Aku dan Veka sudah masuk ke dalam ruang auditorium. Melangkah dengan pelan, mata terus melihat-lihat ke segala penjuru. Ruangan ini sangat besar, mungkin bisa menampung hingga lima ribu siswa. Apa ruangan ini juga akan menjadi tempat aku manaruh cctv? Iya, sepertinya penting juga untuk menaruh cctv di ruangan ini. lebih tepatnya menaruh di sekitar panggung.
Aku memilih tempat duduk paling belakang, ternyata Veka juga mengikuti. Tidak mengapa, asal dia tidak ribut, aku tidak akan marah padanya. Setelah duduk, aku mengambil buku dari dalam tas untuk di baca. Waktu kosong ini, mendingan aku gunakan untuk membaca.
"Arfaaa! Kok kamu malah baca buku. Kamu nggak lihat, ada aku di sini?" ujar Veka dengan suara cemprengnya. Membuat orang-orang di sekitar kami menoleh padaku.
Aku langsung melototkan mata dan menutup buku. Apa yang dia lakukan? Veka sungguh mempermalukan aku.
"Gitu dong, Arfa ganteng. Kalau teman lagi cerita itu, kamu nggak boleh sombong, harus dengar ceritanya sampai selesai," ujar Veka dengan senyum merekah di wajah.
Aku menutup mata selama dua detik. Ingin menenangkan hati dari segala tingkah Veka. Aku harus bagaimana, dengan segala kelakuannya yang seperti ini? Apalagi, aku dan Veka akan bertemu setiap saat, karena satu kelas.
Aku menatap kedepan. Veka kembali bersuara, "Arfa, coba deh lihat orang-orang di sekitar kita. Dari tadi banyak perempuan yang mencuri-curi pandang melihat kamu. Apa mungkin ada yang salah denganmu? Tapi sepertinya tidak ada. Atau mungkin karena kamu jalan dengan aku. Tetapi, apa yang salah dengan kita jalan berdua? Kalau soal suaraku yang ribut, di sini banyak perempuan yang lebih ribut. Kenapa bukan mereka yang menjadi perhatian."
Aku langsung memperhatikan sekeliling. Benar yang di ucapkan Veka. Ada apa ya? Ahhh, aku ingin muntah, saat mendapati seorang siswi yang bermain mata padaku. Aku berpura-pura tidak menyadari, langsung saja menghadapkan mata ke depan.
Di sampingku, Veka masih terus menebak-nebak. Aku tetap diam, dengan tangan terlipat di depan dada.
"Boleh kenalan, nggak? Namaku Sandra. Aku dari kelas sepuluh unggulan. Kalau kamu kelas berapa?" ujar perempuan yang sekarang berada di hadapanku. Dia berkata sambil mengulurkan tangan.
Aku melihat wajah perempuan ini, lalu mata berpindah ke tangan yang terulur. Lama tidak ada respon dariku. Perempuan bernama Sandra ini menarik tangannya dengan malu-malu. Aku masih menatap dengan tajam. Dari gerak tubuhnya, dia seperti tersipu. Mungkin karena aku menatap tanpa tersenyum.
"Arfa, bicara. Sandra ini mau kenalan dengan kamu." Veka berbisik di telingaku, sambil menggoyangkan lenganku.
Aku masih tidak berbicara, mata belum juga berpindah. Otak pun berpikir, kenapa ada perempuan seperti ini, tidak malu berkenalan dengan laki-laki. Kalau jadi perempuan itu, tidak boleh ganjen. Lihat laki-laki yang belum di kenal saja, langsung meminta untuk kenalan. Apa perempuan seperti ini, bisa dikatakan orang baik?
Veka menyiku lenganku. Aku menoleh untuk melihatnya, dia kembali berucap dengan pelan, "Arfaa! Dia mau kenalan. Sekarang katakan ke dia kalau nama kamu Arfa. Kasian dia berdiri di situ."
Aku tidak menghiraukan ucapan Veka. Kepala lalu menunduk, tangan langsung membuka halaman buku yang tadi belum sempat di baca.
"Namanya Arfa Aigist. Kamu bisa memanggilnya Arfa. Dia memang begini, orangnya dingin. Tapi aslinya baik kok," ujar Veka.
"Okey, Arfa. Aku ke teman-temanku dulu ya," tutur Sandra yang tidak mendapat jawaban dariku. Dia langsung melangkah.
"Aku kira, dia juga akan minta kenalan denganku. Ternyata dia hanya ingin berkenalan dengan kamu," ucap Veka dengan nada suara yang sedih. Dia kembali melanjutkan kata, "padahal aku sudah berharap bisa punya teman perempuan di sekolah ini ... Harusnya aku sadar, Sandra itu terlalu cantik. Dia pantasnya berteman dengan Kak Deva, bukan denganku."
