urus. Dan semua bisa aku lakukan tanpa seorang teman.
Kini aku duduk di sebuah kursi taman sekolah. Veka sudah tidak mengikuti. Aku juga tidak tahu sekarang dia berada di mana. Yang pasti tidak mungkin keluar dari area sekolah.
Jauh di sana, terlihat siswa siswi sedang sibuk berkenalan. Wajar lah, hari ini 'kan pertama kali masuk sekolah. Semua orang pasti mencari teman. Bahkan sangat pasti, jika ada laki-laki yang tebar pesona ke sana ke mari untuk mencari mangsa.
"Hai, aku boleh duduk di sini?"
Baru saja ingin memasang airphone di telinga, suara seseorang menggangguku. Aku berbalik untuk melihat, ternyata Deva ada di belakangku. Dia sedang tersenyum manis.
"Aku temani ya, nggak baik duduk sendiri," ujar Deva lagi. Kini dia sudah duduk di sampingku tanpa disuruh.
"Kamu kelas sepuluh berapa?" Deva kembali berkata, sebab aku sedari tadi hanya diam. Dia lalu berucap lagi, "kalau tidak katakan, nanti aku cari tahu sendiri."
Baru saja berpisah dengan Veka, sekarang ada Deva lagi. Apa ini akan menjadi awal, mulai hari ini Deva juga akan menggangguku seperti Veka? Ada apa dengan dua orang ini? Senang sekali membuat aku merasa jengkel. Mungkin ini yang di maksud gen kembar tidak jauh berbeda.
"Kenapa diam saja? Kamu tidak suka ya, aku duduk di sini?" Deva terus berkata.
Aku masih tidak menjawab pernyataan Deva. Di kejauhan, terlihat Veka sedang menatapku. Kenapa dia tidak menghampiriku saja? Apa karena ucapanku tadi? Tidak mungkin, Veka bukan orang yang biasa tersinggung dengan perkataan orang. Buktinya, kemarin-kemarin dia biasa saja mendengar ucapanku.
"Kamu ada hubungan apa dengan Veka? Kok kalian bisa dekat? Kamu tidak mungkin 'kan berteman dengan Veka?" ujar Deva masih dengan senyuman di wajah.
Aku terus diam, dengan mata yang kini memandang lurus ke depan. Jika aku menggubris perkataan Deva, dia akan semakin percaya diri dan mengajak aku cerita.
"Kamu mau nggak, jadi pacarku?" ucap Deva, membuat aku kembali menoleh padanya.
"Dasar perempuan gila!" ujarku dengan sorot mata tajam, lalu berdiri meninggalkan Deva.
Aku tidak peduli dengan raut wajah Deva, yang kaget mendengar bentakanku. Cukup satu kalimat yang menggambarkan perasaan. Aku tidak peduli, jika dia akan tersinggung dengan ucapan itu. Deva memang perempuan aneh, belum cukup dua puluh empat jam meminta kenalan dengannku, kini sudah ingin menjadikan aku pacar. Apakah itu bisa di katakan normal? Orang yang sudah lama dekat pun, belum tentu mau untuk dijadikan pacar.
Saat melangkah, mataku menangkap sosok Veka yang tersenyum. Dia berjalan ke arahku dengan raut terlihat bahagia. Aku mengerutkan alis, setelah jarak kami sudah dekat.
"Arfa, pulang sekolah nanti, kita cari karung sama-sama ya. Kalau kamu tidak mau, aku akan terus ikut di mana pun kamu pergi," ujar Veka, kini kami telah berhadapan. Aku berhenti sebab dia menghalangi langkahku.
"Iya!" ujarku
"Serius, kamu mau cari karung sama-sama denganku?" tanya Veka dengan raut wajah yang tak pecaya dengan perkataanku.
"Kalau tuli itu jangan dipelihara!" tuturku dan langsung berjalan, menabrak bahu Veka yang menghalangi.