"Orang jelek seperti aku, dari dulu susah mencari teman. Maaf ya, Arfa. Aku ngomong gini terus. Soalnya aku sedih, karena mukaku begini, banyak yang tidak mau berteman dengan aku."
Suara Veka terhenti ketika terdengar sapaan dari lelaki yang berada di podium, dia Deozi. Lelaki itu berdiri dengan gagah dan berkarisma. Sesekali terdengar histeris dari para siswi ketika dia memperbaiki rambut. Apa aku tidak salah masuk sekolah? Kenapa para siswi yang ada di sekolah ini sangat lebay? Aku menggelengkah kepala, melihat tingkah yang membuat aku ingin muntah.
"Jangan lupa, selama tiga hari di mulai dari besok, kalian ke sekolah harus memakai perlengkapan pendidikan karakter. Pertama, kalian harus memakai topi petani. Kenapa kami suruh kalian memakai topi petani? Karena, meskipun bersekolah di sini, kalian harus bisa rendah diri dengan selalu melihat orang-orang yang ada di bawah." Semua orang yang ada di ruangan diam. Hanya suara Deozi yang terdengar.
"Benar juga, kita tidak boleh sombong. Itu sindiran halus buat aku. Setelah dinyatakan lulus masuk sekolah ini, aku terus saja berbangga diri. Padahal 'kan itu tidak boleh," ujar Veka dengan suara berbisik. Dia sedikit menggeser, agar semakin dekat denganku.
"Yang kedua, selama tiga hari, kalian juga harus membawa karung. Bukan karung bersih yang kami suruh bawa, tetapi karung yang ada bekas tanahnya. Selama tiga hari juga, kalian harus menjadi pemulung di sekolah ini. Jangan sampai pengurus OSIS menemukan, ada yang menaruh sampah ke tong sampah. Kalau itu terjadi, hukuman yang kalian akan dapat lebih berat." Deozi kembali melanjutkan ucapan.
Veka lagi-lagi memuji sekolah ini. Dia semakin kagum dengan SMA Prabangga, karena desain kegiatan pendidikan karakter yang menurutnya sangat bagus. Aku menggelengkan kepala, dia tidak tahu saja, apa yang tersembunyi di sekolah ini. Jika dia tahu, mustahil bisa kagum.
"Dan yang terakhir, mulai besok kalian semua harus memakai tas dari kantung plastik. Terserah warnanya apa dan bentuknya dibuat seperti apa. Yang jelas, selama tiga hari, tas itu harus selalu kalian pakai setiap ke sekolah."
Setelah menyampaikan semua aturan dan syarat berpakaian, Deozi turun dari podium. Seisi ruangan bertepuk tangan. Aku tidak mengerti, untuk apa tepukan tangan itu di berikan. Padahal menurutku, tidak ada yang istimewa dari yang dilakukan Deozi.
"Arfa, ketua osisnya ganteng bangat yaa. Dari tadi banyak yang histeris lihat dia … aku masih berasa mimpi bisa masuk sekolah di sini. Setiap hari akan bertemu dengan laki-laki ganteng," ujar Veka, namun dia langsung menutup mulut, ketika orang-orang yang duduk di depan kami berbalik.
Benar-benar perempuan yang tidak tahu malu. Kenapa bicara seperti itu, padahal 'kan kami masih di Ruang Auditorium. Besok kalau ke sekolah, sepertinya aku harus membawa lakban, kalau Veka terus berbicara, aku bisa melakban mulutnya.
Setelah semua penyampaian selesai. Kami sudah diperbolehkan untuk keluar ruang auditorium. Aku berdiri dan melangkah, Veka mengikuti. Tatapanku lurus ke depan, tidak memperhatikan orang-orang yang ada di sekitar.
"Hei, boleh kenalan? Aku Deva. Nama kamu siapa?" ujar perempuan yang baru saja menjegat langkahnu. Dia berdiri di samping dinding. Tidak sendiri, ada tiga orang di dekatnya.
Beberapa detik memperhatikan, aku pun menyadari. Dia Deva yang katanya kembar Veka. Aku tahu, Veka masih ada di belakangku. Deva hanya melihatku, seolah tidak mengenal Veka.
Aku tidak merespon ucapan Deva. Langsung saja melanjutkan langkah. Terdengar suara dari Deva, "kok dicuekin sih?" Dengan suara manja.
Setelah berada di luar ruangan. Veka langsung mensejajarkan langkah denganku.
"Kak Deva tadi ingin kenalan dengan kamu. Kenapa tidak di jawab?" ujar Veka pelan.