Aku mendengar Veka berteriak bahagia. Kenapa dia bisa sesenang itu? Padahal hanya mencari karung bersama. Dalam hitung detik, Veka sudah berada di sampingku. Terdengar suara kakinya berlari.
"Aaa … Arfa, kamu terlalu romantis," ujar Veka bahagia.
Aku mengerutkan alis melihat tingkah konyol Veka. Bahkan dia berjalan dengan sangat girang.
"Oh iya, kenapa kamu tinggalkan kak Deva sendiri?" tanya Veka.
Aku langsung melihatnya dengan sinis. "Emang kenapa?"
Veka kembali menghentikan langkahku. "Arfaa, coba ulang sekali lagi. Tadi kamu ngomong apa?" Veka berkata dengan raut wajah yang sulit untuk ditebak. Aku tidak tahu, apa yang membuatnya bertingkah begini. Perasaan tidak ada yang aneh dariku. Hanya sebuah ucapan menjawab pertanyaan Veka.
"Kamu menjawab perkataanku. Iya, tadi kamu bicara denganku. Akhirnyaaa…" ujar Veka, rona wajah tiba-tiba berubah.
Hal yang kecil ternyata bisa Veka sesenang ini. Aku tidak melakukan sesuatu yang istimewa, hanya menjawab pertanyaan yang bagiku tidak begitu penting. Meskipun tidak menampakan raut wajah, aku ikut senang melihat Veka seperti ini.
Mungkin benar, semua yang selama ini Veka curahkan ke aku. Buktinya tadi Deva mengenalnya. Tidak mungkin Deva berkata seperti tadi padaku, jika sebelumnya dia tidak mengenal Veka. Mungkin sekarang aku bisa percaya dengan perkataan Veka.
"Makasih, Arfa. Jangan diam lagi ya. Sekarang kamu sudah ada peningkatan. Setidaknya, tidak mengusirku yang dekat-dekat kamu."
"Kenapa berterimakasih?" ucapku.
Veka lagi-lagi berhenti melangkah. "Kamu bicara lagi, Arfa? Ahhh, aku masih suka kaget kalau dengar kamu bicara. Masih nggak nyangka, sumpah," tutur Veka. Dia kembali berjalan, saat melihatku tidak menghentikan langkah.
Untung di sini tidak ada orang. Jika tidak, kami akan menjadi pandangan. Saat ini kami berada di belakang sekolah. Aku ingin mengelilingi bagian sekolah, mencari tahu tempat untuk menaruh alat perekam lagi.
"Okey, Veka. Aku mau berteman dengan kamu. Tetapi Please, jangan buat aku malu dengan suara cemprengmu itu. Kalau bicara denganku saat banyak orang, kecilkan volumenya," ujarku setelah menghentikan langkah.
Ini pertama kali aku berkata panjang lebar pada Veka. Dia masih tertegun menatapku. Dalam waktu sekejab raut wajahnya berubah. Mata Veka mulai berkaca. Aku tidak mengerti, apa yang salah dengan ucapanku. Kenapa dia menangis?
"Makasih, Arfa! Makasih karena sudah mau menjadi temanku. Kamu adalah teman pertama selama hidupku. Terimakasih." Veka berkata sambil sesegukan. Aku bingung untuk merespon ucapannya.
Harusnya tidak perlu berterimakasih. Tetapi, okelah jika dia terlalu bawa perasaan karena kalimatku. Hanya saja, tidak perlu menangis juga 'kan? Apanya yang istimewa menjadi teman lelaki pendiam sepertiku.
"Aku tidak tahu mau ngomong apa ke kamu. Intinya terimakasih. Okey, aku janji tidak akan permalukan kamu. Tetapi kamu juga harus janji, akan menjadi temanku selamanya."
Hati dan otak memerintah kepala untuk mengangguk. Terlihat wajah Veka yang menangis sambil tersenyum. Wajahku yang selama ini datar, akhirnya ikut tersenyum. Untuk pertama kalinya, aku memperlihatkan senyum pada perempuan selain ibu dan Kak Tari.